Oleh: Joko Intarto
Akhirnya niat saya membeli anak gibas di desa Sarireja, Kecamatan Jalan Cagak, Kabupaten Subang, kesampaian juga. Dua ekor domba mungil seharga Rp 7 juta itu sudah lunas, dua hari yang lalu.
Alhamdulillah. Bisa ‘nyicil’ qurban. Sekarang dua ekor dulu. Sisanya lain waktu. Waktu enam bulan masih cukup untuk menabung lagi.
Harga anak gibas sebenarnya murah. Tidak sampai Rp 1 juta per ekor. Saya bayar Rp 3,5 juta karena harus dihitung juga biaya pakan, biaya perawatan dan keuntungan peternak selama memelihara sampai masa qurban tiba, Juni 2023.
Nantinya gibas itu disembelih di desa Sarireja. Dagingnya dibagikan kepada masyarakat setempat yang memerlukan. Tidak perlu ada ongkos kirim ke rumah saya di Jakarta.
Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya pilih menunaikan qurban di desa tempat kandang peternak itu berada. Daging qurban dibagikan kepada warga yang memerlukan. Boleh di desa itu. Boleh di desa lain. Bagi saya sama saja. Bagi warga desa, mungkin lebih bermanfaat.
Dengan konsep qurban seperti itu, warga desa akan menikmati manfaat ”ekonomi qurban” secara penuh. Terutama: Tidak ada biaya pemasaran melalui calo hewan qurban yang sering kali lebih banyak dibanding keuntungan peternaknya.
Mari kita buat asumsi sederhana:
Harga jual Rp 3.500.000
Biaya pokok produksi sebagai berikut:
1. Biaya bibit anak gibas Rp 1.000.000
2. Biaya pakan & perawatan 180 hari Rp 1.500.000
Total biaya pokok produksi Rp 2.500.000
Laba usaha (kotor) Rp 1.000.000
Biaya operasi
1. Promosi & pemasaran (calo) Rp 0
2. Pengiriman ke pasar Jakarta Rp 0
Laba operasi sebelum pajak Rp 1.000.000
Biaya pajak Rp 0
Biaya potong & distribusi daging Rp 100.000
Laba bersih Rp 900.000
Itu hitungan per satu ekor. Bayangkan kalau setiap peternak memelihara setidaknya 49 ekor. Asumsinya, ada 7 orang pequrban menunjuk 1 peternak di desa. Masing-masing berqurban 7 ekor. Keuntungan bersih peternak di desa selama 6 bulan mencapai Rp 44.100.000 atau Rp 7.350.000 per bulan.
Asumsikan, 49 ekor gibas itu dipelihara 2 orang. Maka setiap orang yang bekerja akan menikmati keuntungan bersih rata-rata Rp 3.675.000 per bulan.
Bandingkan dengan UMR Kabupaten Subang tahun 2023: Setara. Sementara biaya hidup di desa Sarireja jauh lebih murah bila dibandingkan dengan kawasan industri di Subang. Dengan penghasilan yang sama, warga yang tinggal di desa Sarireja lebih makmur ketimbang yang bekerja di kota Subang.
Warga desa Sarireja dianugerahi Allah alam yang indah, sejuk dan subur. Selain memperoleh rezeki dari industri perkebunan teh, warga Sarireja sekarang punya sumber pendapatan baru: Buah nanas simadu segar dan produk olahan yang menjadi turunannya seperti wajik nanas dan keripik nanas.
Melalui program TJSL PT Pupuk Kujang sejak 2019, industrialisasi nanas simadu juga menghasilkan limbah yang bernilai ekonomi tinggi:
1. Limbah daun nanas yang sudah tua diambil seratnya, dipintal menjadi benang dan ditenun menjadi kain serat nanas untuk bahan tas batik alam bernilai mahal. Sekuintal daun nanas setelah menjadi tas batik alam menghasilkan uang Rp 20.000.000.
2. Limbah produksi wajik dan keripik berupa kulit buah nanas diolah menjadi silase untuk pakan ternak kambing dan domba atau gibas. Saat ini, waarga Sarireja memberi pakan ternak dengan komposisi 70 persen silase dan 30 persen rumput hijau. keberhasilan warga memproses silase jelas menurunkan biaya produksi pakan yang sangat besar. Simulai keuntungan yang saya tulis di atas, bisa jadi, terlalu kecil.
Mudah-mudahan, cerita ini bermanfaat bagi kawan-kawan yang berniat qurban tahun depan. Begini ”tafsir ekonomi” di balik kewajiban berqurban bagi umat Islam yang tidak tersurat, yang saya coba implementasikan. (Direktur Lazizmu)