Berita Bekasi Nomor Satu

Cerita Panji, Warga Bekasi Korban Perdagangan Orang di Myanmar

Disetrum, Tidur Hanya Tiga Jam, Setiap Hari Dapat Hukuman

SURYA BAGUS/RADAR BEKASI KORBAN TPPO : Panji Apriyana (31), korban perdagangan orang saat di wawancarai Radar Bekasi, kemarin.

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Sejak tanggal 2 Juni kemarin, salah satu warga Bekasi yang menjadi korban korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Panji Apriyana (31) sudah kembali ke rumah. Siksaan dan tekanan selama berada di Myawaddy, Myanmar masih sangat membekas, meninggalkan bekas luka dan trauma.

Laporan : Surya Bagus
MEDAN SATRIA

Anak sulung Nurhaida (56), berada di dalam kamar saat Radar Bekasi tiba di rumah Nomor 4, Jalan Markisa III, Blok RJ, RT.007/020, Kelurahan pejuang, Kecamatan Medan Satria, Kota Bekasi. Ya, Nurhaida lah yang membukakan pintu pagar rumah, kemudian mempersilahkan Radar Bekasi masuk ke ruang tamu dengan ramah.

“Baaaang,” kata ibu dua orang anak ini memanggil Panji yang saat itu masih berada di dalam kamar. Beberapa saat setelah berbincang dengan Nurhaida, Panji keluar dari dalam kamar, duduk di bangku yang terletak persis berada di antara kami.

Panji memperlihatkan beberapa bekas luka di bagian perut, lengan, juga di beberapa bagian tubuh lain yang tidak bisa ia tunjukkan, berada dibalik celana panjang yang ia kenakan saat itu. Membekas akibat sanksi yang ia terima, berulang kali harus merasakan sengatan alat setrum di beberapa bagian tubuh.

Tawaran kerja menggiurkan diterima oleh Panji satu hilang setelah ia resign dari tempat bekerja sebelumnya. Tawaran gaji hingga Rp15 juta, bonus, jatah libur satu hari dalam sepekan, jam kerja 12 jam, serta dapat pulang ke Indonesia setiap enam bulan sekali merupakan tawaran yang sangat menggiurkan.

Sebelum tiba di Myawaddy, ia hanya tau bekerja sebagai operator marketing online. Tepat 22 Oktober 2022, ia terbang bersama 2 WNI lain menuju Thailand.

Selain hukuman fisik, Panji dan 20 WNI lainnya juga harus bekerja penuh tekanan, hingga terancam diperjualbelikan. Fisik Panji sudah tidak bisa lagi menerima tekanan dan hukuman fisik, ia harus mendapatkan perawatan di Rumah Sakit (RS), kemudian mengganti uang pengobatan dengan gaji sebesar 10 ribu Baht atau setara dengan Rp4 juta yang ia terima.

“Saya malah 3 bulan nggak digaji karena masuk rumah sakit. Pertama itu kena 15 ribu Bath, yang kedua 10 ribu, yang ketiga itu 25 ribu Bath. Bukan nggak terima gaji, malah ngutang sama company,” ungkapnya.

Kecurigaan mulai muncul sejak ia tiba di Thailand. Semakin menjadi-jadi saat di Bandara, ia tidak seperti pendatang lainnya, harus mengantri di Counter Imigrasi, ia merasa seperti masuk melalui jalur cepat dan khusus, sebelum akhirnya dijemput menuju perusahaan tempatnya bekerja.

Rasa curiga bercampur khawatir yang dirasakan Panji menjadi kenyataan setibanya di tempat bekerja. Nyatanya ia bekerja di perusahaan online scam, bekerja selama 19 jam, dituntut target mendapat minimal satu kontak dalam satu hari, dengan biaya hidup mandiri tanpa fasilitas perusahaan.

Apa yang ia rasakan selama enam hari bekerja sudah membuat Panji tidak betah, ini perlawanan pertama Panji. Ia meminta untuk pulang, berusaha menghubungi agen bernama Anita yang menjadi perantara saat akan diberangkatkan ke Thailand, ia juga yang ditangkap oleh Bareskrim beberapa waktu lalu.

Hukuman harus mereka dapat saat tidak memenuhi target, tertidur saat bekerja karena kelelahan, maupun kesalahan-kesalahan lainnya. Setelah beberapa kali mendapat hukuman fisik, Panji akhirnya lebih memilih untuk mendapat hukuman setrum dibandingkan hukuman fisik lain seperti Push-up, Square Jump, hingga jalan jongkok.

Hukuman ini hanya akan berakhir saat leader di tempatnya bekerja merasa puas.
“Sebulan saya kerja setengah hari doang, nggak bisa lama, karena efeknya nggak bisa kecapean. Ketahuan saya bawa HP dua, disitu saya dihajar, orang pertama Indonesia yang disetrum itu saya, karena ketahuan bawa HP,” paparnya.

Ruang kerja Panji dan puluhan WNI lainnya berada di lantai lima gedung, bekerja mulai pukul 20:00 malam sampai pukul 14:00 WIB. Dengan begitu, Panji dan kawan-kawan hanya mendapat 4 jam waktu istirahat, 3 jam diantaranya dimanfaatkan untuk tidur.

Kamar tempat beristirahat disebut layak, hanya saja ia harus membayar uang sewa, bukan fasilitas perusahaan. Satu kamar diisi 8 orang, satu diantaranya diizinkan menguasai telepon genggam, berfungsi sebagai alarm supaya tidak terlambat bangun.

Satu lagi, penghuni kamar tidak boleh lalai mematikan lampu kamar, atau mereka harus membayar denda. Gaji yang diterima tidak cukup untuk biaya hidup, semua harus menggunakan biaya mandiri mulai dari sabun cuci hingga sabun mandi, uang gaji satu bulan hanya bertahan empat hari, selebihnya berhutang.

Tiga kali waktu yang didapat Panji untuk meluangkan waktu makan, masing-masing pukul 12 malam, pukul 05:00 WIB, dan pukul 11:30 WIB. Mereka harus memanfaatkan waktu untuk beristirahat dan makan selama 10 menit.

Jam kerja tak berperikemanusiaan ini membuat fisik dan pikiran Panji kelelahan. Tak jarang, ia memanfaatkan waktu untuk tidur sejenak di tangga gedung, dengan alasan ke toilet.

Minuman berenergi wajib tersedia, setidaknya untuk membantu Panji tetap terjaga dari kantuk dan kelelahan yang mendera setiap hari. Satu hari dua kaleng minuman berenergi, itu pun didapat dari berhutang kepada atasannya.

“Jadi kalau makan itu ke toilet, harus sudah selesai, mesti naik lagi keatas. Kalau lebih dari 10 menit nggak naik keatas, jalan jongkok sambil megang galon, 10 keliling. Jadi kalau leader sudah bilang waktunya makan, lari kita, sudah tidak ada yang jalan,” kenang Panji.

Khusus akhir pekan, target nomor telepon yang didapat jauh lebih besar, tim WNI yang terdiri dari 20 orang harus mendapatkan 20 nomor telepon. Memang sulit, target itu tidak pernah tercapai.

Sehingga, hukuman fisik tidak bisa terelakkan, harus mereka terima di lapangan terbuka. Hukuman akhir pekan ini berbeda dengan hari biasanya yang dilakukan di ruang kerja dan semua pekerja harus menyaksikan apa yang terjadi pada teman-temannya.

Kenyataan itu yang membuat trauma membekas di benak Panji. Setiap kali atasannya mendapati kesalahan dilakukan oleh pekerja, pencahayaan di ruangan kerja dimatikan, jendela dan pintu ditutup rapat-rapat, music diputar dengan volume keras selama proses penghakiman.

“Kalau dengar musik kencang, wah ini apa nih, siapa nih disiksa, gitu. Di rumah masih agak asing ya, biasa disana tegang mulu, nggak pernah ketawa. Begitu sampai di rumah, tidur, ini benar nggak sih udah di rumah, masih ada sedikit trauma,” ungkapnya.

Panji dikenal sebagai salah satu WNI yang kerap melawan. Karena ini, selama tidur di kamar pun ia harus dalam pengawasan. Dari delapan orang penghuni kamar, salah satunya adalah leader.

Hingga akhirnya perlawanan para pekerja WNI memuncak, mereka sepakat untuk pulang ke Indonesia. Perjuangan 20 WNI dimulai sejak bulan Februari 2023.

Mendekati evakuasi, mereka dihantui rencana dijual oleh perusahaan. Hingga 12 hari terakhir sebelum dievakuasi, puluhan WNI disekap, sebagian di kamar, sebagian lagi termasuk Panji di kantor keamanan distrik.

Tuhan tidak menutup mata, selama berada di kantor keamanan distrik, Panji dan 9 WNI lain diberi makan oleh tukang sapu, bahkan petugas keamanan, mereka adalah sosok yang dikenal frontal. Pertolongan tidak terduga ini datang akibat perbuatan mereka selama berada disana, mulai dari sekedar menyapa, hingga memberikan sedikit uang kepada tukang sapu.

“Ketahuan tukang sapu ini ngasih kita makanan, sekali lagi (ketahuan) dipecat, nggak bisa kerja, akhirnya setop (memberi makanan), bingung kita. Setelah itu ketua Armynya baik, dia beliin kita makan, tapi sehari cuma sekali,” tambahnya.

Waktu yang sangat dinanti tiba, tanggal 16 Mei, mereka dievakuasi, waktunya cepat sekali, pakaian Panji banyak tertinggal. Panji segera bergegas ikut rombongan keluar dari distrik tempatnya bekerja, hanya barang-barang seadanya yang bisa ia bawa pergi.

Mereka dibawa ke Bangkok, Thailand sebelum akhirnya dipulangkan ke tanah air. Panji tiba di Indonesia pada 25 Mei, sebelum pulang ke rumah, mereka lebih duku dibawa ke Rumah Perlindungan dan Trauma Center (RPTC) di Jakarta.

Luka dan Trauma masih membekas, berikut dengan efek penyiksaan yang membuat Panji tidak bisa melakukan aktivitas fisik berat. Cepat lelah, itu yang ia rasakan.

Bahkan, untuk memeriksakan diri secara intensif di RS saja Panji mengaku belum memiliki keberanian. Ia mengaku belum siap untuk mendengarkan diagnosa dokter.

Kenyataan ini membuat Panji berfikir, pengalamannya kemarin akan menjadi yang pertama dan terakhir dalam hidupnya. Sepenuhnya ia menyadari, bekerja di dalam negeri lebih aman, apalagi jika tawaran bekerja di luar negeri terdengar sangat menggiurkan dan proses yang dilalui sangat mudah.

Pengalamannya kemarin juga membuat ia merasakan begitu eratnya persaudaraan yang terbangun dengan puluhan WNI lain, meskipun berasal dari berbagai daerah. Saling tolong usai mendapat hukuman, hingga berjuang bersama untuk bisa pulang ke Indonesia.

Kepulangan Panji dan puluhan temannya yang lain tidak terlepas dari upaya keluarga, termasuk Nurhaida mencari pertolongan. Ia telah mendatangi berbagai lembaga, diantaranya Kepolisian, Komnas HAM, LPSK, hingga presiden Joko Widodo.

Nurhaida tidak sendiri, ia berjuang bersama-sama dengan keluarga dari puluhan WNI lainnya. Kini, Nurhaida bersyukur, Panji bisa kembali berkumpul dengan keluarga, ia kerap mendatangi Panji dan

“Bukan cuma ibu, kita berjuang rame-rame. Sampai ibu dari tidak tahu apa-apa, jadi tahu apa itu Komnas HAM, LPSK, dan lain-lainnya. Ya buat pelajaran lah ya,” katanya seraya menatap wajah Panji.

Nurhaida dan Panji bersepakat, sementara ini Panji belum kembali beraktivitas seperti sedia kala. Panji belum kembali bekerja, ia masih full berada di rumah.(*)