RADARBEKASI.ID, JAKARTA – Kasus dugaan upeti dari pengusaha tambang ilegal untuk para petinggi Polri kian memanas.
Senin (7/11), para pegiat Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (Prodem) melaporkan Kabareskrim Komjen Agus Andrianto ke Div Propam Mabes Polri.
Prodem juga mempertanyakan mengapa Kapolri tidak memproses laporan hasil penyelidikan (LHP) Div Propam.
Padahal, LHP itu menyebut menemukan bukti setoran dari pengusaha tambang liar ke sejumlah petinggi Polri.
Ketua Majelis Jaringan Aktivis Prodem, Iwan Samule menuturkan, kedatangannya ke Div Propam untuk membuat laporan terhadap dugaan gratifikasi, suap, atau uang koordinasi yang diterima Komjen Agus Andrianto.
”Kami juga ingin mempertanyakan soal laporan hasil penyelidikan yang dilakukan Div Propam sendiri,” ujarnya.
Div Propam, lanjutnya, telah menyelidiki kasus dugaan setoran tambang ilegal di Kalimantan Timur pada Februari 2022.
Penyelidikan itu menghasilkan LHP yang diteken Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo pada 7 April 2022.
Sambo sendiri saat ini telah dipecat dari Polri dan menjalani sidang kasus pembunuhan Brigadir Yosua.
”Dalam LHP yang kami dapatkan, disebutkan bahwa sudah ada cukup bukti adanya penyuapan dan penyerahan uang koordinasi ke Kabareskrim,” lanjut Iwan.
Namun, hingga saat ini LHP itu tidak ditindaklanjuti oleh Polri. Karena itu, Prodem mendesak Kapolri dan Biro Paminal Propam untuk menindaklanjuti LHP Div Propam tersebut. ”Kenapa ini (tidak ditindaklanjuti, Red),” jelasnya.
Dari mana Prodem bisa mendapatkan LHP tersebut? Iwan mengatakan, Prodem melakukan investigasi hingga bisa mendapatkan dokumen tersebut. ”Ini dokumen asli,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Harian Kompolnas Benny Mamoto mengatakan, pihaknya juga telah mendapatkan LHP Div Propam tersebut. Saat ini pihaknya telah berkoordinasi dengan pengawas internal.
”Masih pendalaman,” ujarnya.
Selanjutnya, Kompolnas akan memantau bagaimana penyelesaikan kasus Ismail Bolong yang mengaku menyetor Rp 6 miliar ke Kabareskrim. Walau kemudian pernyataan tersebut dicabut dan diklarifikasi.
Pada bagian lain, Pengamat Kepolisian Bambang Rukminto mengatakan, yang perlu dipahami dalam kasus ini adalah adanya praktik kotor di internal kepolisian.
Seorang anggota polisi bernama Ismail Bolong bisa mendapat pensiun dini kendati telah tersangkut kasus tambang ilegal.
”Kok bisa pensiun dini, kan berarti Ismail Bolong tidak diproses hukum,” tuturnya.
Dia menekankan, untuk menuntaskan kasus tersebut, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo harus segera turun tangan. Kapolri harus membuat langkah strategis dengan cepat.
Yakni, mengusut kasus secara transparan dan menonaktifkan siapapun yang terlibat. Bila kasus ini dibiarkan berlarut-larut, justru akan kembali merugikan institusi Polri.
Pada bagian lain, Komisioner Ombudman RI Johanes Widiantoro mengatakan, pihaknya mendorong Kapolri untuk melanjutkan aksi bersih-bersih internal.
Dia berharap Kapolri mewujudkan komitmennya untuk ”potong kepala” jika terbukti terdapat anggotanya yang melakukan pelanggaran.
Bagaimana respons Polri? Hingga tadi malam, Korps Bhayangkara itu belum memberikan respons yang tegas dan cepat. Kapolri dan pejabat utama Polri belum memastikan proses penanganan kasus dugaan setoran tambang ilegal.
Kadivhumas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, dirinya belum mendapatkan informasi pasti soal kasus tersebut. ”Jangan ke saya semua, tanya Kadiv Propam saja itu,’’ elaknya.
Sebagaimana diberitakan, beredar video testimoni purnawirawan Polri bernama Ismail Bolong yang mengaku pernah memberikan setoran dengan nilai total Rp 6 miliar kepada Kabareskrim Komjen Agus Andrianto.
Upeti tersebut diberikan untuk mengamankan bisnis tambang ilegal di Kalimantan Timur.
Namun, tak lama setelah video itu menyebar, muncul video susulan yang berisi klarifikasi dari Ismail Bolong.
Dia membantah semua ucapannya di video pertama. Dia mengaku mendapat tekanan dari Brigjen Hendra yang kala itu menjabat Karo Paminal Divpropam. Hendra sendiri kini terjerat kasus pembunuhan Yosua bersama Ferdy Sambo.
Pada saat bersamaan di Twitter beredar laporan hasil penyelidikan (LHP) nomor R/1253/IV/WAS.2.4.2022/Divpropam terkait tambang ilegal di Kaltim.
Dalam LHP itu disebutkan dugaan keterlibatan beberapa petinggi Polri dalam bisnis tambang ilegal di wilayah Kaltim.
Di sisi lain, KPK menyambut baik rencana Menko Polhukam Mahfud MD melibatkan KPK dalam mengungkap kasus mafia tambang di Indonesia.
Kabag Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengatakan, pertambangan memang menjadi salah satu sektor yang berisiko tinggi terjadinya korupsi.
KPK sendiri pernah melakukan kajian pengelolaan sumber daya alam (SDA). Kajian itu bisa digunakan untuk memperbaiki tata kelola pertambangan dari hulu hingga hilir.
“Dan pemanfaatannya pun optimal bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat,” kata Ali dalam keterangan tertulis.
KPK juga telah menginisiasi dan menjalankan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNPSDA). Program penyelamatan SDA itu merupakan program bersama kementerian/lembaga dan melibatkan pemerintah daerah serta stakeholder.
Selain pertambangan, ada pula sektor kehutanan, perkebunan, kelautan dan perikanan yang masuk dalam program yang dimulai sejak 2015 tersebut.
Tak hanya itu, belum lama ini KPK juga membentu Satuan Tugas (Satgas) Perbaikan Tata Kelola Pertambangan. “Pembentukan Satgas dilakukan karena maraknya praktik korupsi di sektor pertambangan,” ungkap Ali.
Catatan KPK, area rawan korupsi pertambangan salah satunya adalah proses penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tidak berstatus clean and clear.
Kondisi itu kerap menyebabkan banyak hak guna usaha lokasi pertambangan yang tumpang tindih.
Dari Kalimantan, Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) Kalimantan Timur mendesak adanya reformasi kepolisian.
Menurut data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, terdapat 151 titik aktivitas tambang ilegal di seluruh wilayah Kaltim.
Namun, hanya ada tiga kasus yang terpantau sedang diproses hukum hingga saat ini. Hal tersebut menunjukkan betapa aparat kepolisian terkesan tidak serius dalam menangani kejahatan itu.
Video pengakuan Ismail Bolong terkait dengan kejahatan tambang ilegal yang dilakukannya, lanjut KMS, merupakan petunjuk terang bagi aparat kepolisian untuk segera memprosesnya.
Pengakuan Ismail Bolong disebut KMS telah mengurai keterlibatan aparat kepolisian dalam kejahatan tambang ilegal. Hal yang sebenarnya telah diduga publik sejak lama.
”Berdasarkan hal tersebut, kami dari Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur dan para individu yang mendukung menyatakan sikap sebagai berikut. Pengakuan atas keterlibatan anggota kepolisian ini mengonfirmasi dan menguatkan dugaan publik selama ini jika lemahnya penegakan hukum terhadap kejahatan tambang ilegal disebabkan oleh keterlibatan ataupun backup dari aparat penegak hukum sendiri,” sebut KMS dalam rilisnya, dilansir Kaltim Post.
Poin selanjutnya, dengan mundurnya Ismail Bolong dari Polri, bukan berarti kasus tersebut berhenti.
”Atas nama hukum dan keadilan, hukum harus ditegakkan. Kejahatan tambang ilegal harus diungkap. Oleh karena itu, Ismail Bolong berikut nama-nama aparat kepolisian, baik yang disebut maupun yang tidak disebut, yang terlibat dalam kejahatan ini harus diproses hukum sesegera mungkin,” tulis KMS.
Layaknya kejahatan yang selalu dilakukan dengan saling bekerja sama dan secara rahasia, KMS menganggap pernyataan Ismail Bolong yang menyebut bahwa kejahatan yang dilakukannya atas dasar inisiatif sendiri tanpa perintah atasan sangat sulit dipercaya.
”Kami percaya jika kejahatan tambang ilegal ini dilakukan secara bersama-sama. Dengan demikian, harus dikejar hingga ke akar-akanya terhadap siapa saja pelaku kejahatan di lapangan, yang turut serta melakukan kejahatan, hingga pelaku yang memerintahkan kejahatan,” jelas KMS. (jp)