Berita Bekasi Nomor Satu

Kekeringan Lahan Pertanian Dinilai sebagai Bentuk Pembiaran

Illustrasi - Foto udara area persawahan yang mengalami kekeringan di Desa Karanganyar Kecamatan Karangbahagia Kabupaten Bekasi, Rabu (7/6). BMKG Memprediksi kemarau yahun ini lebih kering. ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Kekeringan yang melanda sejumlah area persawahan di Kabupaten Bekasi, dinilai sebagai bentuk pembiaran dan sengaja dilakukan oleh pemerintah untuk mengubah status lahan pertanian menjadi tanah kosong.

Sehingga akhirnya berubah fungsi, dan developer bisa membangun perumahaan di lahan tersebut. Hal itu terjadi, karena tidak adanya keberpihakan pemerintah terhadap petani.

Anggota Komisi IV DPR RI, Daeng Muhammad menyampaikan, kasus kekeringan lahan pertanian yang terjadi di Kecamatan Karang Bahagia, akan menyebar ke wilayah barat maupun utara Kabupaten Bekasi. Karena saluran irigasinya sudah rusak, dan tidak ada perhatian sama sekali dari pemerintah.

“Saya sudah bicara berkali-kali, jargon swasembada pangan itu hanya manis di mulut. Karena tidak ada keberpihakan, dan didukung oleh pemerintah,” ucapnya kepada Radar Bekasi, Senin (12/6).

Menurut Daeng, persoalan ini terjadi bukan ujug-ujug. Mengingat berkaitan dengan tata ruang dan perencanaan. Bahkan dirinya juga menduga, ini sengaja dilakukan oleh sebuah kebijakan. Supaya lahan-lahan pertanian tidak bisa lagi di garap, dan berubah fungsinya menjadi perumahaan. Kenapa dirinya menduga ada indikasi itu?, karena seolah-olah sengaja dibiarkan oleh negara terhadap kebutuhan petani, yaitu air.

“Itu sangat mungkin, yang tadinya hijau jadi kuning, kemudian berubah jadi merah. Karena apa, sawah yang tadinya tanah teknis menjadi tanah hujan. Kalau sudah tanah hujan, akhirnya berubah fungsi bisa depelover bangun jadi perumahaan,” terangnya.

Sebenarnya kata Daeng, persoalan air ini sangat bisa ditangani, tapi lagi-lagi tidak ada keseriusan dari pemerintah. Salah satu contoh, tidak ada keberpihakan terhadap petani yang berbasis pada anggaran.

“Saluran tersier dan sekundernya dibenerin nggak?. Begitu juga dengan pencemaran air. Lalu ada penegakan hukum nggak disitu. Kalau itu tidak dilakukan, memang ada pembiaran, atau sengaja dilakukan. Artinya, ada yang ingin merubah tata ruang,” ucap Daeng.

Untuk menangani persoalan ini tidak cukup hanya bicara konteks lahan pertanian abadi. Tetapi harus ada keberpihakan terkait anggaran. Lanjut Daeng, bisa dibayangkan Kabupaten Bekasi punya APBD Rp 6 triliun, sementara anggaran untuk pertanian hanya Rp 16 miliar.

“Disitu saja sudah kelihatan, buat saya ini sengaja dilakukan. Bukannya sesuatu yang tidak terencana, tapi terencana. Lihat saja Karang Bahagia, bagaimana menjamurnya perumahan. Persawahan teknis semua dibabat habis-habisan,” bebernya.

Oleh karena itu, pria yang juga sebagai Ketua DPD PAN Kabupaten Bekasi ini menyarankan, agar kebijakan untuk menjaga lahan pertanian harus tercermin di Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Misalnya, berapa anggaran normalisasi sungai, perbaikan terhadap saluran sekunder dan tersier, serta pencegahan terhadap pencemaran air oleh kawasan industri.

Tentu dalam hal ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bekasi harus membuat kesimbangan ekosistem dari pertanian, industri, saluran sungai yang terjaga, dan keberpihakan dari sisi anggaran. Sehingga mampu membackup kepentingan petani secara substansi.

“Kawasan industri yang dibangga-banggakan, tidak akan menolong masyarakat dalam kondisi darurat, khususnya terkait ketahanan pangan,” tegas Daeng. (pra)