Berita Bekasi Nomor Satu

Warga Bekasi Kritisi Rencana Konversi Kompor Gas Elpiji ke Listrik

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Rencana pemerintah mengonversi kompor gas elpiji ke listrik bukan tanpa celah. Borosnya pemakaian serta risiko pencurian daya listrik justru akan lebih besar. Warga Bekasi pun mulai mengkritisi kebijakan ini.

Belakangan masyarakat Bekasi bertanya-tanya tentang efektivitas dan efisiensi kompor listrik. Sedangkan pelaku usaha akan mempertimbangkan kebijakan tersebut. Mereka ingin biaya kompor listrik tidak jauh berbeda dengan kompor elpiji, bahkan berharap lebih murah.

Salah satunya adalah pelaku Usaha Kecil dan Menengah (UKM) yang memproduksi bumbu instan masakan khas Timur Tengah, Ali Chamis (50). Bukan tanpa dasar, pertanyaan dan pertimbangan Ali didasari karena ia juga memiliki kompor listrik di rumah.

Kompor listrik yang dia miliki hanya disimpan di Gudang. Dia mengaku membeli tahun 2019 lalu, saat produsen memberikan harga promo. Karena dirasa kompor listrik yang ia miliki memakan daya besar, ia hanya menggunakannya satu kali saja sejak dibeli.

Pemakaian pertama dan terakhir itu pun hanya untuk memasak di rumah, tidak untuk memproduksi bumbu instan yang selama ini ia jual. Dengan daya listrik 3.500 di rumah, saldo listrik prabayar yang ia beli Rp100 ribu tidak bertahan satu hari, sudah harus diisi ulang lagi.

“Lumayan, makanya jauh lebih murah pakai gas, jadi (kompor listrik) disimpan lagi, nanti (dipakai) kalau butuh,” kata Ali, Kamis (22/9).

Perbandingan biayanya, dengan menggunakan gas 3 kg, keluarga Ali bisa memanfaatkan elpiji tersebut untuk memasak satu minggu, dengan harga paling mahal Rp22 ribu per tabung. Tapi dengan kompor listrik, saldo listrik prabayar Rp100 ribu habis tidak sampai satu hari.

Perhitungan Ali ini baru didasari konsumsi rumah tangga, belum untuk konsumsi bisnis. Belum lagi kata dia, kemampuan kompor listrik untuk menunjang jumlah produksi yang relatif besar, dikhawatirkan memakan waktu lama, tidak lebih efektif dibandingkan kompor elpiji.

Sempat merasakan konversi kompor minyak tanah ke kompor elpiji, ia menilai lebih hemat. “Terakhir itu harga minyak Rp3 ribu seliter, dengan jumlah keluarga yang banyak seliter itu untuk sehari. Waktu awal itu kan (elpiji) masih Rp12 ribu, bisa satu minggu, jatuhnya lebih murah gas,” tambahnya.

Konversi kompor listrik ini menurutnya lebih tepat di daerah yang sulit dan mahal untuk mendapatkan elpiji, maka efisiensi dari sisi pengeluaran lebih terasa. Ali meminta pemerintah untuk tidak terburu-buru memaksakan konversi kompor listrik. Pada akhirnya kata Ali, masyarakat akan memilih kompor yang lebih hemat dari sisi pengeluaran.

Termasuk pelaku usaha, efisiensi waktu memasak dan pengeluaran adalah catatan penting. Konversi bagi para pelaku usaha ini memungkinkan jika dinilai lebih hemat, atau minimal sama.

Karena jika biaya produksi lebih mahal, maka konsekuensinya harga jual produk pelaku usaha akan menjadi lebih tinggi. “Kalau bisa UKM jangan dipaksa untuk konversi ke kompor listrik dulu, kecuali memang kompor listriknya bisa nyamain (kapasitas) kaya kompor gas,” ungkapnya.

Hal yang sama juga disampaikan oleh pedagang warteg di Bekasi, Tafsir Qosim. Pedagang yang juga wasekjen Himpunan Pedagang Warteg Indonesia (Hipwin) menilai penting pemerintah untuk menyajikan perbandingan efisiensi antara penggunaan kompor listrik dan kompor elpiji.

“Perbandingan kaya apa itu juga pemerintah harus kasih informasi, agar masyarakat juga tau,” katanya.

Para pedagang warteg belum ada yang memakai kompor listrik saat ini. Tapi, Tafsir sudah mengetahui tentang kompor listrik ini dari sanak saudaranya yang sudah memiliki.

Bukan untuk digunakan sehari-hari, tapi hanya berfungsi sebagai cadangan kompor elpiji yang dimiliki. Informasi yang ia dapat, kompor listrik itu memakan daya listrik cukup besar, sampai 1000 Watt.

Pada pedagang warteg biasanya memerlukan empat sampai lima kompor elpiji, ini yang menjadi pertimbangan jika harus konversi ke kompor listrik, berapa besar lagi biaya yang harus dikeluarkan. Saat ini, ia mengaku belum bisa membayangkan sama sekali bagaimana cara kerja para pelaku usaha di sektor makanan siap saji jika harus menggunakan kompor listrik.

“Kalau kompor gas, saat masak banyak bisa pakai tungku yang lebih besar, kan ada ya. Nah, kalau kompor listrik itu kaya gimana, saya belum tau,” ungkapnya.

Sebagai masyarakat, ia mengaku tidak keberatan dengan tujuan mengurangi beban subsidi yang dikeluarkan oleh negara. Tapi, pemerintah harus memberikan kemudahan kepada masyarakat untuk mendapatkan kompor listrik, peralatan masak, serta barang-barang pendukung lainnya.

Jika masyarakat menengah kebawah yang akan mendapatkan kompor gratis dari pemerintah, ia menilai lebih baik bekerja sama dengan perkumpulan untuk sasaran para pedagang. Pasalnya, tidak semua pedagang kecil masuk dalam Daftar Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang selama ini menjadi rujukan data pemerintah, apalagi perantau.

Direktur Utama PT PLN dalam rapat dengar pendapat dengan komisi VII DPR RI, Darmawan Prasojo mengatakan bahwa saat ini pihaknya tengah melakukan pengadaan 300 ribu kompor listrik. Spesifikasi yang diajukan adalah spesifikasi yang dirancang agar kompor listrik bisa bersaing dengan kompor elpiji.

Spesifikasi tersebut meliputi kecepatan, kenyamanan, terdiri dari dua tungku berukuran kecil dan besar. Program konversi ke kompor listrik 1.000 wat ini dipastikan tidak akan menambah beban masyarakat lantaran menggunakan jalur listrik khusus, justru hemat 10 sampai 15 persen dibanding kompor elpiji.

“Untuk kompor induksi, kami menggunakan MCB jalur khusus, yang artinya tidak tersambung dengan pola konsumsi listrik menggunakan struktur daya terpasang maupun golongan tarif lama,” katanya belum lama ini.

Menanggapi program konversi yang disusun oleh pemerintah ini, Ekonom Centre Of Economics and Law Studies (Calios), Bhima Yudhistira kepada Radar Bekasi menyampaikan bahwa konversi kompor listrik ini membutuhkan waktu yang lama di tingkat masyarakat, mulai dari persiapan hingga adaptasi.

Kata Bhima, golongan masyarakat yang selama ini menggunakan elpiji 3 kg adalah masyarakat dengan daya listrik 450 VA. Karena daya yang dibutuhkan kompor listrik ini besar, maka tidak cocok untuk kelompok pelanggan 450 VA.

Jika dinaikkan daya listriknya, maka akan menjadi beban bagi masyarakat. Hal ini berpotensi memicu resiko pencurian listrik menjadi lebih tinggi. “Dengan tekanan biaya hidup dan beban baru dengan memakai kompor listrik, maka resiko pencurian listrik juga cukup besar,” ungkapnya.

Selain beban bagi masyarakat, peralihan ini juga akan menjadi beban baru bagi negara. Ia memperkirakan tidak semua kompor listrik beserta dengan peralatan masaknya.

Keinginan pemerintah untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil juga disinggung. Pasalnya, bahan baku listrik di hulu masih dominan menggunakan batu bara dan Bahan Bakar Minyak (BBM), beban penggunaan bahan bakar fosil hanya berpindah dari hilir ke hulu.

Kelompok masyarakat menengah ke atas kata Bhima, sudah lama mengenal kompor listrik. Tapi, mereka disebut lebih nyaman dengan kompor elpiji dengan alasan efisiensi waktu memasak. “Khawatir uji coba dari penggunaan kompor listrik akan kembali lagi memakai kompor LPG, karena memasak lebih cepat,” tambahnya.

Berikutnya yang perlu dipastikan oleh pemerintah pada saat konversi kompor listrik ini adalah jaminan infrastruktur listrik di kantong-kantong kemiskinan. Jika tidak, dalam kondisi tertentu kelompok keluarga miskin harus terpaksa menambah pengeluaran untuk menyediakan genset sebagai cadangan tenaga listrik. (Sur)