Berita Bekasi Nomor Satu
Opini  

“Kesesatan” Syekh Panji Gumilang dan Orang-Orang Suci

Helmi Hidayat.

Oleh: Helmi Hidayat

Hampir satu bulan berita tentang Syek Panji Gumilang (SPG) dan Pondok Modern Al-Zaytun mewarnai jagad media massa dan media sosial di Indonesia. Rata-rata menyoroti kesesatan SPG.

Saya tentu prihatin. Tapi, dari semuanya, berita paling memprihatinkan saya adalah kabar dibentuknya tim investigator untuk menyelediki dan memverifikasi ‘’kesesatan’’ yang ditudingkan kepada SPG.

Bagaimana mungkin saya tidak prihatin? Apa yang ada dalam pikiran Anda ketika seorang anak manusia menuding anak manusia lain sesat?

Menurut ajaran Islam, konsekuensi orang sesat (adh-dhaaluun) adalah masuk neraka. Padahal neraka itu milik Allah. Jadi, mungkinkah orang-orang itu menuding SPG sesat padahal mereka tak punya neraka? Karena neraka punya Allah dan hanya Allah yang berhak memasukkan para hamba-Nya entah ke surga atau ke neraka, pertanyan saya: apakah orang-orang yang hendak melakukan investigasi ‘’kesesatan’’ Syekh Panji Gumilang itu adalah orang-orang suci yang pasti masuk surga?

Menurut ajaran Islam di dalam Al-Quran dan hadits Nabi SAW, di hari kebangkitan setiap manusia akan diadili di Gurun Mahsyar. Semua kita belum tahu, apakah kita masuk surga atau neraka. Kita hanya bisa berdoa dan berharap masuk surga, tapi siapa yang tahu ke mana kita akan digiring di Gurun Mahsyar nanti? Nah, kalau status semua kita di akhirat nanti kita belum tahu pasti, lalu siapa sesungguhnya orang-orang yang berteriak meminta investigasi dilakukan terhadap SPG dilakukan? Orang-orang suci yang sudah pasti masuk surgakah mereka?

Mari kita lihat beberapa kasus yang ditudingkan kepada SPG hingga ia dituduh menyebarkan ajaran sesat. SPG dituduh sesat, misalnya, akibat pernah menyelenggarakan salat idul fitri di mana lelaki berdiri sejajar dengan perempuan menghadap Allah SWT. Saya mau tanya di mana letak kesesatan itu? Di Masjidil Haram jamaah lelaki dan perempuan berdiri sejajar, bahkan jamaah lelaki salat di belakang jamaah perempuan? Di Masjid Nabawi di Madinah, saat salat jamaah lelaki juga berdiri sejajar dengan jamaah perempuan, hanya saja ada tirai yang membatasi mereka? Jika Anda lihat dari atas, mereka sejajar bukan?

Mengapa energi negatif mereka yang menuding SPG sesat tidak dibalik menjadi positif saja dengan berasumsi SPG sedang membela harkat dan martabat kaum perempuan dalam Islam bahwa posisi mereka sejajar di hadapan Allah SWT seperti tertera dalam Al-Quran surat An-Nisaa ayat 124.

SPG pernah menyatakan tujuan berhaji bukan orang ingin mati lalu minta dikubur di tanah suci. Di mana salahnya? Bukankah tujuan ibadah haji memang bukan itu, tapi agar pelakunya mendapatkan predikat haji mabrur di mata Allah SWT. Kata ‘mabrur’ itu Bahasa Arab, artinya penuh ’al-birru’ atau kebaikan sosial. Jadi, jika ada orang pergi haji, dia diharapkan balik ke tanah air lalu menebar ‘al-birru’ buat masyarakat sekitar, seperti yang dilakukan Haji Imam Bonjol, Haji Pangeran Diponegoro, yang mengobarkan semangat bela tanah air sepulang berhaji.

Jadi, kalau SPG menegaskan dikubur di tanah air juga tidak kalah mulia dibanding dimakamkan di tanah suci Makkah atau Madinah, di mana letak kesesatannya? Bukankah pernyataan itu malah menunjukkan betapa nasionalis seorang Panji Gumilang? Dia sangat cinta tanah air!

SPG dituding menebar ajaran sesat karena mengatakan ia mengikuti mazhab Bung Karno. Tudingan ini juga lucu. Di mana letak kesesatannya? Imam Hanafi, Imam Hambali, Imam Maliki, Imam Syafii, Daud Az-Zahiri, Imam Ja’far Ash-Shiddiqi, dan banyak lagi imam dalam ilmu fiqih, mereka semua tentu orang-orang hebat dan cerdas. Tapi, ingat dan catat baik-baik, menurut ajaran Islam, mereka adalah orang-orang biasa, bukan nabi. Karena itu mereka serta Bung Karno pasti akan berdiri sejajar dengan kita semua di Gurun Mahsyar lalu menjadi orang-orang yang diadili di hadapan pengadilan Allah SWT.

Jadi, mengapa jika Anda mengatakan bermazhab Imam Syafii boleh, tapi SPG dianggap sesat saat mengatakan ia bermazhab Bung Karno – padahal Imam Syafii dan Bung Karno sama-sama bukan nabi?

Oh, mungkin orang-orang itu berpendapat, ‘’tapi Bung Karno kan bukan ahli fiqih?’’ Fiqih itu Bahasa Arab, artinya ‘’understanding’’ dalam Bahasa Inggris. Bung Karno memang tidak melahirkan mazhab dalam fiqih, tapi dia, Anda, kita semua, berhak melakukan ‘’understanding’’ terhadap ajaran Islam berhadapan dengan zaman dan masyarakat yang terus berubah.

Bukankah Anda memilih Islam karena meyakini agama ini kompatibel dengan segala zaman, cocok dengan segala tempat, kenyal berhadapan dengan karakter masyarakat apa pun, sampai kiamat nanti? Jika demikianlah keyakinan Anda, seharunya Anda yakin Islam adalah agama yang berwatak liberation alias membebaskan para penganutnya dari pikiran jumud.

Lihatlah Imam Syafii. Saat tinggal di Baghdad, ia punya pendapat lama (qaul qadiim). Tapi, waktu pindah ke Mesir lalu melihat kondisi sosial-politik-ekonomi-budaya yang berbeda, pemikir rasional yang cerdas ini mengubah mazhabnya sendiri dengan pendapat baru (qaul jadiid).

Imam Syafii tercatat wafat pada 19 Januari 820 M atau 1203 tahun dari sekarang. Jika kondisi Baghdad dan Mesir di masa Imam Syafii saja bisa membuat tokoh cerdas dan inovatif itu melahirkan cara pandang baru dalam ‘’fiqih’’, dalam ‘’understanding’’, mengapa jarak 1000 tahun lebih dari masa Imam Syafii kepada masa kita saat ini tidak membuat Anda tergiur untuk hijrah dari pikiran lama? Lalu mudah sekali menuduh orang lain sesat hanya karena berbeda pandangan fiqih?

Bung Karno, sekali lagi, memang tidak melahirkan mazhab fiqih. Tapi interaksinya dengan 20 lebih pemikir Timur Tengah di zaman ia hidup, antara lain dengan Muhammad Abduh, Jamaluddin Al-Afghani, Ali Pasha, dan lain-lain, semua itu membuatnya berani melakukan ijtihad dalam Islam.

Sebagai contoh, Bung Karno berani meninggalkan rapat Muhammadiyah di Bengkulu pada Januari 1939 hanya untuk menunjukkan kritiknya terhadap penggunaan tabir yang memisahkan kaum lelaki dan perempuan dalam rapat itu. Sesatkah Bung Karno dengan sikapnya itu? Tentu tidak sebab sang proklamator saat itu justru tengah membela harkat dan martabat kaum perempuan. Tabir di mata Bung Karno adalah simbol perbudakan terhadap kaum perempuan!

Kembali pada Syekh Panji Gumilang, ia juga dituding sesat sebab menjadi pendukung berdirinya Negara Islam Indonesia, sementara pesantren yang dipimpinnya sekadar menjadi topeng. Soal ini sebenarnya sudah dibantah oleh SPG sendiri bahwa sejarah NII sudah terkubur pada 1962 ketika semua pendukung NII kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi berdasarkan ideologi Pancasila.

Tapi, sebutlah benar SPG ingin mendirikan NII. Coba jawab pertanyaan saya: sesatkah ajaran dan pikirannya? Jika gara-gara gagasannya mendirikan NII dia dianggap sesat, padahal konsekuensi sesat adalah masuk neraka, berarti orang-orang yang menganggap SPG sesat harus juga menganggap pemerintah Arab Saudi dan Republik Iran adalah sesat dan masuk neraka sebab mereka bukan cuma berpikir, tapi sudah mendirikan negara Islam.

Kawan, saya juga pendukung Pancasila sebagai ideologi negara kita, pendukung berat Republik Indonesia yang tidak didirikan atas dasar satu agama apa pun. Negeri kita ideal sebagai laboratorium raksasa yang mempertontonkan indahnya multikulturalisme.

Tapi, saya tak akan menuduh siapa pun yang bermimpi tentang NII sebagai sesat sebab sebenarnya mereka hanya berbeda pandangan dengan saya dalam konsep bernegara.

Berhati-hatilah dengan label sesat-menyesatkan. Jika Anda tidak setuju dengan tafsir seseorang tentang ayat-ayat Al-Quran, lawanlah ia dengan tafsir tandingan, bukan dengan label sesat dan kafir. Jika Anda tak setuju dengan pemikiran dan pesantren Syekh Panji Gumilang, jangan kerahkan 100.000 demonstran lalu Anda suruh mereka berteriak-teriak sesat.

Tapi, bangunlah pesantren tandingan dengan pikiran-pikiran tandingan pula. Tafsir dilawan dengan tafsir, argumentasi diperhadapkan dengan argumentasi, rasio versus rasio. Inilah tradisi Islam sesungguhnya.

Jika pikiran, mazhab dan argumentasi Anda dirasa paling benar oleh masyarakat dan semua orangtua santri di mana pun, maka Pesantren Al-Zaytun akan mati dengan sendirinya, bukan oleh demonstrasi, bukan oleh fatwa ulama yang didasarkan atas entah mazhab apa, juga bukan oleh keputusan Kementerian Agama yang ingin membekukan pesantren besar dan megah ini tanpa melewati proses pengadilan terlebih dulu.

Jika dulu di zaman Orde Baru kita pernah marah pada Departemen Penerangan yang bisa seenak udelnya membreidel sebuah koran atau majalah berdasarkan tafsir sepihak pemerintah, mengapa sekarang kita tidak melakukan protes yang sama jika pemerintah ingin menutup sepihak sebuah perguruan dan pemikiran?

Jika ingin menjadi bangsa beradab, mari konsisten menjadikan hukum — bukan tafsir di kepala kita masing-masing — sebagai panglima. Inilah yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada kita.
Jika benar Anda seorang Muslim dan benar-benar sayang pada Pesantren Al-Zaytun, mestinya terpatri di kepala Anda bahwa pesantren ini adalah aset umat Islam terbesar di Asia Tenggara.

Saya menduga, maaf jika dugaan saya salah, banyak orang tergoda untuk merebut pesantren ini dengan cara mudah dan biaya murah. Karena itu jangan mudah terpengaruh propaganda ‘’sesat’’, tapi teruslah bersikap rasional.

Camkan baik-baik, kita bukan orang-orang suci pemilik neraka yang berhak menentukan si dia sesat calon penghuni neraka, si dia sangat saleh calon penghuni surga, sebagaimana mereka yang gemar melemparkan label ‘’sesat’’ kepada pemikiran Syekh Panji Gumilang juga belum pernah membangun neraka.(*)

Penulis adalah Pemikir Keislaman.