RADARBEKASI.ID, BEKASI -Menteri Lingkungan Hidup atau Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq menyoroti perlunya langkah kolaboratif lintas sektor dalam mengatasi krisis pengelolaan sampah yang kompleks di TPST Bantargebang.
“Itu memang harus bertanggung jawab, ikut bertanggung jawab dalam penyelesaian sampah di Jakarta. Sampah dengan jumlah 8.000 ton per hari, ini tidak sedikit,” ucap Hanif saat meninjau ke TPST Bantargebang, Minggu (27/10).
Hanif menyampaikan pengelolaan sampah yang menumpuk hingga 7.800 ton perhari yang masuk ke Bantargebang serta timbunan lama sekitar 55 juta ton di Bantargebang memerlukan berbagai metode, termasuk Refuse-Derived Fuel (RDF) dan teknologi insinerator.
BACA JUGA: DPRD dan Pemkot Bekasi Dikejar Waktu Rampungkan RAPBD 2025
Ia menegaskan bahwa RDF saja tidak cukup untuk mengatasi jumlah sampah harian yang terus meningkat.
Pendekatan lebih luas diperlukan, mulai dari pengolahan organik (kompos) hingga teknologi lain yang efektif dalam skala besar.
“Dari kajian kita yang kita lakukan di beberapa lokasi TPA, dengan RDF saja, ternyata tidak signifikan mengurangi timbunan sampah harian. Lagi-lagi kita tidak bisa mengandalkan pada satu mekanisme penyelesaiannya, memang harus komprensif,” jelasnya
Tak hanya itu, Hanif menggarisbawahi pentingnya industrialisasi pengelolaan sampah agar pengolahan dapat dilakukan secara profesional dan memberikan manfaat ekonomi.
“Kita penting untuk membangun industri ini menarik. Sehingga sampah itu kalau sudah harganya menarik akan menjadi industrialisasi. Semua bisa bayangkan teman-teman akan datang ke sini untuk menambang sampah itu,” bebernya.
Langkah ini juga sejalan dengan visi membangun pusat pengelolaan sampah yang tidak hanya menjadi cost center tetapi juga benefit center yang berkelanjutan.
BACA JUGA: Tiga Kendaraan Terlibat Kecelakaan Beruntun di Bantargebang, Begini Kronologinya
“Kita wajib membangun ini menjadi benefit center dan eco center. Jadi dua hal ini harus kita bangun dengan serius di negara kita. Jadi ini upaya kita menyelesaikannya,” paparnya.
Menurut Hanif, upaya ini memerlukan perubahan paradigma, dari pendekatan berbasis tempat pemrosesan akhir(TPA) menuju pendekatan yang lebih fokus pada pengurangan dan pemilahan di pemukiman pemukiman warga.
Disamping itu, peningkatan edukasi masyarakat perlu ditingkatkan agar pemilahan sampah sejak di hulu dapat berjalan lebih efektif, sehingga volume sampah yang sampai ke TPA bisa ditekan
“Karena hanya dari situ hulunya bisa terpilah, kemudian manfaatnya bisa lebih efesien dan efektif,” ucapnya
Hanif juga menegaskan, bahwa Indonesia perlu mengurangi ketergantungan pada impor sampah dan memprioritaskan pengolahan sampah lokal yang sudah cukup tinggi.
Pemerintah juga didorong untuk memotong impor sampah, baik dalam bentuk bahan mentah maupun produk daur ulang.
“Kami bertekad dalam waktu segera maka kita tidak boleh lagi impor-impor barang semacam itu. Wajib melakukan pengolahannya di dalam negeri,” tegasnya.
Menurutnya, dengan demikian, Indonesia bisa berfokus pada penyelesaian masalah sampah domestik tanpa bergantung pada impor.
“Sampah kita sudah cukup banyak, sudah lah. Ngakal-ngakali kita sudah cukup. Mengkolonisasi kita dalam bentuk ngirim sampah ke Indonesia sudah cukup dengan apapun alasannya,” sambungnya.
Dukungan dari kementerian terkait, dunia usaha, dan seluruh masyarakat menjadi kunci dalam menyelesaikan permasalahan sampah di Indonesia, khususnya di Jakarta.
Dengan pendekatan komprehensif, inovasi, dan kerjasama semua pihak, dirinya optimis Indonesia bisa mencapai pengelolaan sampah yang lebih baik dan berkelanjutan di masa depan. (rez)