RADARBEKASI.ID, BEKASI – KAI Commuter dan Direktorat Jenderal Kereta Api (DJKA) Kementerian Perhubungan mengkaji rencana kenaikan tarif Kereta Rangkaian Listrik (KRL) Jabodetabek. Sejauh ini masih menunggu waktu yang tepat untuk menyesuaikan tarif.
Terkait wacana itu, direspon beragam pengguna. Mengingat masih ada sejumlah catatan yang perlu ditingkatkan utamanya keamanan dan kenyamanan penumpang.
Pengguna KRL dari Bekasi menuju berbagai wilayah di DKI Jakarta cukup besar jumlahnya. Hal itu bisa dilihat pada jam sibuk. Tepatnya ketika masyarakat berangkat ke tempat kerja, dan pada saat pulang. Mayoritas penumpang naik dari stasiun Bekasi, kesibukan di area stasiun selalu membuat macet lalu lintas sekitar stasiun.
Rencananya pemerintah akan menaikkan tarif KRL Jabodetabek menjadi Rp5 ribu per 25 km pertama. Saat ini tarif KRL Jabodetabek diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) nomor 17 tahun 2018, sebesar Rp3 ribu per 25 km pertama, dan Rp1.000 untuk setiap 10 km berikutnya.
Salah satu pengguna KRL, Fauziah (24) keberatan dengan rencana kenaikan tarif tersebut. Ketidaksetujuannya ini didasari oleh pertimbangan keamanan dan kenyamanan penumpang.
“Untuk segi kenyamanan kereta masih kurang nyaman, terlebih lagi masih banyak banget kasus kaya pelecehan,” ungkap perempuan yang bekerja di Kelapa Gading ini, Kamis (15/12).
Menurut dia, KRL merupakan moda transportasi paling murah saat ini. Dari sisi penataan, stasiun kereta juga diakui indah dipandang mata. Hanya saja, ia mengeluhkan jarak antar peron penumpang yang jauh, jumlah kursi di dalam kereta yang dianggap kurang, serta penumpang sulit melapor sesuatu yang terjadi kepada petugas saat berada di dalam kereta.
“Aksesnya jadi lebih susah, dan lebih memakan waktu, apalagi buat kaum mepet waktu ya,” tambahnya.
Pengguna KRL lainnya, Ramadhani (23) menilai kenaikan tarif sah-sah saja, asalkan tarifnya tetap, baik perjalanan jarak jauh maupun jarak dekat.
“Menurut saya gapapa sih kalau naik jadi Rp5 ribu, asal stabil jauh dekat. Orang tarif kendaraan umum (lain) aja naik,” katanya.
Hanya saja, ada beberapa hal yang harus diperbaiki, diantaranya plang pemberitahuan bagi penumpang sangat minim di dalam stasiun. Keadaan ini terkadang membuat ia kesulitan untuk melihat plang pemberitahuan. Berikutnya, petugas pengamanan di area peron juga perlu ditambah.
“Kadang satpamnya gak selalu ada di satu peron, tapi ya gimana, satu kereta 12 peron cuma satu satpam,” kata warga Bekasi Barat ini.
Rencana penyesuaian tarif disebut masih menunggu waktu yang tepat, KAI masih berkoordinasi dengan DJKA terkait dengan penyesuaian tarif baik nominal maupun waktu penyesuaiannya.
Corporate Secretary KAI Commuter, Anne Purba menyampaikan, KAI Commuter bersama dengan Kemenhub dan PT KAI terus meningkatkan pelayanan terhadap pengguna KRL. Dari sisi prasarana kata Anne, telah dilakukan pembangunan Stasiun, jalur baru, modernisasi sistem persinyalan, serta peningkatan fasilitas pelayanan stasiun.
“Sedangkan dari sarana optimalisasi keandalan dan penambahan jumlah rangkaian, sehingga setiap tahunnya dapat menambah jumlah perjalanan Commuterline,” ungkapnya.
Saat ini tarif KRL Jabodetabek masih tetap sesuai dengan Permenhub nomor 17 tahun 2018. Tarif ini sudah berjalan lebih dari lima tahun.
“Besaran tarif ini telah ditentukan, dan berjalan lebih dari lima tahun terakhir ini, tepatnya sejak 2016,” tambahnya.
Senada, Plt Dirjen Perkeretaapian, Risal Wasal juga menyampaikan bahwa DJKA Kemenhub masih terus mengkaji ulang besaran tarif yang sesuai, agar tidak memberatkan masyarakat, dan membebani anggaran Public Service Obligation (PSO). Ia memastikan penyesuaian tarif tidak akan dilakukan dalam waktu dekat.
“Semoga tahun depan akan ada kabar baik mengenai tarif KRL ini,” kata Risal dalam keterangan tertulis yang diterima oleh Radar Bekasi.
Kajian tentang penetapan tarif kata Risal, memang memperhatikan tingkat kemampuan dan kemauan masyarakat untuk membayar. Sekaligus, menimbang beban operasional KRL dan kebutuhan subsidi PSO yang akan dianggarkan.
Peningkatan tarif KRL selalu terjadi akibat inflasi, menyebabkan peningkatan komponen-komponen biaya yang dibutuhkan. Hal ini menyebabkan subsidi PSO terus bertambah, menjadi kontraproduktif terhadap upaya pembangunan yang masih berlangsung.
“Peningkatan tarif operasional KRL Jabodetabek selalu dan pasti terjadi setiap tahunnya, sehingga membuat beban PSO terus meningkat untuk menstabilkan tarif KRL ini,” tambahnya.
Anggaran PSO yang dialokasikan dinilai lebih efektif jika disalurkan untuk pembangunan prasarana dan peningkatan pelayanan perkeretaapian di seluruh Indonesia. (sur)