Oleh: Naupal Al Rasyid, S.H., M.H.
Direktur LBH FRAKSI ’98
RADARBEKASI.ID, BEKASI – “Ini saya kasih tahu nih KPK, seorang Dirut BUMN mengelola Rp300 triliun, disuruh atau atas inisiatif sendiri memacari berbagai wanita. Selanjutnya wanita ini ditaruh di apartemen, salah satunya di residence Jakarta Barat, itu bintang tujuh.
Wanita ini dititipi uang dengan cara uang yang Rp 300 triliun diinvestasikan, lalu ada cashback, cashback-nya diinvestasikan,” kata Kamaruddin dalam video.
Lalu pada 5 September 2022, kuasa hukum Direktur Utama PT Taspen, ANS Kosasih, Duke Arie Widagdo resmi melaporkan Kamaruddin Simanjuntak ke Polres Jakarta Pusat.
Laporan tersebut terkait dengan tudingan dana Rp 300 triliun dan pernikahan gaib. laporan tersebut telah diterima dengan nomor LP/B/1966/IX/SPKT/POLRES METROPOLITAN JAKPUS/POLDA METRO JAYA tertanggal 5 September 2022. Dalam perkara ini, terlapor disangkakan Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). (news.republika.co.id, 9 Agustus 2023).
Kutipan diatas adalah sebagian dari isi berita yang menghebohkan di media cetak maupun media sosial pada beberapa waktu yang lalu dengan permasalahan yang dialami Advokat Kamaruddin Simanjuntak selanjutnya ditetapkan dengan konstruksi hukum proses penyidikan oleh penyidik sebagaimana awal duduk perkara di atas.
Dalam penyidikan terpenuhinya unsur menjadikan status Kamaruddin Simanjuntak menjadi tersangka, sebagai pembuat tindak pidana pencemaran nama baik sebagaimana Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE.
Setelah memperhatikan duduk perkara tersebut, ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas lebih lanjut berupa apakah unsur-unsur Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 Undang-undang ITE dengan sangkaan telah deskripsikan cerita yang memiliki muatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik yang menggunakan kata-kata yang tidak patut terhadap Direktur Utama PT Taspen ANS Kosasih yang dianggap mengganggu martabat sehingga layak disangkakan sebagai tindak pidana pidana pencemaran nama baik.
Jika ditelaah dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE terdapat frasa “memiliki muatan” yang artinya tidak perlu dibuktikan adanya niat untuk menghina, dan penegak hukum hanya perlu membuktikan pelaku melakukan perbuatan sesuai unsur pasal tersebut (delik formil) berbeda dengan pengaturan dalam KUHP yang harus adanya niat.
Namun, melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 50/PUU-VI/2008 dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan perubahannya tidak jelas menyebutkan subjek hukum yang dihina, dalam hal ini apakah hanya orang dan badan hukum, apakah termasuk juga jabatan seseorang, pasal ini hanya melarang perbuatan distribusi dan/atau transmisi dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.
Berbeda halnya dengan pengaturan dalam KUHP yang pada hakikatnya harus ada kesengajaan untuk menyerang kehormatan seseorang. Permasalahan lain ialah uji materiil UU ITE tidak mencantumkan pasal 310 dan pasal 311 KUHP secara rinci, melalui putusan MK a quo yang menyebutkan bahwa pasal kedua pasal KUHP tersebut sebagai acuan (delict genus) pasal 27 ayat 3 UU ITE tersebut.
Berkaitan dengan rumusan Pasal 27 ayat (3) UU ITE secara keseluruhan, yaitu: tidak adanya kejelasan unsur pencemaran dan baik dan penghinaan (subjek), tidak jelasnya objek pasal tersebut yang hanya individu, badan hukum, atau termasuk juga jabatan, ketidakjelasan dalam pertanggung jawaban, siapa yang bertanggung jawab, yang membuat, yang menyebarkan pencemaran nama baik tersebut.
Masih banyak yang bukan korban langsung yang mengajukan aduan delik, tidak dimasukkannya doktrin pembelaan diri ataupun alasan pembenar untuk penghapusan pidana, tidak jelas arahnya ke dalam publik atau privat, ketidakjelasan sanksi pemidanaan.
Ketidakjelasan perbedaan sesuatu yang bersifat kebebasan berpendapat, kritik, opini lain untuk informasi dan kepentingan publik padahal dalam Pasal 4 UU ITE dikatakan bahwa tujuan pembuatannya ialah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi di cyberspace. (Andi Haerul Karim, 2021).
Dalam hal ini, menilai efektivitas pasal haruslah melalui dua sisi, pengaturan dan penegakan atau penerapan (law enforcement). Dilihat dari pengaturan, pasal ini baik untuk melindungi orang dari cybercrime dan mempertahankan nama baik namun masih perlu adanya revisi dalam perumusan secara lex certa (terperinci, jelas dan cermat), lex stricta (secara tertulis), dan lex previa (tidak boleh berlaku surut), banyak hal dari substansinya, mulai dari pencantuman definisi, subjek, objek, unsur-unsur perbuatan, dan penegakan sanksi pidana nya. Sedangkan dilihat dari penggunaannya harus dicermati case by case.
Apabila dipahami alasan-alasan secara cermat, sejatinya ada beberapa perbuatan yang dilarang yang diatur dalam Pasal Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE, adapun perbuatan penyebaran informasi elektronik yang dilarang sebagai berikut: Pertama, memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik dan pemerasan.
Kedua, merupakan penyebaran berita bohong, menyesatkan dan yang dapat menimbulkan kebencian serta permusuhan individu dan/ atau kelompok masyarakat tertentu.
Ketiga, merupakan ancaman kekerasan dan menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi. Mencermati klasifikasi atau pengelompokan perbuatan-perbuatan yang dilarang secara imperatif oleh Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE terdiri dari perbuatan melanggar kesusilaan, bermuatan perjudian, penghinaan, pemerasan, berita kebencian, permusuhan dan ancaman.
Lebih jelas lagi, tujuan utama yang hendak dicapai oleh Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap adanya informasi yang tidak benar dan tidak bertanggung-jawab dan lebih berkonotasi memberi edukasi kepada masyarakat, agar dalam memberikan suatu informasi harus dilakukan secara bertanggung-jawab, berdasarkan fakta dan dan perlu dilakukan pembatasan kebebasan.
Walaupun pada awalnya pasal ini digunakan sebagai perlindungan dari hal yang menyebabkan kerugian seseorang, dan perlu dilakukan pembatasan kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan hak setiap warga negara dalam hal mengeluarkan pikiran atau gagasan baik secara lisan maupun tulisan secara bebas dan bertanggung jawab tanpa adanya tekanan serta sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Kebebasan tersebut ditujukan untuk mewujudkan perlindungan yang konsisten. Sebagaimana dijelaskan dengan teori John Stuart Mill mengenai Harm Principle bahwa kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain serta teori Roscoe Pound, bahwa hukum digunakan sebagai alat rekayasa sosial untuk mengendalikan nilai-nilai sosial.
Takutnya dapat menyebabkan akan timbulnya trauma sosial dalam masyarakat sehingga takut untuk berpendapat dalam dunia maya. Trauma sosial merupakan kondisi trauma secara sosiaL psikologis yang mengakibatkan penderitaan pada banyak orang yang mengalami satu peristiwa traumatik yang sama secara bersama. (Agung Yundi Bahuda Sistawan, 2019).
Hal ini sejalan pula dengan keterangan Prof. Willem Fredrik Korthals (H.M. Arsyad Sanusi, 2011), bahwa di negeri Belanda dikenal adanya pembatasan oleh otoritas publik (lembaga eksekutif maupun eksekutif) terhadap kebebasan menyatakan pendapat, pembatasan mana dianggap perlu dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan hak-hak dan nama baik orang lain.
Bahkan diterangkan pula bahwa terhadap seseorang yang melakukan perbuatan pencemaran nama baik dengan bantuan internet adalah dapat dituntut atau dihukum.
Lebih lanjut Prof. Willem Fredrik Korthals memberikan ilustrasi salah satu putusan Hoge Raad bulan Maret 2009 yang membebaskan seseorang dari tanggung-jawab pidana atas pencemaran nama baik terhadap sekelompok orang atas dasar orientasi keagamaannya.
Pertimbangan hukum Hoge Raad dalam perkara a quo adalah karena pencemaran nama baik tersebut hanya mengkritik institusi, bukan orang per orang/individu. Dengan perkataan lain, Hoge Raad mengakui bahwa pencemaran nama baik yang menyerang nama baik dan kehormatan orang per orang adalah yang dapat dituntut atau dihukum secara pidana.
Dari beberapa hal yang telah disebutkan diatas, jelas dapat dipahami bahwa norma Pasal 27 Ayat 3 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE tidak bermaksud sebagai perangkat represif untuk membelenggu kebebasan berekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat tetapi melainkan untuk menjaga agar kebebasan a quo tidak masuk kedalam lingkaran supra kekuasaan yang tidak tersentuh oleh siapapun.
Oleh karena itu, norma Pasal 27 Ayat 3 UU ITE terdapat pembatasan unsur-unsur yang disebutkan, yaitu “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak”, dalam KUHP dicantumkan, “Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang”.
Dapat disimpulkan bahwa kesengajaan sebagai perbuatan yang dikehendaki dan si pelaku menginsyafi bahwa perbuatan itu dilarang dan diancam hukuman. Hal ini sejalan dengan pendapat, Paul Scholten (Henry R. Cheeseman, 2003), hukum merupakan suatu sistem yang terbuka, lahir dari kenyataan bahwa dengan pesatnya kemajuan dan perkembangan masyarakat, menyebabkan hukum menjadi dinamis, hukum akan terus menerus mengikuti proses perkembangan masyarakat.
Adanya pendapat tersebut, dari ketiga unsur a quo diyakini tidak akan mengganggu kebebasan pengguna internal maupun media sosial dan dunia siber, sepanjang konteksnya masih dalam ranah publik dan tidak mengganggu privasi seseorang, maka kebebasan berekspresi, berbicara, mengeluarkan pikiran dan pendapat dunia siber tersebut akan tetap memiliki kemerdekaan untuk melakukan kontrol sosial dan kebebasan mengeluarkan pendapat merupakan hak setiap warga negara dalam hal mengeluarkan pikiran atau gagasan baik secara lisan maupun tulisan secara bebas dan bertanggung jawab tanpa adanya tekanan serta sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Atas dasar alasan-alasan diatas, yang perlu diperhatikan mengenai penerapan norma Pasal 27 Ayat 3 UU ITE dalam kaitannya dengan Advokat Kamaruddin Simanjuntak yang ditetapkan oleh penyidik menjadi tersangka, tetapi oleh karena perbuatannya tidak dikonstatir tentang adanya kejelasan unsur pencemaran nama baik dan penghinaan (subjek), tidak ada kejelasan objek pasal tersebut yang hanya individu bukan pada badan hukum, atau termasuk juga jabatan, ketidakjelasan terhadap kedudukan Direktur Utama PT Taspen ANS Kosasih sebagai objek yang dianggap mengganggu martabatnya.
Sehingga untuk itu, tidak layak disangkakan sebagai tindak pidana pidana pencemaran nama baik. Dengan demikian, Advokat Kamaruddin Simanjuntak tidak memenuhi unsur dan tidak dapat dijerat dengan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE, karena penerapan norma Pasal 27 Ayat 3 UU ITE hanya dapat diberlakukan pada perkara pencemaran nama baik terhadap orang atau individu, bukan badan hukum yang dalam objek perkara ini adalah Direktur Utama PT Taspen. (*)