Berita Bekasi Nomor Satu

DPR RI Sahkan RKUHAP Jadi UU, Amnesti Nilai Berpotensi Ciptakan Kekacauan Hukum jika Dipaksakan Berlaku 2 Januari 2026

ILUSTRASI: Gedung DPR RI. ISTIMEWA

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Rapat Paripurna DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi Undang-Undang pada Selasa (18/11/). Keputusan tersebut diambil dalam rapat paripurna yang dipimpin oleh Ketua DPR Puan Maharani setelah mendengar laporan Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman.

“Tibalah saatnya kami meminta persetujuan fraksi-fraksi terhadap RUU KUHAP apakah dapat disetujui menjadi UU?” tanya Puan, dikutip dalam laman resmi DPR RI.

Seluruh peserta rapat paripurna pun kompak menyatakan “Setuju” terhadap pengesahan RUU KUHAP tersebut.

Dalam kesempatan terpisah, Puan menegaskan bahwa laporan pembahasan yang disampaikan Komisi III sudah sangat jelas dan komprehensif. Ia berharap masyarakat tidak mudah terpengaruh isu atau hoaks mengenai substansi KUHAP baru yang disahkan tersebut.

“Penjelasan dari Ketua Komisi III saya kira cukup bisa dipahami dan dimengerti sekali. Jadi hoaks-hoaks yang beredar itu, semua hoaks itu tidak betul, dan semoga kesalahpahaman dan ketidakmengertian kita sama-sama bisa pahami,” kata Puan.

Puan menjelaskan UU KUHAP mulai berlaku pada tahun depan. “Undang-undang ini akan mulai berlaku nanti 2 Januari 2026,” ungkap Puan.

Selama proses pembahasan, Panitia Kerja RUU KUHAP menyepakati 14 substansi utama yang menjadi dasar pembaruan hukum acara pidana. Substansi tersebut mencakup penyesuaian hukum acara dengan perkembangan hukum nasional dan internasional, penegasan pendekatan restoratif dan rehabilitatif sesuai KUHP baru, serta diferensiasi fungsi penegak hukum. Selain itu, penguatan kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum juga menjadi sorotan penting, disertai peningkatan koordinasi antarlembaga.

Sejumlah poin lain menitikberatkan pada perlindungan hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, perempuan, anak, dan lansia. RUU KUHAP juga mengatur penguatan peran advokat, mekanisme keadilan restoratif, perbaikan upaya paksa melalui asas due process of law, hingga pengenalan mekanisme baru seperti pengakuan bersalah dan penundaan penuntutan korporasi.

Substansi lainnya mencakup pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi, penguatan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban, serta modernisasi sistem hukum acara pidana untuk mewujudkan peradilan yang cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.

Sementara, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menegaskan bahwa poster yang beredar di media sosial mengenai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) adalah hoaks. Poster tersebut menuding bahwa jika RKUHAP disahkan, aparat kepolisian dapat melakukan penyadapan, penyitaan, hingga penangkapan tanpa izin hakim. Menurut Habiburokhman, seluruh isi poster itu tidaklah benar.

“Ada semacam poster di media sosial yang isinya tidak benar. Disebutkan kalau RKUHAP disahkan, polisi bisa melakukan (hal-hal tertentu) ke kamu tanpa izin hakim. Ini tidak benar sama sekali,” tegas Habiburokhman sambil memperlihatkan salinan poster tersebut dalam konferensi pers (Konpers) di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/11).

Menanggapi klaim bahwa polisi bisa menyadap dan mengutak-atik komunikasi tanpa izin, Habiburokhman menjelaskan bahwa KUHAP yang baru justru menegaskan mekanisme yang jauh lebih ketat. Ia menyebut Pasal 135 ayat (2) di UU KUHAP yang baru menyatakan bahwa penyadapan akan diatur secara khusus melalui undang-undang tersendiri, yang baru akan dibahas setelah RKUHAP disahkan.

“Semua fraksi menyadari bahwa penyadapan itu harus diatur secara hati-hati dan harus dilakukan dengan izin pengadilan. Jadi, undang-undangnya belum ada, tapi sikap politiknya sudah ada soal penyadapan,” ujarnya.

Lebih lanjut, poster hoaks itu juga menyebut polisi bisa membekukan rekening dan jejak digital secara sepihak. Habiburokhman menyebut narasi tersebut keliru. Menurutnya, Pasal 139 ayat (2) RKUHAP dengan jelas menyatakan bahwa semua bentuk pemblokiran, baik rekening maupun data online, harus mendapatkan izin hakim.

Tudingan bahwa penyidik bisa mengambil HP atau laptop tanpa izin hakim juga dibantah oleh Komisi III. Menurut Habiburokhman, semua bentuk penyitaan harus dengan izin Ketua Pengadilan Negeri, baik itu penyitaan handphone, laptop, dan lain sebagainya.

Habiburokhman juga menepis klaim bahwa KUHAP baru memungkinkan penangkapan tanpa dasar tindak pidana. Ia menegaskan bahwa penangkapan baru dapat dilakukan setelah seseorang resmi ditetapkan sebagai tersangka, dan penetapan itu mensyaratkan dua alat bukti.

Adapun penahanan memiliki syarat yang jauh lebih objektif dibanding KUHAP lama yang kerap dipakai pada masa Orde Baru. Dalam KUHAP baru, tambahnya, penahanan hanya bisa dilakukan apabila, pertama, tersangka mengabaikan panggilan dua kali; kedua, tersangka memberikan keterangan yang tidak sesuai fakta; ketiga, tersangka menghambat proses pemeriksaan (obstruction of justice); keempat, tersangka berupaya melarikan diri, mengulangi tindak pidana, menghilangkan alat bukti, atau keselamatannya terancam

“Kelima, tersangka mempengaruhi saksi untuk berbohong yang juga termasuk obstruction of justice,” jelas Politisi Fraksi Partai Gerindra ini.

Menguatkan argumen tersebut, Habiburokhman memaparkan soal subjektivitas yang ada dalam KUHAP lama. Dalam KUHAP lama, seseorang bisa ditahan atas dasar tiga kekhawatiran, yakni khawatir melarikan diri, khawatir menghilangkan alat bukti serta khawatir mengulangi tindak pidana. Menurutnya, unsur dan subjektivitasnya hanya ada pada penyidik.

Habiburokhman turut mencontohkan beberapa kasus yang menurutnya merupakan “korban KUHAP lama”. Ia menyebut justru KUHAP lama yang selama ini membuka peluang penahanan sepihak. Oleh karena itu, ia menilai yang darurat untuk segera dihentikan adalah penerapan KUHAP lama.

Sementara, Amnesty International Indonesia menilai pengesahan Revisi KUHAP oleh DPR RI sebagai langkah mundur dalam penegakan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.

Deputi Direktur Amnesty International Indonesia, Wirya Adiwena, menyebut perubahan yang seharusnya menjadi momentum pembaruan hukum justru berpotensi memperburuk situasi penegakan keadilan. Menurutnya, keputusan ini tidak mencerminkan komitmen negara terhadap penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak asasi manusia.

Wirya menyoroti proses penyusunan revisi KUHAP yang dinilai minim transparansi dan manipulatif terhadap partisipasi publik. Padahal, berbagai kelompok masyarakat sipil telah berulang kali meminta agar pemerintah dan DPR tidak tergesa-gesa dalam menyusun regulasi yang menyangkut hak-hak fundamental warga negara.

“Bahkan, DPR baru mengunggah draf KUHAP yang disahkan kurang dari 24 jam sebelum waktu pengesahan. Hal ini tentu sangat menyulitkan terjadinya partisipasi bermakna dengan masyarakat sipil,” kata Wirya kepada wartawan, Rabu (19/11), dikutip dari Jawa Pos.com.

Selain persoalan proses penyusunan, Amnesty menilai substansi revisi KUHAP sarat dengan ketentuan bermasalah yang memperlebar ruang penyalahgunaan wewenang aparat penegak hukum, khususnya kepolisian.

Wirya menjelaskan, warga negara dapat sewaktu-waktu diposisikan sebagai tersangka tanpa perlindungan memadai. Ketentuan baru bahkan mengaitkan pemenuhan hak atas bantuan hukum dengan ancaman pidana, padahal akses bantuan hukum adalah prinsip dasar hak atas peradilan yang adil.

Ia juga menyoroti pemberian kewenangan penangkapan dan penahanan tanpa izin pengadilan, yang berpotensi memperbesar tindakan sewenang-wenang. Amnesty mengingatkan, praktik serupa pernah terjadi pada gelombang penangkapan massal pasca-demonstrasi Agustus 2025. Menurutnya, langkah ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak atas pembelaan dan fair trial.

Kekhawatiran serupa muncul terkait diperluasnya kewenangan penyelidik dalam melakukan pembelian terselubung, penyamaran, dan controlled delivery tanpa pembatasan jenis tindak pidana serta tanpa pengawasan hakim.

“Metode penyelidikan ini membuka peluang praktik penjebakan (entrapment) kepada warga, sehingga merekayasa terjadinya tindak pidana beserta pelakunya,” ujar Wirya.

Ia menekankan, tindak pidana dapat tercipta dalam situasi yang sebenarnya mungkin tidak akan terjadi tanpa adanya praktik tersebut.

Revisi KUHAP itu juga dinilai memungkinkan warga ditangkap dan ditahan di tahap penyelidikan, ketika belum ada kepastian tindak pidana atau pelakunya. Ia menegaskan, ketentuan ini memperburuk perlindungan hak-hak warga, mengingat tahap penyelidikan seharusnya berfungsi untuk memastikan apakah terdapat dugaan awal terjadinya tindak pidana.

Menurut Wirya, keseluruhan perubahan dalam revisi KUHAP menempatkan aparat penegak hukum pada posisi yang sangat dominan tanpa diimbangi mekanisme akuntabilitas yang memadai.

“Alih-alih memperkuat keadilan, penghormatan pada rule of law, dan hak peradilan pidana yang adil, revisi KUHAP saat ini justru membuat warga semakin rentan terhadap kesewenang-wenangan negara,” tegasnya.

Ia khawatir penerapan revisi KUHAP yang akan mulai 2 Januari 2026 tanpa masa transisi dan kesiapan infrastruktur berpotensi menciptakan kekacauan hukum di lapangan.

Wirya mengingatkan, perubahan fundamental pada sistem hukum acara pidana membutuhkan adaptasi menyeluruh oleh aparat, lembaga penegak hukum, dan masyarakat. Tanpa itu, implementasi aturan berisiko menimbulkan ketidakpastian dan pelanggaran hak warga.

Karena itu, ia mendesak DPR dan pemerintah untuk membatalkan pengesahan revisi KUHAP dan membuka kembali pembahasan secara komprehensif bersama masyarakat sipil.

“DPR dan pemerintah harus membangun sistem hukum acara yang adil, transparan, akuntabel, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia,” pungkasnya. (oke/jpc)