RADARBEKASI.ID, BEKASI – Angka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Kota Bekasi akhir-akhir ini terus meningkat. Hingga September 2023, tercatat ada 35 kasus KDRT dimana sebagian besar kasus dipicu karena faktor ekonomi.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Bekasi, Satia Sriwijayanti mengatakan, untuk menekan angka KDRT di Kota Bekasi pihaknya telah menyediakan layanan pengaduan Telepon Sahabat Anak dan Perempuan (Tesap). Masyarakat yang menjadi korban KDRT ataupun melihat tindak KDRT di sekitarnya dapat mengadukan peristiwa yang menimpanya kepada konselor. Selanjutnya, konselor akan pendampingan dan pemulihan psikologis kepada korban.
“Kita punya Telepon Sahabat Anak dan Perempuan bila ada masalah dan laporan kasus,” tambahnya.
Diluar kasus KDRT, DPPPA mencatat, terdapat 71 kasus kekerasan terhadap perempuan, sementara kekerasan terhadap anak mencapai 97 kasus. Puluhan kasus yang menimpa perempuan dan anak tersebut terdiri dari kekerasan fisik, psikis, seksual, penelantaran, hingga perdagangan manusia atau trafficking. Puluhan kasus diantaranya terjadi dalam lingkup privat, atau Rumah Tangga (RT).
Kasus kekerasan dalam lingkup keluarga di kota patriot yang terbaru, terjadi pada 20 September, dimana korban merupakan anak berinisial R (10) di wilayah Kecamatan Jati Asih, Kota Bekasi. Sedangkan tersangka pelaku kekerasan dilakukan ayahnya sendiri. Peristiwa ini terbongkar saat gurunya curiga dengan perubahan perilaku R. Setelah diperiksa, ditemukan bekas luka di badan R. Sejak saat itu R didampingi oleh Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD), saat ini ia berada di salah satu lantai asuhan dan dipastikan tetap mendapat hak pendidikan.
“Kondisinya sekarang Alhamdulillah sehat, masih tetap sekolah, sekarang dibantu sama panti,” kata Wakil Ketua KPAD Kota Bekasi, Novrian.
Dengan berbagai pertimbangan, R sementara waktu tidak tinggal bersama kedua orang tuanya. Meskipun demikian, kedua orang tua R tetap bisa bertemu di sekolah atau di panti.
Kasus ini tidak sampai ke ranah hukum lantaran masih ada dua adik R yang harus diasuh oleh orang tuanya. Hanya saja, orang tua R diminta untuk membuat surat perjanjian tidak akan mengulangi perbuatan yang sama, serta bersedia R sementara waktu tinggal di panti asuhan.
Tinggal di rumah kontrakan, status ekonomi orang tua R tergolong menengah kebawah. Kedua orang tua diizinkan kembali membawa R pulang ke rumah dengan catatan mereka benar-benar mampu mengasuh R dengan baik, serta tidak mengulangi perbuatan yang sama.
“Sebenarnya sih monggo saja kalau misalnya nanti orang tuanya mau mengasuh lagi, tapi orang tuanya sanggup atau tidak. Karena kita kan membantu mereka juga untuk pengasuhan, biaya, terbackup juga,” tambahnya.
Data dan fakta tersaji beberapa waktu kemarin dalam kegiatan Kampanye Penghapusan KDRT di Ruang Publik. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menyebut kekerasan pada perempuan selama tahun 2022 paling banyak terjadi di dalam rumah tangga, pelakunya sebagian besar adalah suami, yakni 56,3 persen.
Sementara Komnas Perempuan menyebut setidaknya ada tiga perempuan di Indonesia yang menjadi korban KDRT dalam setiap jam. (sur)