Berita Bekasi Nomor Satu

Pemerintah Tolak Bantuan Asing untuk Bencana Sumatera

MELINTAS: Warga saat melintasi jembatan darurat yang di Desa Garoga, Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.FOTO: ISTIMEWA

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Di tengah gelombang duka dan ketidakpastian yang menyelimuti Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, pemerintah pusat kembali menegaskan satu sikap, Indonesia menolak bantuan internasional untuk penanganan banjir dan longsor yang terus meluas di kawasan Sumatra.

Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat (Menko PM) Muhaimin Iskandar mengatakan bahwa pemerintah masih mampu menangani situasi ini secara mandiri.“Ya selagi kita masih kuat ngapain? Kita masih kuat kok,” ujarnya dengan nada optimistis seusai menghadiri acara graduasi KPM PKH di Jakarta, Senin petang (8/12).

Pernyataan itu disampaikan pada hari yang sama ketika pemerintah daerah melaporkan puluhan titik masih terisolasi, ratusan ribu warga mengungsi, dan ribuan lainnya belum menerima bantuan secara merata akibat akses yang rusak dan logistik yang terhambat.

Meski demikian, Cak Imin memastikan pemerintah dan seluruh lembaga terkait tengah berupaya menjangkau seluruh penyintas bencana. “Kita akan terus percepat itu,” tegasnya.

Namun, keyakinan pemerintah pusat itu tak sepenuhnya sejalan dengan kenyataan di lapangan.
Menteri Sosial Saifullah Yusuf mengakui bahwa medan yang sulit menjadi hambatan utama pendistribusian bantuan. Menurutnya, kondisi bencana kali ini jauh berbeda dengan tsunami 2004 yang terpusat pada satu lokasi.

“Kondisinya beda dengan tsunami. Yang sekarang ini titiknya banyak dan terisolasi. Akses utama terputus dari semua sisi,” jelasnya.

Ia menambahkan, sejumlah pejabat kementerian yang turun langsung ke lapangan bahkan terpaksa bermalam di lokasi-lokasi terdampak seperti Aceh Tamiang karena sulitnya akses.
Sejak awal bencana, Kemensos telah mengaktifkan dapur umum di 39 titik yang setiap hari menyuplai lebih dari 400 ribu porsi makanan. Namun jumlah itu dianggap belum mampu menjangkau wilayah yang sama sekali belum tersentuh bantuan.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat tengah mengebut pembangunan akses semipermanen untuk membuka jalur menuju daerah terdampak.“Kami menargetkan akses itu dapat dilewati kendaraan kecil hingga sedang dalam dua pekan,” jelas Wakil Gubernur Sumbar, Vasko Ruseimy.

Kendati upaya terus dilakukan, ia mengakui bottleneck atau penumpukan kendaraan tak terhindarkan akibat jalan nasional yang putus, membuat distribusi logistik semakin lambat.

Di tengah kesulitan akses darat, warga Aceh kembali dirundung kekecewaan. Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebelumnya menyebut bahwa listrik di seluruh Aceh akan menyala 100 persen pada Senin siang (8/12).

BACA JUGA: https://radarbekasi.id/2025/12/09/gelombang-ketiga-relawan-gerakan-anak-negeri-berangkat-ke-sumatera-bawa-obat-hampir-setengah-ton/

Namun hingga malam hari, sebagian besar wilayah Aceh, terutama di daerah terdampak paling parah, masih gelap gulita. Pernyataan Bahlil sontak memicu gelombang protes warga.

Juru Bicara Pemerintah Aceh, Muhammad MTA, mengakui bahwa informasi yang disampaikan pemerintah pusat tidak sesuai kondisi aktual di lapangan. “Hingga saat ini suplai listrik menengah baru 60–70 persen. Banda Aceh baru 35–40 persen,” jelasnya.

Situasi jauh lebih buruk di wilayah seperti Aceh Tamiang, Aceh Utara, dan Aceh Timur, di mana pemulihan listrik masih berada di bawah 40 persen. “Pernyataan itu memicu ekspektasi terlalu tinggi, padahal kondisi lapangan sangat berbeda,” ujarnya.

Rasa kecewa juga datang dari warga Lampaseh Aceh, Banda Aceh. Seorang warga bernama Tati mengaku menggantungkan harapan pada janji tersebut. “Hingga pukul 16.18 WIB masih mati. Kecewa sekali karena kami jadi berharap pada statement itu,” ucapnya.

Sementara itu, Pemerintah Provinsi Sumatera Barat menyatakan bahwa status tanggap darurat berpotensi diperpanjang. Menurut Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah, sebagian besar kabupaten/kota masih berada dalam kondisi kritis.

“Kita masih punya banyak pekerjaan. Sudah pasti akan diperpanjang karena penyelesaiannya belum tuntas,” jelasnya.

Sejumlah daerah seperti Solok, Payakumbuh, dan Bukittinggi sudah mulai stabil. Namun wilayah lain termasuk Agam, Pariaman, dan Pesisir Selatan masih terputus aksesnya. Distribusi bantuan pun tidak berjalan optimal.

Mahyeldi menambahkan bahwa kebutuhan dasar seperti pangan, air bersih, dan perlengkapan tidur terus ditambah. Pemerintah provinsi juga memberi perhatian khusus kepada ibu hamil dan balita.

Jumlah pengungsi masih mencapai 20 ribu orang. Mereka yang rumahnya rusak berat diarahkan tinggal di tenda atau hunian sementara. “Jika rumah mereka tak layak huni dan mereka punya tanah, akan kita bantu bangun. Jika tidak, pemerintah akan mencarikan lokasi alternatif,” ujarnya menegaskan.

Tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Sumbar juga merilis data terbaru korban bencana. “Total korban meninggal mencapai 231 orang, 201 di antaranya sudah teridentifikasi,” ujar Kasubdit Dokpol Polda Sumbar, Eka Purnama Sari.

Proses identifikasi dilakukan secara intensif melalui pencocokan antemortem dan postmortem.
Eka menegaskan bahwa prosedur dilakukan sesuai standar internasional, dengan mengutamakan akurasi serta empati terhadap keluarga korban.

Relawan GAN Gelombang III Diberangkatkan

Sementara itu, di tengah desakan kebutuhan yang terus meningkat, berbagai lembaga dan komunitas justru bergerak lebih cepat. Salah satunya adalah Gerakan Anak Negeri (GAN) yang kembali mengirimkan Tim Relawan Gelombang III ke Tapanuli Selatan pada Selasa, (9/12/2025) hari ini.

Pengiriman ini merupakan bagian dari rangkaian aksi kemanusiaan di Aceh, Sumut, dan Sumbar yang digagas bersama Pemkab Bogor sejak 30 November 2025.

Ketua GAN, Andi Ahmadi, mengatakan tim gelombang ketiga diperkuat dua dokter, lima perawat, dan sejumlah relawan dari Metropolitan.“Insyaallah penanggung jawab Gerakan Anak Negeri juga akan ikut berangkat,” katanya.

Adapun nama-nama relawan yang berangkat antara lain, Hazairin Sitepu (CEO Metropolitan dan Penanggung Jawab GAN), Panca Aji Riyanto, dr. Yuniar Tri Kusuma Lubis, dr. Silvi Pahlevy, Helmi Riyaldi, Ade Muttaqin, Topan Aditya Hendra, dan Eko Wahyudi.

Menurut Andi, para relawan telah dipersiapkan untuk menghadapi berbagai situasi di lapangan.
“Kami berharap kehadiran mereka dapat mempercepat pemulihan masyarakat di wilayah bencana,” tegasnya.

Terpisah, bantuan dari Kota Bekasi berupa kebutuhan pokok hingga obat-obatan telah disalurkan akhir pekan kemarin, berikut Tenaga Kesehatan (Nakes) telah diberangkatkan untuk membantu penanganan pasca bencana.

Total bantuan yang telah disalurkan akhir pekan kemarin mencapai lebih dari Rp500 juta. “300 yang saya bawa, kemudian 200 yang kemudian ke Aceh, dan ada tambahan sekitar Rp80 juta yang kita belanjakan langsung. Seluruhnya sudah terdistribusi,” ungkap Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, Senin (8/12).

Dana bantuan yang berhasil digalang oleh Pemkot Bekasi sampai dengan kemarin diperkirakan mencapai hampir Rp1 miliar. Saat ini, masih ada sisa Rp300 juta di rekening khusus untuk menggalang donasi yang bersumber dari ASN, pelaku usaha, hingga warga Kota Bekasi.

Donasi untuk korban bencana Sumatera masih dibuka sampai dengan 31 Desember 2025, dana yang terkumpul akan kembali disalurkan untuk membantu pemulihan pasca bencana. “Tentu kita berharap mungkin ada sesuatu terkait dengan infrastruktur yang tentu sangat berat yang mereka hadapi. Terkait dengan fasilitas umum terutama,” ungkapnya.

Keputusan pemerintah menolak bantuan internasional menuai tanda tanya di tengah meluasnya kritik publik. Secara historis, bantuan asing bukan hal tabu apalagi pada bencana besar seperti tsunami 2004, di mana dukungan internasional sangat berpengaruh pada percepatan pemulihan Aceh.

Saat ini, dengan ribuan pengungsi belum mendapatkan pasokan logistik yang stabil, ratusan desa masih terisolasi, listrik belum pulih sepenuhnya, serta akses yang belum terbuka, banyak pihak mempertanyakan apakah penolakan bantuan asing merupakan langkah yang tepat.

Optimisme pemerintah sah-sah saja. Namun bagi warga yang hingga kini masih menyambung hidup dari makanan dapur umum, yang berjalan puluhan kilometer untuk mencari sinyal, atau yang harus menunggu identifikasi anggota keluarga mereka di tenda, optimisme itu mungkin terdengar seperti janji kosong yang tidak menyalakan lampu atau menghapus lumpur dari halaman rumah mereka.

Di tengah situasi ini, kelompok relawan lokal seperti GAN, organisasi kemasyarakatan, dan komunitas warga menjadi pilar yang paling cepat merespons, tanpa menunggu keputusan politik negara.

Ketika skala bencana meluas dan sejumlah wilayah belum mendapat penanganan optimal, keputusan pemerintah menolak bantuan asing mengundang pro dan kontra. Di satu sisi, kemandirian negara adalah hal penting. Namun di sisi lain, menyelamatkan nyawa dan memulihkan kehidupan warga adalah prioritas yang tak boleh dibayangi urusan gengsi nasional.

Untuk meringankan beban korban banjir bandang dan longsor di wilayah Sumatera, Gerakan Anak Negeri membuka donasi. Dana dapat disalurkan melalui Bank Mandiri dengan nomor rekening 133-00-32756611 atas nama Yayasan Negeri Satu Bangsa atau melalui Kitabisa.(mia/sep/oni/mif/sur/met)