Berita Bekasi Nomor Satu

Sudah Empat Kepala Daerah di Bekasi Tersangka KPK, Di Mana Akar Persoalannya? Ini Kata Direktur Eksekutif KPPOD

RADARBEKASI.ID, BEKASI — Kasus korupsi yang menjerat kepala daerah kembali menegaskan satu kenyataan pahit, praktik kotor di lingkar kekuasaan lokal seolah tak pernah benar-benar berhenti.

Di Bekasi, catatan itu bahkan terasa menyesakkan. Hingga kini, sudah empat kepala daerah yakni dua wali kota dan dua bupati yang mengakhiri masa pemerintahannya dengan status tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka adalah Mochtar Muhammad (2010, Wali Kota Bekasi), Neneng Hasanah Yasin (2018, Bupati Bekasi), Rahmat Efendi (2022, Wali Kota Bekasi), dan Ade Kuswara Kunang (2025, Bupati Bekasi).

Pola ini memunculkan pertanyaan besar, di mana akar persoalannya?

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N Suparman, menilai persoalan tersebut tidak bisa semata-mata dilihat sebagai kegagalan moral individu. Menurutnya, ada problem struktural yang selama ini luput dibenahi secara serius, sehingga praktik korupsi terus berulang di level kepala daerah.

Problem pertama, kata Herman, adalah mahalnya biaya politik dalam pemilihan kepala daerah. Untuk sekadar mendapatkan tiket pencalonan dari partai politik, calon kepala daerah harus merogoh kocek dalam-dalam. Biaya itu belum termasuk ongkos kampanye untuk menarik simpati masyarakat.

“Kenapa biaya kandidasi itu tinggi? Pertama, untuk mendapatkan dukungan partai politik perlu biaya besar. Kedua, untuk menarik simpati masyarakat juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit,” ujar Herman kepada Radar Bekasi, Senin (22/12).

Kondisi tersebut, lanjutnya, menciptakan lingkaran setan. Setelah terpilih, kepala daerah kerap terdorong mencari cara mengembalikan modal politik yang sudah dikeluarkan. Dari sinilah godaan penyalahgunaan kewenangan muncul, mulai dari proyek pembangunan hingga perizinan.

Problem struktural kedua berkaitan dengan regulasi. Herman menilai berbagai aturan perundang-undangan di daerah belum sepenuhnya mampu menutup celah korupsi. Salah satu contoh paling nyata ada pada sektor pengadaan barang dan jasa. Meski sudah menggunakan mekanisme lelang terbuka, e-katalog, hingga sistem digital lainnya, praktik permufakatan jahat antara pejabat dan penyedia barang atau jasa masih kerap terjadi.

“Kalau kita lihat modusnya, paling banyak memang di pengadaan barang dan jasa. Aturannya belum mampu menutup peluang-peluang permufakatan jahat di luar sistem,” katanya.

BACA JUGA: https://radarbekasi.id/2025/12/22/petugas-kpk-sisir-ruang-kerja-bupati-bekasi-dan-dinas-selama-hampir-tujuh-jam/

Hal serupa terjadi pada sektor perizinan. Penerapan sistem Online Single Submission (OSS) yang terintegrasi secara elektronik ternyata belum cukup ampuh mencegah suap perizinan. Begitu pula praktik jual beli jabatan. Sistem manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam pengisian Jabatan Tinggi Pratama (JPT) dinilai masih memberi ruang bagi kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian untuk bermain kepentingan.

Menurut Herman, pembenahan harus dilakukan pada dua aras sekaligus: sistem politik dan kerangka regulasi. Perbaikan ini diyakini dapat menutup celah korupsi, termasuk yang bersumber dari lemahnya integritas individu.

Ia juga mengingatkan agar publik tidak terlalu berharap pada peran inspektorat daerah. Secara struktural, inspektorat merupakan organisasi perangkat daerah (OPD) yang berada di bawah kepala daerah, sehingga independensinya kerap dipertanyakan.

Lebih jauh, terungkapnya kasus-kasus korupsi yang juga melibatkan aparat penegak hukum di daerah menjadi alarm tambahan.

“Artinya, problem itu juga ada di penegak hukum sendiri. Ini harus jadi perhatian serius agar pemerintahan daerah tidak terus-menerus menjadi ladang kepentingan sempit,” pungkas Herman.(sur)