Berita Bekasi Nomor Satu

Jangan Lupa Validasi! Pajak di Balik Transaksi Tanah dan Bangunan

Oleh: Ade Ana (Penyuluh Pajak Kanwil DJP Jawa Barat III)

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Transaksi atas tanah dan bangunan bukan hanya soal angka dalam akta jual beli atau dokumen waris. Di balik pengalihan hak atas tanah dan bangunan, tersembunyi kewajiban perpajakan yang tidak dapat diabaikan.

Salah satunya adalah Pajak Penghasilan (PPh) Final Pasal 4 ayat (2) atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, yang lebih dikenal dengan PPh PHTB.

Pajak ini memiliki karakteristik unik: dikenakan secara final dan dibayarkan sebelum proses balik nama sertifikat dilakukan. Artinya, sebelum sebuah sertifikat tanah bisa resmi berpindah nama, seluruh kewajiban perpajakan harus sudah diselesaikan terlebih dahulu, termasuk bukti penyetoran pajaknya yang tervalidasi.

Namun, di tengah kompleksitas administrasi dan prosedur hukum pertanahan, masih banyak masyarakat yang belum sepenuhnya memahami pentingnya validasi pajak dalam proses ini. Banyak yang mengira bahwa dengan membayar pajak saja sudah cukup. Padahal, yang lebih penting dan sering terlupakan adalah proses validasi atas pembayaran tersebut. Validasi adalah semacam stempel sah bahwa pembayaran pajak tersebut telah diteliti dan diakui oleh otoritas terkait sebagai bentuk kepatuhan.

Dalam konteks pajak penghasilan atas pengalihan tanah dan bangunan, validasi ini bukan sekadar formalitas. Sesuai ketentuan Peraturan Direktur Jenderal Pajak PER-08/PJ/2022, validasi adalah proses Penelitian Bukti Pemenuhan Kewajiban Penyetoran Pajak. Tanpa validasi, proses peralihan hak kepemilikan tidak akan dapat dilanjutkan secara hukum.

Sementara itu, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) juga menempati posisi strategis dalam setiap pengalihan hak. Sesuai Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (UU HKPD), pihak yang menerima hak atas tanah dan/atau bangunan — biasanya pembeli atau ahli waris — adalah wajib pajak BPHTB.

Mereka wajib menyetor dan memvalidasi pembayaran BPHTB melalui Badan Pendapatan Daerah (Bappenda) atau sistem daring eBPHTB milik pemerintah daerah.

Dengan kata lain, dalam satu transaksi tanah dan/atau bangunan, terdapat dua jenis pajak yang berbeda — PPh PHTB yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan BPHTB yang merupakan pajak daerah — keduanya memiliki proses validasi masing-masing dan menjadi prasyarat penting untuk kelengkapan hukum atas peralihan hak.

Sayangnya, kesadaran masyarakat akan aspek ini belum seimbang dengan tingginya volume transaksi tanah yang terjadi setiap harinya. Di berbagai kantor pertanahan dan kantor pajak, masih kerap ditemukan masyarakat yang kesulitan melanjutkan proses balik nama hanya karena persoalan sederhana: belum melakukan validasi PPh PHTB atau BPHTB.

Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2016, tarif PPh atas pengalihan tanah dan/atau bangunan adalah sebesar 2,5% dari nilai bruto transaksi (untuk selain rumah sederhana atau rumah susun sederhana). Sebelum tahun 2025, pembayaran dilakukan dengan membuat billing melalui situs DJP Online, dan validasi bisa diajukan secara daring di DJP Online (menu e-PHTB) atau langsung ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sesuai lokasi objek.

Namun mulai 2025, DJP telah meluncurkan sistem administrasi perpajakan terintegrasi bernama Coretax, yang ditujukan untuk menyederhanakan dan memodernisasi seluruh proses pelayanan pajak. Coretax adalah sistem yang mengintegrasikan seluruh layanan perpajakan, mulai dari pendaftaran, pelaporan, pembayaran, hingga validasi dalam satu platform yang mudah diakses.

Melalui Coretax, Wajib Pajak dapat membuat kode billing PPh PHTB dan langsung mengajukan validasi secara daring melalui akun yang sama. Tidak hanya itu, notaris atau PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) sebagai pihak perantara transaksi juga dapat mengakses layanan tersebut atas nama Wajib Pajak, tentunya dengan otorisasi yang sah.

DJP tampaknya sangat serius membangun ekosistem digital pajak yang inklusif dan efisien. Implementasi Coretax adalah salah satu langkah progresif yang diharapkan dapat mengurangi beban birokrasi dan meningkatkan kepatuhan sukarela masyarakat. Dalam hal pengalihan hak atas tanah dan bangunan, sistem ini memberi kemudahan yang luar biasa bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang selama ini kesulitan mengakses layanan pajak secara fisik karena jarak, waktu, atau keterbatasan pemahaman.

Namun, sebagaimana sistem digital lainnya, tantangan edukasi masih menjadi pekerjaan rumah besar. Pemahaman masyarakat tentang proses validasi, peran notaris, dan syarat-syarat perpajakan atas tanah dan bangunan perlu terus ditingkatkan melalui literasi publik yang konsisten.

Apalagi, proses transaksi tanah tidak hanya melibatkan pembeli dan penjual, tetapi juga PPAT, pejabat Bappenda, petugas KPP, hingga pihak kantor pertanahan. Sinergi dan pemahaman antar semua pihak menjadi kunci suksesnya kepatuhan perpajakan.

Di sisi lain, pemerintah daerah juga diharapkan tidak tertinggal dalam penguatan sistem validasi BPHTB secara daring. Integrasi sistem pusat-daerah idealnya mengarah pada proses yang seamless, di mana informasi dari Coretax dapat sinkron dengan sistem eBPHTB milik pemerintah daerah. Apabila ini dapat terwujud, proses transaksi tanah tidak hanya akan lebih cepat dan efisien, tetapi juga lebih akuntabel dan minim celah kecurangan.

Kita harus menyadari bahwa transaksi tanah bukan hanya urusan privat antara dua pihak, melainkan bagian dari arsitektur fiskal nasional. Pajak dari pengalihan tanah dan bangunan menyumbang penerimaan signifikan baik bagi pusat maupun daerah.

Maka, memastikan proses validasi berjalan lancar dan taat hukum adalah kontribusi langsung kita terhadap negara.
Akhir kata, jangan anggap remeh pajak dalam setiap transaksi tanah dan bangunan. Proses validasi bukan beban tambahan, melainkan jaminan bahwa transaksi kita sah, bersih, dan bebas risiko hukum di masa mendatang.

Dengan semakin majunya sistem administrasi perpajakan seperti Coretax dan eBPHTB, tidak ada lagi alasan untuk abai. Justru, kita patut men

yambut kemudahan ini dengan sikap proaktif dan taat aturan.
Jadi, jika Anda sedang atau akan melakukan transaksi tanah atau bangunan, ingat satu hal: Jangan lupa validasi! Pajak bukan sekadar formalitas, melainkan fondasi legalitas. (*)

*) Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.