RADARBEKASI.ID, BEKASI – Masyarakat Indonesia menginginkan agar mantan Kadiv Propam Irjen Polisi Ferdy Sambo dihukum mati dalam kasus tewasnya Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Temuan ini berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI).
“Mayoritas menilai Ferdy Sambo pantas dihukum mati,” kata Direktur Ekesekutif IPI, Burhanuddin Muhtadi dalam paparan surveinya di Jakarta, Kamis (25/8/2022).
Burhanuddin memaparkan hasil survei mendapat bahwa 54,9 persen publik menilai Irjen Ferdy Sambo pantas mendapatkan hukuman mati. Sedangkan 26,4 persen masyarakat ingin agar kadiv Propam nonaktif itu dipenjara seumur hidup.
Hanya 3,4 persen yang berpendapat tersangka Ferdy Sambo pantas dihukum 20 tahun kurungan dan 5,2 persen menjawan hukuman lainnya. Sedangkan, 10,1 persen mengaku tidak tahu atau tidak menjawab.
Survei juga mendapat bahwa 75 persen orang mengetahui kabar Ferdy Sambo merekayasa kematian Brigadir Joshua. Dari angka tersebut, sebanyak 40,5 persen diantaranya mengaku cukup percaya dan 35,1 persen sangat percaya. Sedangkan 11,2 persen kurang percaya dan 4,1 persen tidak percaya.
“Mayoritas warga juga cukup dan sangat percaya bahwa Ferdy Sambo telah merekayasa peristiwa tewasnya Brigadir J tersebut, sekitar 75-76 persen,” kata Burhanuddin lagi.
Survei dilakukan terhadap sekitar 83 persen WNI dari total populasi nasional yang berusia 17 tahun ke atas atau sudah menikah dan memiliki telepon. Pemilihan sampel dilakukan melalui metode random digit dialing terhadap 1.229 responden yang dipilih secara acak, tervalidasi dan skrining.
Wawancara terhadap responden dilakukan melalui telepon oleh pewawancara yang dilatih. Margin of error survei diperkirakan sekitar 2,9 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen, asumsi simple random sampling.
Selain Sambo, ada empat tersangka lain dalam kasus dugaan pembunuhan Brigadir J. Kelima tersangka itu, dijerat dengan sangkaan Pasal 340 KUH Pidana, subsider Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55, dan Pasal 56 KUH Pidana.
Sangkaan tersebut, terkait dengan ancaman hukuman mati, atau penjara seumur hidup, atau minimal 20 tahun penjara, atas perbuatan merencanakan pembunuhan, subsider pembunuhan, juncto turut serta melakukan pembunuhan, dan memberikan sarana untuk melakukan kejahatan penghilangan nyawa orang lain.
Sementara itu terpisah, sebanyak 15 saksi dihadirkan dalam sidang etik Irjen Pol Ferdy Sambo yang kini menjadi tersangka. Sidang tertutup itu digelar di gedung Transnational Crime Center (TNCC), Mabes Polri, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. “Totalnya ada 15 ya (saksi yang dihadirkan),” kata Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Nurul Azizah di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Kamis (25/8).
Sidang yang dimulai pukul 09.25 WIB, dipimpin oleh Komjen Ahmad Dofiri, yang ditunjuk langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Saksi yang dihadirkan dalam sidang tersebut yakni perwira Polri yang terlibat pelanggaran kode etik tidak profesional menangani tempat kejadian perkara (TKP) Duren Tiga.
Sebanyak 13 saksi di antaranya berstatus sedang menjalani penempatan khusus, di antaranya Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal, dan Kuat Ma’ruf. Dua saksi lainnya yang diperiksa dari luar patsus. Atau anggota Polri yang tidak menjalani penempatan khusus.
Dalam sidang etik ini, Ketua Komisi Kode Etik Polri (KKEP) lebih dulu memeriksa para saksi, setelah seluruh saksi diperiksa, baru dilakukan pemeriksaan terhadap terduga pelanggar KEPP, yakni Irjen Pol Ferdy Sambo. “Setelah terduga pelanggar diperiksa, konpers putusan sidang etik akan disampaikan oleh Irwasum, Kadiv Humas Polri dan Kompolnas,” kata Nurul.
Adapun nama-nama saksi yang telah selesai menjalani pemeriksaan, yakni Brigjen Pol Hendra Kurniawan (HK), Brigjen Pol Benny Ali (BA), AKBP Pol Arif Rahman (AR), Kombes Pol Agus Nurpatria (AN), Kombes Pol Susanto (S), Bripka Ricky Rizal (RR), Bharada Richard Eliezer (RE), dan Kuat Ma’ruf (KM).
“RE hadir melalui zoom. Kemudian ada dua saksi dari luar patsus, HN (Brigjen Hari Nugroho) dan MB (Kombes Murbani Budi Pitono),” pungkas Nurul.
Sementara itu, Pengacara Bharada E, Ronny Berty Talpesy, menjelaskan kehadiran Bharada E secara daring (online) dalam sidang etik Irjen Pol. Ferdy Sambo karena statusnya sebagai justice collaborator yang dilindungi oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). “(Hadir secara Zoom) merupakan program LPSK ‘JC’ (justice collaborator) dipisah,” kata Ronny.
Perlindungan terhadap Bharada E saat memberikan kesaksian juga dibenarkan oleh Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi bahwa pemberian kesaksian secara daring bagian dari perlindungan sebagai justice collaborator. “Salah satu perlakuan khusus buat ‘JC’ adalah memberi keterangan tanpa hadir di persidangan,” ujar Edwin.
Selama menjalankan sidang, kata Edwin, LPSK berkoordinasi dengan Polri untuk memberikan pendampingan dan perlindungan kepada Bharada E. “Kami berkoordinasi d Bareskrim,” ucap Edwin. (mif/jpc)