Berita Bekasi Nomor Satu

Kasus KGBO 2024 di Kabupaten Bekasi Meningkat, Mayoritas Korban Anak di Bawah Umur

ILUSTRASI: Sejumlah remaja bermain gawai di Setu, beberapa waktu lalu. Korban kasus KGBO sepanjang 2024 di Kabupaten Bekasi dominan anak di bawah umur. ARIESANT/RADAR BEKASI

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Korban kasus kekerasan gender berbasis online (KGBO) sepanjang 2024 di Kabupaten Bekasi mayoritas anak di bawah umur.

Berdasarkan data Unit Pelayanan Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Kabupaten Bekasi, sepanjang 2024 tercatat 19 kasus KGBO. Angka itu meningkat dari tahun sebelumnya 17 kasus.

Ketua UPTD PPA Kabupaten Bekasi, Fahrul Fauzi, mengungkapkan bahwa masalah ini telah menjadi perhatian serius, mengingat banyaknya anak-anak di bawah umur yang menjadi korban.

BACA JUGA: Tekan Angka Kasus Kekerasan Anak dan Perempuan, DP3A Bentuk Satgas SAPA

“Kasus KGBO selama beberapa bulan ini menjadi isu menarik. Karena banyak kasus ini yang menjadi korban anak-anak di bawah umur, walaupun ada beberapa yang dewasa,” kata Ketua UPTD PPA Kabupaten Bekasi, Fahrul Fauzi saat dihubungi, Minggu (5/1).

Fahrul menjelaskan bahwa KGBO umumnya terjadi dalam bentuk penyebaran konten atau video pornografi, serta informasi yang bersifat eksploitasi seksual.

“KGBO ini biasanya dalam bentuk penyebaran konten atau video pornografi maupun informasi,” ucapnya.

Menurut laporan dan keterangan para korban, banyak kasus KGBO yang berawal dari iming-iming atau tipu daya yang dilakukan oleh pelaku untuk memperdaya anak-anak yang masih di bawah umur.

Para pelaku mengarahkan anak-anak untuk melakukan tindakan yang tidak senonoh, seperti memperlihatkan alat vital atau berperilaku seksual lainnya, dengan modus mengenal korban melalui media sosial atau aplikasi pesan singkat.

BACA JUGA: Marak Kekerasan Seksual, FPP Kabupaten Bekasi Canangkan Pesantren Ramah Anak

Kebebasan anak-anak dalam menggunakan gawai dianggap sebagai pemicu utama dari maraknya kasus KGBO ini.

“Jadi si anak ini misalkan pacaran atau kenal di medsos dengan seseorang, lalu video call dia dihasut. Karena hasutan ini luar biasa, pelaku ini bisa melakukan kekerasan seksual tidak harus dengan paksaan,” katanya.

Para pelaku biasanya merekam perilaku anak tersebut dan mengancam akan menyebarluaskan rekaman video yang tidak senonoh jika korban tidak memenuhi tuntutan mereka. Berdasarkan laporan yang diterima, beberapa pelaku bahkan memeras korban dengan meminta sejumlah uang mulai Rp300 ribu sampai Rp500 ribu.

Akibat ancaman tersebut, banyak korban yang mengalami depresi. Beberapa di antaranya bahkan terpaksa berbohong kepada orang tua mereka untuk mendapatkan uang yang akan diberikan kepada pelaku, dengan alasan untuk kebutuhan sekolah atau lainnya.

“Si korban ini banyak depresi kadang-kadang berbohong kepada orangtuanya untuk membayar sekolah, padahal untuk transfer si pelaku,” tutur Fahrul.

BACA JUGA: Perempuan Semakin Berani Laporkan Kekerasan

Selain anak-anak, kasus KGBO juga menimpa beberapa orang dewasa, termasuk yang sudah menikah. Modus operandi para pelaku tetap sama, yaitu dengan mengancam korban menggunakan video-video yang telah direkam sebelumnya untuk memeras mereka.

“Jadi dia tidak terima pacarnya menikah. Pelaku punya video-video korban dan diancam lah,” terangnya.

Untuk mencegah meluasnya kasus KGBO, terutama yang menimpa anak-anak, Fahrul mengimbau agar keluarga lebih perhatian terhadap aktivitas anak-anak mereka. Salah satu langkah pencegahan yang penting membatasi penggunaan gawai dan terus mengawasi interaksi anak-anak di dunia maya. (ris)