RADARBEKASI.ID, BEKASI – Setiap desa di Kabupaten Bekasi, mendapat anggaran Dana Desa (DD) dari Pemerintah Pusat ditambah anggaran dana Kabupaten dan bantuan keuangan Provinsi, sehingga nilainya mencapai miliaran per tahun.
Dana Desa tersebut untuk pembangunan lingkungan, seperti jalan maupun lainnya, sampai dengan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) di wilayah masing-masing. Namun demikian, masyarakat beranggapan banyak kepala desa yang tidak menggunakan DD tersebut sesuai fungsinya.
Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Bekasi, Rahmat Atong mengatakan, dalam satu tahun, setiap kepala desa di Kabupaten Bekasi, mendapat Anggaran Dana Desa (ADD) mulai Rp 4 sampai Rp 7 miliar, yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Bekasi, Provinsi, maupun Pusat.
Ia menjelaskan, anggaran untuk setiap desa memang berbeda-beda, karena perhitungannya sesuai kondisi dan situasi, termasuk potensi di desa itu sendiri.
“Rata-rata, melalui APBD Kabupaten Bekasi, Provinsi, dan Pusat Rp 4 sampai Rp 7 miliar per tahun. Karena tergantung potensi di masing-masing desa,” ucap Atong kepada Radar Bekasi, belum lama ini.
Dijelaskan Atong, pencarian DD dilakukan dalam beberapa tahap, seperti untuk desa mandiri, dicairkan tiga tahap. Sedangkan untuk desa bukan mandiri, itu dua tahap.
Kemudian, realisasi DD itu sudah ada rincian atau pedomannya. Misalkan dari APBD, peruntukannya buat gaji atau honor. Sedangkan anggaran dari provinsi, buat pembangunan fisik. Lalu anggaran yang dari pusat, misalkan untuk peningkatan SDM.
“Dalam pencairan DD itu, harus disertai laporan kerja. Lalu mau ke tahap berikutnya, mereka harus menyerahkan Surat Pertanggungjawaban (SPJ) untuk diverifikasi. Setelah selesai diverifikasi dan memang sudah sesuai, baru kami cairkan DD berikutnya,” ungkap Atong.
Kendati DD yang diterima pemerintah desa terbilang besar, Atong membeberkan, sepanjang tahun 2022, ada beberapa kepala desa di Kabupaten Bekasi yang terjerat hukum, dengan kasus yang berbeda-beda. Diantaranya, Kepala Desa (Kades) Lambangsari dan Cibuntu, kasus Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Lalu Desa Sukadanau, mengenai asusila, sedangkan Desa Segara Jaya, kasus mafia tanah.
“Kalau yang terjerat hukum, kasusnya berbeda-beda, yang saya tahu ada dua kepala desa terjerat kasus PTSL, kemudian ada juga asusila, dan mafia tanah,” tutur Atong.
Saat ditanya perihal usulan masa jabatan kepala desa menjadi sembilan tahun, Atong enggan memberikan komentar. Pasalnya, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi akan mengikuti keputusan Pemerintah Pusat.
“Kalau kami mengikuti pemerintah pusat dalam persoalan ini. Sepanjang aturannya jelas dan sudah dibuatkan undang-undangnya, Pemkab Bekasi akan menjalankan,” ungkapnya.
Sementara itu, warga Desa Sukawangi, Jaya (35) menyampaikan, tidak semua kepala desa menggunakan DD sesuai fungsinya. Hal itu seperti yang terjadi di wilayahnya, selama ini belum ada pembangunan atau program yang bermanfaat untuk masyarakat. Padahal, masa kepemimpinan kepala desa yang sekarang sudah berjalan tiga tahun.
“Mana ada yang diperbuat. Pengolahan Air Minum Rumah Tangga (PAM RT) saja mati, tidak pernah diperbaiki, padahal itu sudah bertahun-tahun lamanya. Kemana saja itu Dana Desa?,” tanya pria yang akrab disapa Doyok ini. (pra)