Berita Bekasi Nomor Satu

Program Sekolah Penggerak Gantikan Hukuman dengan Segitiga Restitusi

ILUSTRASI:  Sejumlah siswa SDN Jatiasih X Kota Bekasi bersiap untuk mengikuti kegiatan upacara. Program Sekolah Penggerak menggantikan hukuman dengan segitiga restitusi. DEWI WARDAH/RADAR BEKASI  

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Dalam upaya meningkatkan disiplin positif di lingkungan pendidikan, Program Sekolah Penggerak (PSP) terdapat tema disiplin positif yang menggantikan metode hukuman kepada siswa dengan pendekatan segitiga restitusi.

Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Bekasi, Prawiro Sudirjo, menjelaskan bahwa dalam lingkungan sekolah penggerak, tidak ada lagi penerapan sistem hukuman bagi siswa yang melanggar aturan.

“Sanksi berupa hukuman itu diganti dengan istilah segitiga restitusi, dimana peneguran kepada siswa yang melanggar, disampaikan lebih ramah dan tidak menyudutkan siswa,” ujarnya kepada Radar Bekasi.

Restitusi merupakan proses menciptakan kondisi agar murid dapat memperbaiki kesalahannya, sehingga mereka dapat kembali ke kelompoknya dengan rasa percaya diri, hormat pada diri sendiri dan orang lain, atau memiliki karakter yang lebih baik dan lebih kuat.

Prawiro menilai bahwa segitiga restitusi juga merupakan suatu proses kolaborasi antara guru dan murid, guru dan guru, serta murid dan murid. Dalam kolaborasi ini, guru mengajarkan murid untuk mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi dan membantu mereka dalam berpikir.

“Mau jadi orang seperti apa sih yang mereka inginkan dan bagaimana seharusnya mereka memperlakukan orang lain, ini akan lebih ditekankan” tuturnya.

Prawiro menjelaskan bahwa segitiga restitusi merupakan suatu tahapan yang dapat dilakukan oleh guru untuk membantu murid mengalami perubahan positif. Langkah-langkah tersebut merupakan alternatif untuk mendisiplinkan tanpa harus menggunakan hukuman yang dapat membuat anak merasa rendah atas kesalahannya, sehingga tidak mampu melepaskan diri dari rasa bersalah yang dapat merusak psikis. Pendekatan ini berbeda dengan cara di mana guru menjadi pemegang kontrol atas setiap gerak-gerik murid dan mencatat setiap kesalahan mereka, yang pada akhirnya membuat perubahan terjadi karena ada kontrol dari luar.

BACA JUGA: Resensi Buku: Membumikan Pendidikan Karakter di Sekolah  

“Begitu si pengendali atau pemegang kontrol tidak ada, maka mereka akan kembali melanggar. Itulah yang namanya disiplin sesaat. Sejatinya yang memegang kendali (kontrol) atas diri kita adalah, diri kita sendiri, bukan orang lain,” ucap Prawiro.

Selanjutnya, segitiga restitusi melibatkan tiga tahapan esensial, yakni menstabilkan identitas, validasi tindakan yang salah, dan menanyakan keyakinan. Untuk menguasainya, diperlukan latihan yang konsisten agar dapat menjadi kebiasaan yang pada akhirnya membentuk budaya positif berkelanjutan, serta dapat diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Selain itu, beberapa poin penting juga dapat diterapkan dalam konteks ini. Guru dapat mengambil peran sebagai pemantau peraturan atau kesepakatan, sehingga interaksi dengan siswa tidak bersifat mendikte atau membentak.

“Dalam sistem ini, guru mengambil peran sebagai pemantau peraturan atau kesepakatan. Jadi, guru tidak akan mengomeli tapi akan mengingatkan konsekuensinya. Contoh, siswa mencorat-coret, konsekuensinya menghapus coretannya dan mengingatkan poin apa yang dilanggar, lalu apa sanksi yang diingat siswa untuk dilakukan,” terangnya.

Prawiro juga menegaskan bahwa guru perlu secara berkelanjutan membiasakan siswanya untuk memahami dan mencoba menerapkan konsep segitiga restitusi, mulai dari pemahaman hingga penerapannya. (dew)