Berita Bekasi Nomor Satu

Koalisi Masyarakat Sipil Desak Ungkap Dugaan Presiden Intervensi KPK

Ilustrasi Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Istimewa)

RADARBEKASI.ID, JAKARTA – Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Raharjo mengungkap dugaan intervensi Presiden Joko Widodo dalam kasus E-KTP dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Rosiana Silalahi beberapa waktu lalu.

Pernyataan keras Agus Raharjo tentang adanya dugaan intervensi istana saat mengusut E-KTP yang melibatkan Setya Novanto itu dan meminta penyidikan perkaranya dihentikan mendapat respon kalangan masyarakat sipil.

Koalisi masyarakat sipil mendukung pernyataan eks Ketua KPK Agus Rahardjo yang mengungkap praktik upaya intervensi Presiden Joko Widodo terhadap kasus yang ditangani KPK.

BACA JUGA: Presiden Jokowi Berhentikan Sementara Firli Bahuri dari Ketua KPK, Nawawi Pomolango jadi Penggantinya

Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha mengatakan, intervensi Jokowi menghalangi penegakan hukum merupakan pelanggaran yang serius.

Menurut Praswad, pengakuan Agus menjadi pintu masuk untuk mengusut dugaan intervensi presiden terhadap kasus-kasus yang ditangani KPK.

Hal tersebut perlu dilakukan agar catatan intervensi semacam itu bisa terungkap secara terang benderang.

BACA JUGA: KPK Teken Surat Penangkapan Harun Masiku 3 Pekan Lalu

”Kami mendukung agar Agus Rahardjo membongkarnya secara tuntas dan komprehensif,” ujarnya.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) M. Isnur menambahkan, intervensi Jokowi terhadap kasus e-KTP bisa dianggap sebagai praktik penghalang-halangan penegakan hukum (obstruction of justice). Ketentuan itu tercantum dalam Pasal 21 UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor.

”KPK perlu segera melakukan penyidikan lebih lanjut terkait dugaan keterlibatan Presiden Joko Widodo dalam kasus korupsi e-KTP,” kata Isnur.

BACA JUGA: Gibran Bersuara Soal Isu Jadi Cawapres Dorongan Iriana Jokowi dan Istrinya

Dia menegaskan bahwa tindakan obstruction of justice merupakan tindakan yang menabrak atau kontradiktif dengan UUD. ”Terlebih jika hal tersebut dilakukan secara langsung oleh presiden sebagai seorang kepala negara dan pemerintahan,” imbuhnya.

Pengakuan Agus, kata dia, sekaligus menguatkan adanya upaya sistematis pelemahan dan penghancuran KPK. Mulai kriminalisasi terhadap pimpinan KPK pada 2015, penyerangan Novel Baswedan pada 2017, hingga pengangkatan Firli cs sebagai pimpinan KPK pada 2019.

Pada 2019, pelemahan tersebut berlanjut dengan disetujuinya revisi UU KPK oleh Jokowi. Persetujuan itu ditunjukkan dengan keluarnya surat presiden dan mengirimkan menterinya untuk membahas RUU tersebut di DPR. ”Pembahasan revisi itu pun sangat kilat, tertutup, bahkan tidak melibatkan KPK sebagai pelaksana UU tersebut,” tandasnya. (jpc)