Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Akses Rumah Warga Ditembok

Pengembang Nakal Serobot Lahan

AKSES DITUTUP : Akses jalan di perumahan cluster Green Village, Kelurahan Perwira, Kecamatan Bekasi Utara ditutup akibat ulah pengembang nakal yang menyerobot lahan milik Liem Sian Tjie seluas 376 M². RAIZA SEPTIANTO/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Rasa khawatir salah satu pemilik rumah di dalam Cluster Green Village, Nafrantilofa (33) semakin menjadi-jadi setelah lahan seluas 25 meter diatas bangunan rumahnya telah memiliki kekuatan hukum tetap. Pengembangan membangun rumah diatas tanah milik orang lain. Bukan hanya dia, total ada 10 rumah yang pemiliknya harus kehilangan akses jalan akibat penyerobotan lahan oleh pengembang pada 2013 silam.

Sebelumnya Nafrantilofa masih bisa bernafas lega lantaran patok tanah dipasang hanya sampai batas garasi rumah, hingga akhirnya eksekusi dilakukan pada 20 Juni lalu. Pembatas pagar seng kini semakin kokoh, diganti tembok hebel, nampak masih baru, semen di beberapa bagian juga masih nampak dalam keadaan basah.

Puluhan pemilik rumah nampak merespon pemagaran ini, dua buah spanduk terpampang di lingkungan tempat tinggal mereka. Dalam spanduk tersebut, warga mengeluh tidak lagi memiliki akses jalan menuju rumah mereka, spanduk lain bertuliskan tuntutan warga agar mafia tanah diberantas.

“Luas rumah 79 meter, yang kena itu kurang lebih 25 meter. Sekarang menunggu saja (langkah selanjutnya) sama warga yang terdampak lain, apalagi saya yang paling kena, apalagi ke bangunan,” kata Nafrantilofa saat dijumpai di rumahnya, Senin (26/6).

Beruntung, pagar pembatas belum dibangun menembus tembok depan rumahnya. Jika dikehendaki oleh pemilik sah tanah, sebagian bangunan rumahnya harus dihancurkan, juga kehilangan 25 meter dari luas bangunan.

Meskipun, tembok hebel tersebut sudah masuk ke area garasi, menempel persis ke dinding depan rumah.Kendaraan miliknya tidak lagi bisa diparkir di garasi rumah.

“Awalnya saya pikir tidak sampai ke bangunan patoknya. Saya minta (sebagian bangunan rumah) jangan dirobohkan karena kan bingung juga ya hampir separuh rumah kena,” ungkapnya.

Rumah tersebut ia beli pada 2016 lalu dengan kisaran harga Rp700 juta, dengan fasilitas kredit perbankan selama 15 tahun, masih ada kewajiban tujuh tahun lagi bagi Nafrantilofa sampai rumahnya lunas.

Perbankan tidak bisa berbuat banyak, hanya memungkinkan memfasilitasi pemilik rumah dengan pengembang. Namun hal itu saat ini dirasa sulit untuk diwujudkan, pihak pengembang tidak diketahui keberadaannya.

Beberapa hal janggal sempat ia saksikan pada saat pertama kali melihat calon rumah yang akan ia beli, tepat di bangunan rumah sebelahnya, terdapat pemberitahuan bahwa bangunan disegel. Kecurigaan pudar saat marketing cluster menyebut bangunan rumah yang akan ia beli tidak bermasalah seperti bangunan di sebelahnya.

Belakangan diketahui, segel yang diletakkan pada bangunan rumah pada tahun 2016 silam itu berdiri diatas lahan Fasos Fasum sesuai site plan pembangunan cluster.”Yang jelas sih maunya ada pihak developer atau pihak-pihak lain yang terkait ada tanggung jawabnya ini gimana,” tambahnya.

Sembilan pemilik rumah lain juga tidak bisa lagi memarkirkan kendaraan roda empat mereka di garasi rumah, akses jalan hanya tersisa 80 cm, pemberian dari pemilik lahan yang memenangkan gugatan di pengadilan. Saat ini, para pemilik rumah memarkirkan kendaraan mereka di taman tidak jauh dari rumah, letaknya sekira 60 meter, kini mereka harus berjalan kaki untuk pulang ke rumah usai beraktivitas.

Warga lainnya, Rudianto (33) mengaku, membeli rumah dari pemilik sebelumnya pada 2020 silam. Kondisi lingkungan dan letak yang strategis membuatnya kepincut, tanpa kecurigaan apapun.

Padahal, akses jalan tepat di depan rumahnya tengah berperkara di pengadilan antara pengembang dengan pemilik lahan bernama Liem Sian Tjie. Hingga akhirnya perkara perdata tersebut dimenangkan oleh pemilik lahan sampai di tingkat Mahkamah Agung (MA).

“Karena lihat lingkungan, dan ini perumahannya banyak, warganya ada, dan terbukti (dibangun) dari 2013 kan, sudah tujuh tahun gak masalah kan, meskipun ini jadi pengalaman kita untuk mengambil KPR,” ungkapnya.

Enam bulan setelah menempati rumah yang ia beli, desa desus sengketa baru ia dengar. Setelah itu, ia sempat menghubungi pemilik rumah sebelumnya, juga mengaku tidak mengetahui permasalahan sengketa lahan sama sekali.

Akses jalan seluar tiga sampai empat meter di depan rumahnya sudah hilang, saat keluar rumah ia kini berhadapan dengan tembok pembatas. Ia berharap penghuni via segera mendapat solusi dari persoalan ini, para penghuni berusaha untuk mencari dan mengajukan gugatan kepada pihak pengembang.

“Sekarang kami dari warga mohon izin yang 10 rumah (terdampak) bisa parkir di taman, ada taman kita boleh parkir disitu,” tambahnya.

Diketahui, di area cluster ini berdiri sekira 70 bangunan rumah. Sementara lahan yang diserobot oleh pengembang hingga menyulitkan penghuni memiliki luas 376 meter persegi.

Ketua RW 10, Kelurahan Perwira, Kecamatan Bekasi Utara, Kota Bekasi, Yunus Efendi mengatakan bahwa pemagaran dilakukan oleh pemilik lahan setelah memiliki kekuatan hukum tetap dari pengadilan. Dalam proses perjalanan perkara ini, pemilik lahan atas nama Liem Sian Tjie tidak berperkara dengan penghuni rumah, melainkan dengan pengembang, yakni PT Surya Mitratama Persada.

“Dampak dari itu sendiri, warga kami membeli rumah ini sudah ada SHM sertifikatnya. Hanya saja pengembang nakal, dia menyerobot tanah milik warga lain yang sebetulnya punya warga sebelah,” paparnya.

Dalam putusan pengadilan kata Yunus, disampaikan bahwa oknum pengembang berinisial J sengaja memindahkan patok tiga sampai empat meter ke lahan milik Liem. Informasi yang didapat oleh pengurus lingkungan dan penghuni rumah, perusahaan properti yang dimaksud sudah tidak ada, berganti nama perusahaan.

Pihaknya telah memfasilitasi warga terdampak. Pertengahan tahun 2022 lalu pihaknya telah bersurat ke beberapa pihak seperti Plt Walikota Bekasi, Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Dinas Tata Ruang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), kecamatan, hingga kelurahan. Surat tersebut menyampaikan pengaduan warga bahwa Fasos Fasum yang seharusnya diserahkan kepada pemerintah daerah tidak bisa dilakukan lantaran bersengketa.

Surat tersebut disampaikan tidak lama setelah pemilik lahan sudah mendapat putusan berkekuatan hukum dari pengadilan. Upaya eksekusi oleh pemilik lahan pun sempat menimbulkan konflik dengan puluhan penghuni rumah.

Balasan surat yang diterima oleh pengurus RW disayangkan tidak bisa menjadi dasar pengurus bertindak. Salah satu poin dalam surat tersebut, pemerintah mengakui bahwa lahan tersebut bukan milik pengembang, pihak kelurahan untuk bersurat kepada pengembang sebanyak dua kali namun tidak ditanggapi oleh pihak pengembang.

“Nah ini lah kami minta kepada instansi terkait khususnya aparatur Pemkot Bekasi dan Pemprov Jabar atau kepolisian, dimana ada unsur tindak pidana di tempat ini yang dilakukan oleh pengembang terhadap penyerobotan tanah warga tersebut mohon diusut setuntas-tuntasnya,” tambahnya.

Ia meminta warganya yang telah membeli rumah sesuai dengan ketentuan agar dilindungi haknya. Yunus juga meminta kepada pemilik lahan untuk dapat berkomunikasi dengan baik dengan pengurus lingkungan maupun para penghuni hingga mendapatkan solusi.

Pemilik lahan menyebut baru mengetahui penyerobotan tanah ini pada tahun 2015, dua tahun setelah cluster mulai dibangun. Perkara dimulai pada tahun 2016, saat pihak pemilik lahan membawa perkara ini ke Pengadilan Negeri (PN) Bekasi, hasilnya dimenangkan oleh pemilik lahan hingga ke tingkat Mahkamah Agung.

“Lalu kita juga ajukan perdatanya kepada pengadilan di 2016, (tahun) 2018 awal kami memenangkan di PN. Lawan kamu bukan penghuni, tetapi direktur utama dan pengembang,” kata keluarga pemilik lahan, Bambang Subianto.

Dalam perjalanannya disebut bahwa pembangunan cluster ini sempat disegel oleh pemerintah kota lantaran alamat lokasi pembangunan cluster dengan site plan berbeda, hingga membangun unit rumah di area yang rencananya akan menjadi Fasos Fasum, tepatnya di tahun 2013 dan 2015.

Keyakinan pemilik lahan kata Bambang, didasari oleh keterangan saksi, yakni pihak yang bertransaksi jual beli tanah dengan pihak pengembang.

“Nah, Haji Zainudin, saksi kami dalam pengadilan mengatakan Junardi (direktur utama PT Surya Mitratama Persada) dan PTnya memindahkan patok,” ungkapnya.

Jejak informasi pada tahun 2013 silam menyebut pembangunan perumahan dengan 74 unit bangunan oleh PT Surya Mitratama Persada tidak dilengkapi surat Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pengembang perumahan Green Village Teluk Pucung disinyalir telah memalsukan surat izin tersebut.

Permasalahan yang dialami warga cluster Green Village kini tengah didalami oleh Pemkot Bekasi. Plt Walikota Bekasi, Tri Adhianto meminta kepada jajarannya untuk mendalami riwayat cluster, mulai dari perencanaan hingga perizinan.

“Saya lagi minta ke Dinas Tata Ruang untuk melihat Site Plan nya, melihat proses perizinannya, kemudian dari rencana patok awalnya. Nanti kami lihat, kami inventarisasikan apa langkah-langkah terkait dengan kondisi yang ada,” ungkapnya. (sur)