Berita Bekasi Nomor Satu
Opini  

Carut Marut Wajah Pendidikan, Fenomena Tahunan PPDB Online di Kota Bekasi

Syamsuddin HS, M.Ag

Oleh: Syamsuddin HS, M.Ag

“Suatu bangsa akan kekal sepanjang akhlaqnya bagus. Dan jika moral mereka musnah, maka hancurlah mereka” (Ahmad Syauqi)

“Diduga Banyak Kecurangan di Sistem Zonasi PPDB Kota Bekasi Kisruh”. Demikian headline sebuah portal berita saat ini.

Seolah menjadi isu rutin yang terus muncul berulang tiap tahun yaitu hiruk pikuk fenomena PPDB online.

Ada orang tua marah marah dan demo, para pejabat sibuk memberi klarifikasi dan tanggapan, berbagai pihak bersuara entah itu masyarakat biasa, LSM, politisi partai, lembaga pendidikan swasta dan lain-lain.

Nanti setelah beberapa lama isu ini kembali sepi, menguap begitu saja tanpa ada solusi jelas dan akan muncul kembali masalah serupa di tahun depan, sama seperti saat ini.

Sesungguhnya cukup rumit untuk mengurai masalah ini karena akan melibatkan banyak pihak
baik itu pemerintah sebagai penanggung jawab sistem pendidikan, mentalitas dan sistem birokrasi, peran politisi, orang tua juga tak kurang pihak perguruan swasta sebagai mitra pemerintah dalam dunia pendidikan.

Melihat fenomena tahunan ini, khususnya di Kota Bekasi sudah seharusnya semua pihak harus introspeksi diri, sepertinya ada sesuatu yang salah selama ini dengan implementasi dari konsep dasar sistem pendidikan kita, khususnya di Kota Bekasi.

Ini belum lagi jika kita melihat sisi lain, yaitu fenomena degradasi moral anak sekolah yang terlibat narkoba, miras, seks bebas, pornografi, tawuran, semakin tak mengenal ajaran agama dan lain lain, sekarang ditambah dengan kisruh sistem PPDB,
makin kusut, rumit mungkin itu bahasa tepatnya.

Secara umum tampaknya pendidikan telah terjatuh menjadi sekedar menjadi “pengajaran” transfer of knowledge saja bukan lagi sebagai institusi “pendidikan” dengan arti sistem pembentuk nilai transfer of value di mana pembentukan sikap diri, karakter, mentalitas, etika dan akhlakul karimah menjadi orientasi serta target utama yang harus muncul pada diri peserta didik.

Terbentuknya karakter seperti ini tidak cukup sekedar sebatas konsep pengajaran transfer of knowledge bahkan jika itu terukur pada nilai nilai bagus di raport atau selembar ijazah penanda kelulusan.

Orientasi praktek pendidikan saat ini terkesan menjadi amat materialis dan mekanis di mana mindset orang tua dan siswa terbentuk seolah semata selembar ijazah adalah satu satunya jaminan kesuksesan hidup di masa depan, bukan sikap jujur, mental kompetitif, nilai kemanusiaan dan persaudaraan, kesopanan, etika, moral serta akhlakul karimah.

Pendidikan tak lagi menekankan pentingnya sikap dan mentalitas diri yang mulia attitude seperti kejujuran, kesopanan, persaudaraan, keberanian dan tanggung jawab.

“Pendidikan” hanya sebagai alat untuk meraih ambisi, ketamakan, egoisme dan nafsu yang dipikir akan diraih semua itu jika telah bersekolah di sekolah negeri dan mendapat selembar ijazah kelulusan.

Padahal jika kita merujuk pada konsepsi dasar pendidikan kita sebagaimana dirumuskan antara lain oleh Ki Hajar Dewantoro bahwa pendidikan adalah institusi belajar, sebuah proses untuk pembentukan karakter diri yang positif, bukan sekedar menjejali otak anak dengan segudang teori ilmu atau keahlian skill tertentu.

Menurut Ki Hajar, pendidikan adalah sebuah proses untuk; menjadi manusia merdeka (berpikir bebas), optimalisasi kekuatan fisik, mental, jasmani dan rohani yang terangkum dalam filosofi beliau yang menjadi konsep dasar pendidikan Indonesia yaitu;
Ing Ngarsa Sing Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani

Ki Hajar amat menekankan karakter dasar pendidikan Indonesia yang harus berifentitas 5 pilar yaitu:

1. Kebebasan berpikir (Kemerdekaan )
2. Kodrat Alam
(Cipta karya, rasa karsa)
3. Kebudayaan
4. Kebangsaan
5. Kemanusiaan

Dengan konsepsi dasar seperti ini maka tujuan utama output yang diharapkan terbentuk dari peserta didik dan menjadi tolak ukur keberhasilan pendidikan adalah adalah:

Proses pembentukan kemampuan anak-anak mampu berpikir sendiri (kebebasan berpikir) yang dengan demikian para siswa menjadi orisinal dalam berpikir dan bertindak dan yang menjadi tolok ukur keberhasilan sebuah pendidikan adalah ketika anak mampu mengenali tantangan yang ada di depannya dan tahu bagaimana seharusnya mereka mengatasinya.

Ini yang seharusnya diimplementasikan dalam sistem pendidikan nasional kita.

Sisi lain perkembangan kemajuan modernitas zaman tak bisa kita abaikan pula sebagai faktor penting yang merubah mentalitas anak anak serta mindset masyarakat secara umum.

Kecanggihan zaman yang cenderung sekuler, liberal, hedonik dan materialistik mampu merubah sistem, konsep, pola pikir dan pola laku manusia serta sistem nilai hidup baik agama, tradisi maupun budaya manusia Indonesia dari sebuah masyarakat tradisional agraris, kemudian berkembang menjadi masyarakat kapitalis modern dan saat ini masuk menjadi masyarakat cyber homo digital.

Hal ini tentunya harus menjadi keprihatinan semua pihak tanpa harus mencari kambing hitam siapa yang paling bersalah dengan carut marut sistem pendidikan nasional kita, tak ada gunanya saling menyalahkan, semua pihak bisa saja salah tapi yang jauh lebih peting adalah bagaimana solusinya.

Kembalikan serta implementasikan konsep dasar dan ruh jati diri pendidikan Indonesia sebagaimana yang telah dirumuskan sejak awal, itu saja.

Unsur paling utama pendidikan adalah terbentuknya sikap diri, mentalitas, moralitas serta alhlakul karimah dan ini menjadi penopang utama kekuatan atau kehancuran sebuah bangsa.

Teringat sebuah ungkapan dari seorang sastrawan di buku pelajaran masa ngaji dulu di madrasah

انما الامم الاخلاق مابقيت وان هم ذهبت اخلاقهم ذهبوا (احمد شوقي)

“Suatu bangsa akan kekal sepanjang akhlaqnya bagus, dan jika akhlak dan moralnya musnah, maka hancurlah mereka” (Ahmad Syauqi).

Tampaknya ungkapan itu amat tepat untuk kita jadikan pijakan untuk merubah bangsa ini melalui pendidikan anak anak kita.

Tentang kisruh PPDB saat ini, para pemangku kebijaksanaan khususnya bidang pendidikan (Diknas) harus jeli melihat kondisi yang ada seperti eksistensi sekolah swasta (BMP) sebagai mitra pendidik, banyak sekolah swasta yang kekurangan murid seharusnya dibuat kebijaksanaan bagaimana menguatkan, membina, mengarahkan serta memfasilitasi berbagai perguruan sekolah swasta agar mereka semakin baik, berkualitas dan kompetitif bukan sebaliknya pada beberapa kasus malah mendirikan sekolah negeri tak jauh dari sekolah swasta yang telah ada, otomatis sekolah swasta makin tak diminati dan pada akhirnya karena kekurangan murid hingga kondisinya bak hidup segan mati tak mau.

Begitu pula sistem zonasi harus semakin diperbaiki dan tak kalah pula “mentalitas korup” sebagian oknum birokrasi maupun para politisi yang mengambil keuntungan cuan dari carut marut sistem PPDB saat ini.

Begitu juga para orang tua harus menyadari tujuan dasar pendidikan dan menasihati anaknya masing masing.

Semua harus introspeksi tanpa harus menunjuk orang lain siapa yang salah. (***)

*) Penulis adalah praktisi pendidikan serta pengelola lembaga pendidikan swasta di Kota Bekasi, Syuriah MWC NU Pondokmelati, pengurus DPC PPP Kota Bekasi dan Direktur Komunitas Penter.