Oleh: Komarudin
Anggota DPRD Kota Bekasi dan Manager Kompetisi Askot PSSI Kota Bekasi.
PELUIT tanda berakhirnya pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya ditiup wasit Agus Fauzan Arifin. Gemuruh teriakan Aremania-suporter fanatik Arema FC-menggema.
Entah itu yel-yel support walaupun team kesayangannya kalah pada Derby Jatim atau malah cemooh, bahkan sumpah serapah dengan segala tudingan mengarah kepada siapapun yang jadi biang pecahnya rekor tak terkalahkan arema atas Persebaya selama 23 tahun lebih.
Sesaat kemudian, oknum suporter merangsek masuk ke dalam lapangan, melampiaskan semuanya. Ditanggapi dengan halauan persuasif dari aparat keamanan.
Namun, gelombang oknum suporter makin banyak berloncatan dan masuk ke lapangan, tak ayal anggota keamanan merespon dengan segala bentuk prosedur. Bahkan dilarangnya gas air mata oleh FIFA tak terelakan, dimuntahkan juga kepada para oknum hingga merembet ke tribun yang otomatis kepanikan pun terjadi.
Seperti yang kita ketahui, akhirnya buntut insiden di Stadion Kanjuruhan Malang, itu menembus angka lebih dari seratus orang melayang nyawanya jadi korban kondisi tak menentu.
Harusnya tidak terjadi hal yang paling tidak kita kehendaki ini. Tidak berbanding sepakbola dengan nyawa anak bangsa. Perlu kiranya evaluasi menyeluruh terkait prosedur penyelenggaraan pertandingan sepak bola.
Bahkan, mungkin lebih jauh jadi evaluasi kepada kita semua agar sepak bola nantinya lebih bersahabat dan mengedepankan prinsip-prinsip persaudaraan.
Menjadi hiburan yang mendidik anak bangsa untuk berkompetisi yang sehat serta menjadi gelaran yang bermanfaat banyak bagi kemajuan budaya, ekonomi serta sosial dan pada akhirnya menjadi kebanggaan serta identitas bangsa di mata dunia internasional.
Tragedi Kanjuruhan Malang ini harus jadi pelajaran yang berarti bagi kita semua. Walaupun berat hasil apapun di dalam lapangan, atau sekeras apapun bersitegang di luar soal fanatisme. Nyawa anak bangsa tidaklah sebanding dengan apapun itu.
Jangankan nyawa, bahkan bogem mentah atau umpatan cacian makian semoga mulai hilang dalam setiap pertandingan ataupun gelaran sepak bola nasional.
Kita, seluruh elemen yang cinta sepak bola harus menanamkan spirit fair play dan jauhkan sepak bola dari bullying, bahkan anarkisme dengan dalih fanatisme. (*)