Oleh: Syamsuddin HS, M.Ag*
SUATU hari saya iseng. Masuk ke dalam sebuah grup media sosial. Isinya para janda, single woman, single fighter.
Maksud hati mau bikin slogan untuk grup itu. Maka, saya pun meminta masukan ke penghuni grup. Pertanyaannya simple saja. Janda itu siapa sih?
Tak disangka. Pertanyaan itu justru bikin ramai grup tersebut.
Jawaban pun bermunculan soal definisi sosok janda. Umumnya, menjawab begini:
- Janda hebat dan mandiri
- Janda selalu terdepan
- Janda gesit binangkit
- Janda Selalu “Menonjol”
- Janda idolaku
- Janda pirang selalu merangsang
- Janda selalu bikin ketagihan
- Janda ayu mendayu dayu
- Janda genit mata duitan
Tentu saja, banyak jawaban itu sekedar candaan tak serius. Hanya hiburan di group. Di sisi lain, jawaban itu justru mengekspresikan satu hal yaitu strereotip misoginik para janda di tengah kehidupan sosial.
Seringkali konotasi stereotip janda itu negatif, pejoratif, sekedar seonggok benda objektivasi naluri instingtif (libidal) kaum lelaki, tak lebih dari objek seksual dan sensual pemanja mata jelalatan kaum adam.
Ditambah lagi tafsiran doktriner agama yang kurang tepat dan tidak adil terhadap mereka, terkesan misoginik dan menjadi sub ordinat dibawah cengkraman pola relasi kuasa ketiak kaum Adam.
Padahal sejatinya mereka bisa begitu hebat, positif dan mandiri, hidup dengan segudang problem, tantangan hidup dan tanggung jawab mulai dari cibiran dan pandangan negatif sebagian orang, menjadi single parent, single fighter memenuhi kebutuhan dan mengurus anak anaknya.
Dalam konteks itu posisi mereka perlu pendampingan, arahan dan penguatan agar mereka bisa survive serta mampu menunjukkan kepada dunia terutama di mata lelaki bahwa mereka bukan seonggok benda (daging) objek seksualitas dan sensualitas kaum maskulin terhadap jender feminin yang bernama perempuan, mereka bisa menjadi manusia sukses, hebat, mulia, mandiri, mampu bersaing dg kaum Adam serta menjadi pemimpin pembawa kibaran panji panji bendera untuk masuk surga.
Karena bagaimanapun Janda itu seorang ibu, pendidik serta pencetak generasi bangsa.
لاُمّ مدرسة الأُولى اذا اعددتها اعددت شعبا طيّبا
(Seorang Ibu adalah sekolah utama, jika dia disiapkan dengan baik, akan mencetak generasi generasi bangsa yang hebat, berkualitas)
Sisi lain, harus ada langkah langkah dekonstruksi atas dogma agama serta stereotip kultur budaya kita
yang kurang tepat selama ini dengan tafsiran yang lebih adil dan manusiawi untuk mereka.
Hidup janda. Saatnya bersuara! (**)
*) Direktur Penter/Pengasuh PP Attahrir/YP Al Falah/Syuriah MWCNU Pondok Melati, Pengurus PPP Kota Bekasi.