Berita Bekasi Nomor Satu

Impeachment Presiden atau Makar : “Penalaran Pasca Amandemen UUD 1945”

Oleh: Naupal Al Rasyid, SH., MH

Naupal Al Rasyid, SH., MH

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Ada yang menarik dalam hal dinamika politik belakangan ini di Indonesia. Salah satunya pemikiran tentang impeachment Presiden atau barangkali disebut juga proses pemakzulan.

Sebenarnya secara rinci, prosedur impeachment Presiden berlaku di Indonesia setelah pasca Amandemen Konstitusi UUD 1945. Sebelum Amandemen Konstitusi UUD 1945, proses impeachment Presiden lebih diutamakan proses politik daripada yudisial.

Proses ini terlihat pada sidang pemakzulan antara Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid, yang sama sekali tidak didahului diadakan sidang peradilan.

Lembaga itu sendiri, merupakan bagian dari fungsi kontrol tertinggi yang dimiliki oleh lembaga perwakilan. Adanya impeachment merupakan konsekuensi logis jika negara ingin memperkuat sistem presidensial.

Prinsip ini merupakan bagian dari check and balances antara legislatif dan eksekutif, namun karena legitimasi eksekutif tidak berasal dari legislatif, maka perlu dibuat mekanisme agar kekuasaan legislatif tetap mengontrol eksekutif.

Oleh karena itu perlu dibuat aturan tentang Impeachment Presiden. Secara umum, pengertian impeachment dapat diartikan sebagai alat yang diberikan kepada parlemen oleh konstitusi untuk memberhentikan presiden dari jabatannya di tengah mandatnya. (Catur Alfath Satriya, 2022).

Istilah impeachment Presiden yang diatur melalui perubahan ketiga pada Tahun 2001 Amandemen UUD Tahun 1945, terdapat pada ketentuan Pasal Ayat 7A dan 7B, namun proses politik untuk membuktikan tuntutan tersebut ada di DPR, karena hukum formal.

Proses ketiga, MPR merupakan proses intensitas politik dan pemerintahan sangat kental, karena MPR merupakan perwujudan DPR, yang anggotanya dipilih dari antara wakil partai politik, meskipun menjalankan kekuasaan dan kewenangan konstitusionalnya, MPR memang tidak bisa dipisahkan dari politik.

Secara sederhana, impeachment Presiden adalah proses pendakwaan dari badan legislatif kepada badan tinggi negara. Dalam kasus ini, berarti dari DPR kepada Presiden. Jadi ada unsur DPR yang mengusulkan pemakzulan, dan ada pihak yang dikenakan pemakzulan, yaitu lembaga negara seperti Presiden atau Wakil Presiden.(Nur Habibi, 2015).

Adapun ketentuan Pasal Ayat 7A dan 7B UUD Tahun 1945, dapat ditelaah secara sederhana, bahwa prosedur impeachment Presiden dimulai dengan DPR mengajukan usul pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden kepada MPR.

Namun terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada MK untuk memeriksa, menilai, dan memutus gugatan DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden melanggar ketentuan undang-undang.

Pernyataan DPR tersebut merupakan bagian dari amanat pengawasan DPR. Atas permintaan DPR, pernyataan ke MK hanya bisa diberikan jika jumlah dukungan minimal 2/3 dari jumlah anggota DPR yang mengikuti rapat paripurna.

MK wajib menyelidiki permintaan DPR dan mengambil keputusan yang adil selambat-lambatnya 90 hari setelah DPR menerima permintaan DPR. MK dapat memutuskan bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah terbukti melanggar peraturan perundang-undangan, atau tidak lagi memenuhi persyaratan sebagai Presiden atau Wakil Presiden.

DPR dapat mengadakan sidang paripurna untuk menyampaikan kepada MPR, putusan MK atas permohonan pemakzulan Presiden atau Wakil Presiden. Dalam hal ini MK bertindak sebagai lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, dan hasil amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sebagai badan konstitusional, lembaga ini dibentuk menjadi wali sekaligus penafsir putusan terhadap undang-undang dan putusan pengadilan. (Ucha Widya, 2022).

Dari uraian tersebut diatas, perlu dilakukan perbandingan dengan bermaksud mengkritisi pemikiran tentang Impeachment Presiden serta kaitannya dengan apakah ada upaya-upaya Makar?

Untuk itu selanjutnya, akan ditelaah secara singkat berkaitan upaya jahat untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah dengan cara-cara inkonstitusional.

Makar merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, yaitu Al-Bagyu yang berarti sebagai kezaliman, keluar dari aturan, sombong, pemberontakan, melebihkan suara, dengki. (Ibrahim Mustafa, 2016).

Selain itu, Makar disebut sebagai aanslag yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu suatu penyerangan atau aanval yang memiliki arti suatu penyerangan dengan maksud tidak baik (misdadiger aanranding). (Lidya Suryani Widayati, 201).

Makar merupakan tindak pidana yang berobjek pada kepala negara dan keutuhan suatu negara. Perbuatan makar yang dilakukan oleh perorangan maupun sekelompok orang, dapat menyebabkan terpecahnya suatu negara yang apabila perbuatan tersebut tidak diberikan tindak lanjut oleh penegak hukum. (Deni Setya Bagus Yuherawan, 2021).

Makar, menurut BN Marbun (2002) merupakan kudeta, diambil dari kata dalam bahasa Perancis, yaitu Couped’etat, pengambilan kekuasaan dalam suatu pemerintahan dengan menggunakan kekerasan, pemaksaan, dan pengambilan kekuasaan yang dilakukan secara tiba-tiba dan inkonstitusional.

Sedangkan dalam norma KUHP, makar diatur dalam Pasal 104, Pasal 106, Pasal 107, dan Pasal 108, dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) KBBI, makar kerap diartikan juga “kudeta”, akal busuk, tipu muslihat, perbuatan dengan maksud hendak menyerang (membunuh), usaha untuk menjatuhkan pemerintah yang sah.

Makar dapat diartikan sebagai percobaan yang mengandung unsur serangan, walaupun belum terjadi pembunuhan kepada presiden tetapi mengandung unsur percobaan untuk menyerang dan atau dapat menghilangkan nyawa maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan makar.

Secara harfiah, makar dapat diartikan sebagai suatu bentuk penyerangan terhadap pemerintah yang sah dan memiliki maksud untuk menentang kebijaksanaan yang telah ditetapkan, baik dengan melakukan kekuatan senjata atau dengan cara lain. (Novi Fuji Astuti, 2020).

Secara empirik belajar dari pengamanan impeachment Presiden, sebelum perubahan Amandemen UUD Tahun 1945, yang kaidahnya hukum tidak dengan mengatur dan cenderung diutamakan proses politik daripada proses yudisial.

Maka melalui perubahan ketiga pada Tahun 2001 Amandemen UUD Tahun 1945, terdapat pada ketentuan pasal Ayat 7A UUD Tahun 1945 secara eksplisit dipertegas, yang pada pokoknya menyatakan faktor-faktor impeachment Presiden dengan menyatakan bahwa MPR dapat memberhentikan Presiden atau Wakil Presiden selama masa jabatannya atas usul DPR, dan dalam hal terbukti melakukan pelanggaran hukum, pengkhianatan (keamanan), korupsi, kejahatan berat lainnya, yaitu kejahatan yang diancam dengan pidana paling singkat 5 (lima) tahun atau perbuatan yang memalukan, yaitu perbuatan yang dapat merendahkan martabat manusia dan apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat.

Sehingga, apabila diklasifikasikan makar dan impeachment Presiden, mempunyai persamaan tujuan, yaitu untuk memberhentikan atau pemakzulan pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden selama masa jabatannya.

Dari uraian tersebut diatas, dapat disimpulkan: Pertama, perbedaan makar dan impeachment Presiden terletak dalam mekanisme, yaitu makar upaya jahat untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah dengan cara-cara inkonstitusional, dan, keluar dari aturan, sombong, pemberontakan, serta suatu penyerangan atau aanval yang memiliki arti suatu penyerangan dengan maksud tidak baik (misdadiger aanranding).

Sedangkan impeachment Presiden atau pemakzulan, merupakan mekanisme konstitusional sebagai bagian dari check and balances antara legislatif dan eksekutif, dengan DPR mengajukan usul pemberhentian Presiden atau Wakil Presiden kepada MPR.

Namun terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada MK untuk memeriksa, menilai, dan memutus gugatan DPR, bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melanggar ketentuan undang-undang.

Kedua, tidak terjadi makar dan harus dihindarkan adalah jangan dilakukan mekanisme impeachment Presiden, didahului dengan menggunakan makar dengan mekanisme kekerasan, pemaksaan, dan pengambilan kekuasaan yang dilakukan secara tiba-tiba dan inkonstitusional, sehingga merupakan merupakan kudeta konstitusional dengan akal busuk, tipu muslihat, perbuatan dengan maksud hendak menyerang (membunuh), usaha untuk menjatuhkan pemerintah yang sah. (*) Direktur LBH FRAKSI ’98