RADARBEKASI.ID, BEKASI – Pemerintah Kota Bandung kini menghadapi tantangan krusial dalam menjaga dan memulihkan kepercayaan publik, terlebih setelah mencuatnya kasus korupsi pengadaan CCTV Smart City yang menyeret pejabat tinggi, termasuk mantan Wali Kota dan Sekretaris Daerah. Skandal ini tak hanya mengguncang fondasi hukum dan moral birokrasi, namun juga memicu krisis legitimasi serta memperdalam keraguan masyarakat terhadap integritas pemerintahan.
Dalam konteks inilah pendekatan *Strategic Triangle* yang dikembangkan oleh Mark Moore menjadi relevan sebagai fondasi pembaruan. Kerangka ini menekankan pentingnya tiga pilar dalam tata kelola publik: penciptaan nilai publik (public value), legitimasi dan dukungan (legitimacy and support), serta kapasitas operasional (operational capacity). Dengan kata lain, birokrasi modern dituntut tidak hanya adaptif terhadap teknologi, tetapi juga harus hadir secara bermakna bagi masyarakat.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan adanya kesenjangan yang mencolok antara capaian digital dan rasa kepuasan publik. Kota Bandung memang dikenal sebagai pionir *smart city*, bahkan memperoleh skor Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) sebesar 4,59 dan indeks *smart city* sebesar 3,93. Sayangnya, angka-angka ini belum sejalan dengan persepsi warga. Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM) justru menurun dari 82,3 menjadi 79,1 pada triwulan I tahun 2025. Keluhan warga terutama tertuju pada lambannya layanan dan kurangnya transparansi proses.
Evaluasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Monitoring Center for Prevention (MCP) juga memperlihatkan sektor pengadaan barang dan jasa masih menjadi titik rawan korupsi. Skor MCP sempat turun dari 92 ke 82, dan meskipun kembali naik menjadi 90, tanpa penguatan regulasi teknis – seperti Peraturan Wali Kota (Perwal) sebagai turunan dari Permendagri 77/2020 – potensi penyimpangan tetap terbuka lebar.
Persoalan ini bukan hanya menyentuh aspek prosedural, melainkan menyentuh jantung birokrasi itu sendiri: etika pelayanan publik dan legitimasi moral. Dalam banyak kasus, warga merasa lebih sebagai objek kebijakan, bukan sebagai mitra aktif. Forum musyawarah publik belum sepenuhnya menjadi jembatan antara aspirasi dan keputusan. Padahal, tata kelola yang baik dalam semangat demokrasi modern mensyaratkan co-production antara pemerintah dan masyarakat.
Lebih jauh, birokrasi sering kali menunjukkan responsif hanya ketika mendapat tekanan eksternal seperti media atau lembaga pengawas. Reformasi birokrasi seharusnya tidak menunggu skandal untuk bergerak, tetapi menjadi sistem yang hidup dan reflektif.
Membangun kembali kepercayaan publik berarti menghidupkan kembali jiwa pelayanan. Teknologi memang penting, namun tanpa empati dan kehadiran nyata, birokrasi akan terjebak pada apa yang disebut para pakar sebagai *simulated governance* – pemerintahan yang hanya tampil rapi di permukaan.
Dalam upaya transformasi ini, Pemerintah Kota Bandung perlu mengambil tiga langkah utama:
1. **Membangun Kepercayaan Sosial dan Integritas Birokrasi**
Transparansi harus dibarengi dengan keteladanan. Pimpinan birokrasi perlu menunjukkan integritas melalui tindakan nyata, bukan hanya pernyataan normatif.
2. **Mendorong Pelayanan Publik yang Prima dan Manusiawi**
Teknologi adalah alat bantu, bukan tujuan. Sistem digital harus menjadi sarana untuk memperkuat kecepatan, ketepatan, dan empati dalam pelayanan.
3. **Meningkatkan Kolaborasi dengan Warga**
Warga bukan penonton, melainkan mitra sejati dalam pembangunan. Partisipasi mereka harus diwadahi secara bermakna melalui forum dialog dan kebijakan berbasis data partisipatif.
Upaya perbaikan ini juga harus dibarengi dengan penguatan kapasitas ASN dan pemantapan regulasi yang mendukung inovasi jangka panjang, termasuk proyek multiyears. Tanpa regulasi yang kokoh, kebijakan akan mudah goyah oleh kepentingan jangka pendek.
Harapan tetap menyala. Saat birokrasi mulai menunjukkan perubahan yang nyata, ketika pelayanan makin responsif dan ruang partisipasi makin terbuka, kepercayaan akan tumbuh kembali – bukan karena janji, tetapi karena bukti. Bandung memiliki peluang besar untuk menjadi kota yang tidak hanya canggih secara digital, tetapi juga dewasa dalam integritas dan adil dalam pelayanan.
Karena sejatinya, kota yang baik bukan hanya layak huni (*livable*), tetapi juga layak dicintai (*lovable*). (*)











