RADARBEKASI.ID, JAKARTA – Kecepatan kerja TNI dalam kasus penganiayaan yang dilakukan oknum anggota TNI hingga korban tewas, akan bisa mempertahankan marwah institusi TNI di hadapan publik. Meski begitu menurut pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel ada beberapa pekerjaan yang bisa ditindaklanjuti.
Pertama, menurut dia, terkait investigasi. Lazimnya, sesuai misi kedua kejahatan, pelaku harus melakukan segala upaya guna menghindari pertanggungjawaban pidana. Mulai dari menghilangkan barang bukti, merusak CCTV, membangun alibi, dan menghapus jejak-jejak kejahatan.
Bahwa para pelaku melakukan hal-hal yang bertolak belakang dengan misi kedua itu, lanjut Reza, itu menimbulkan pertanyaan. Terkesan mereka sengaja membuat rekaman penganiayaan tidak hanya untuk diperlihatkan ke keluarga korban, tapi juga untuk disodorkan ke pihak lain sebagai bukti bahwa mereka sudah bekerja.
BACA JUGA: Jenazah Imam Masykur yang Diduga Dibunuh Oknum Paspampres Ditemukan di Sungai Sekitar Karawang
”Apakah para pelaku berada di bawah pengaruh narkoba? Apakah mereka merasa dilindungi pihak tertentu yang menjamin akan meniadakan pertanggungjawaban pidana?” papar Reza.
Selanjutnya yang harus ditindaklanjuti adalah kompensasi. Reza mengatakan, para pelaku yang berstatus sebagai anggota TNI sudah sepatutnya disebut sebagai oknum. Sebab, perbuatan mereka bukan merupakan arahan lembaga.
”Setiap kali terjadi perbuatan pidana berat yang dilakukan personel Polri, saya selalu katakan bahwa kejadian dimaksud seharusnya berdampak pula terhadap organisasi Polri. Polri, konkretnya, seharusnya memberikan kompensasi kepada keluarga korban,” ujar Reza.
BACA JUGA: Motif Oknum Paspampres dan TNI Aniaya Imam Masykur Hingga Tewas
”Jadi, di samping pertanggungjawaban individual pelaku, sebagaimana police misconduct compensation, sangat bagus jika Paspampres atau bahkan TNI juga memberikan kompensasi kepada keluarga korban,” tambah dia.
Ketiga, menurut Reza, Resolusi Majelis Umum PBB 47/133. Dari kasus itu, media mengangkat diksi penculikan. Apalagi karena korban sampai meninggal dunia, penting untuk didalami, apakah penculikan dimaksud tergolong sebagai penculikan konvensional atau sudah termasuk dalam penghilangan orang secara paksa.
”PBB mengklasifikasi penghilangan orang secara paksa sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia. Terus terang, ada ingatan traumatis kolektif yang rawan terpicu bangkit kembali,” papar Reza.
BACA JUGA: 1 Anggota Paspampres dan 2 Oknum TNI Tersangka Tewasnya Imam Masykur
Hal keempat yang harus ditindaklanjuti dari kasus itu, lanjut Reza adalah non diskriminasi. Menurut dia, ketegasan Panglima TNI akan mengawal kasus itu agar pelaku dihukum berat, maksimal hukuman mati, minimal hukuman seumur hidup.
”Saya angkat topi. Namun pada kasus pidana lain, pernyataan Panglima TNI cenderung normatif. Misalnya, itu pasti akan diproses hukum sesuai ketentuan yang berlaku. Juga, sudah saya tanda tangani dan langsung ditahan untuk dilaksanakan penyidikan lebih lanjut. Ada pula, tunjukkan mana impunitas yang diterima oleh prajurit TNI. Kalau salah pasti dilaksanakan penyidikan dan dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” ucap Reza.
Hal keempat yang harus ditindaklanjuti dari kasus itu, lanjut Reza adalah non diskriminasi. Menurut dia, ketegasan Panglima TNI akan mengawal kasus itu agar pelaku dihukum berat, maksimal hukuman mati, minimal hukuman seumur hidup.
Dia menyatakan, pernyataan-pernyataan normatif seperti itu tidak keliru. Tapi, agar tampak kesetaraan sikap Panglima terhadap seluruh personel TNI, pernyataan tentang hukuman yang patut dijatuhkan ke personel aktif TNI seyogianya juga Panglima eksplisitkan pada kasus korupsi Basarnas.
”Apa gerangan yang, menurut Panglima, pantas dikenakan ke tersangka atau terdakwa pada kasus itu sekiranya mereka divonis bersalah?” ujar Reza. (jpc)











