Berita Bekasi Nomor Satu

Mismatch dan Minim Bahasa Asing, Lulusan SMK Jabar Sulit Bersaing

ILUSTRASI: Para siswa SMK Citra Mutiara Kabupaten Bekasi, saat melakukan pembelajaran melalui IFP. FOTO: ISTIMEWA

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Jawa Barat (Jabar) sempat menjadi provinsi dengan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tertinggi di Indonesia, meskipun angkanya terus berfluktuasi berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS). Kondisi ini menjadi catatan penting bagi dunia pendidikan vokasi.

Agar lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) tidak terus mendominasi angka pengangguran, Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat kini mendorong para lulusan untuk membidik pasar kerja global.

Namun peluang besar tersebut masih terkendala kemampuan bahasa asing. Karena itu, kepala sekolah diminta mengevaluasi efektivitas pembelajaran bahasa di sekolah masing-masing.

Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMK Citra Mutiara Kabupaten Bekasi, Prawiro Sudirjo, mengakui wajar bila Jabar menjadi penyumbang angka pengangguran terbesar secara nasional.

“Karena Jabar adalah provinsi dengan populasi  jumlah penduduk terbesar se-Indonesia, sehingga otomatis menjadi paling tinggi,” ujarnya kepada Radar Bekasi, Selasa (2/12).

Prawiro juga menilai masih terjadi mismatch antara SMK dan kebutuhan industri, termasuk adanya kecenderungan sebagian perusahaan menolak tenaga kerja lokal karena stereotipe mengenai karakter pekerja.

“Tingginya Upah Minimum Kota (UMK) di Jabar, khususnya Bekasi, membuat beberapa industri pindah ke daerah yang upah buruhnya rendah, tapi karakter Sumber Daya Manusia (SDM) lebih nurut seperti di Jawa Tengah atau ke Vietnam,” tuturnya.

Selain itu, ia mengkritisi Disdik Jabar yang dinilai terlalu mudah memberikan izin pendirian SMK tanpa memastikan sarana, prasarana, dan standar industri terpenuhi, sehingga jumlah lulusan menjadi sangat melimpah.

“Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah penduduk dan lulusan SMK terbesar di Indonesia. Secara statistik, angka pencari kerja otomatis tinggi. Jadi tingginya pengangguran bukan semata kualitas lulusan, tetapi konsekuensi dari besarnya populasi,” jelasnya.

Persoalan lain yang sering muncul adalah ketidaksesuaian kompetensi lulusan dengan kebutuhan industri. Sebagian SMK sudah sangat maju, namun banyak sekolah lain masih membutuhkan pembaruan peralatan, kurikulum, dan pembelajaran berbasis industri.

“Dunia kerja bergerak sangat cepat. Otomasi, digitalisasi, dan teknologi baru membutuhkan kemampuan yang tidak selalu bisa dikejar sekolah secara merata,” ujar Prawiro.

Ia juga menyoroti jejaring penempatan kerja yang belum optimal. Tidak semua sekolah memiliki hubungan kuat dengan industri, bursa kerja aktif, maupun pendampingan setelah siswa lulus.

“Akibatnya, banyak lulusan kehilangan arah setelah lulus,” katanya.

Transformasi industri di Jabar turut memengaruhi kondisi ketenagakerjaan. Industri padat karya berkurang atau relokasi, sementara sektor baru seperti digital dan manufaktur modern membutuhkan keahlian berbeda.

“Adaptasi ini membutuhkan waktu dan dukungan dari sekolah maupun pemerintah,” tegasnya.

Prawiro menambahkan, banyak lulusan SMK sebenarnya tidak menganggur karena mereka melanjutkan kuliah, berwirausaha, atau bekerja di sektor informal. Namun mereka tetap tercatat sebagai pengangguran terbuka sehingga data terlihat lebih tinggi.

“Yang harus dilakukan adalah merevisi kurikulum, memperkuat industri lokal, dan memastikan program mampu menurunkan pengangguran secara berkelanjutan,” ucapnya.

Hal senada disampaikan Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum SMKN 15 Kota Bekasi, Dhani Irawan. Menurutnya, kemampuan bahasa asing merupakan bekal penting bagi siswa SMK.

“Saya setuju kemampuan bahasa asing perlu diperkuat,” ujarnya.

Ia menyebut, sekolahnya telah menerapkan dua pembelajaran bahasa asing dan mewajibkan siswa menjalani tes TOEIC setiap tahun.

“Kami sudah menerapkan dua bahasa asing dan mengikuti tes TOEIC setiap tahun,” pungkasnya. (dew)