RADARBEKASI.ID, BEKASI – Pergerakan dan komunikasi politik Tri Adhianto dinilai kurang cepat atau “satset” untuk mempertahankan posisinya sebagai nakhoda DPC PDI Perjuangan Kota Bekasi. Meski menjabat sebagai orang nomor satu di Kota Bekasi, kepastian posisinya di pucuk pimpinan partai hingga kini belum jelas.
Hal itu menyusul keputusan Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDI Perjuangan yang menunda penetapan Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bekasi untuk periode 2025–2030.
Dalam Konferensi Cabang (Konfercab) VI yang digelar di Hotel Sahid, Kabupaten Bekasi, Senin (8/12), hanya Kota Bekasi yang belum memperoleh kepastian. DPP PDI Perjuangan baru mengeluarkan keputusan penunjukan Ketua DPC untuk Kabupaten Bekasi, Kota Depok, Kabupaten Karawang, dan Kabupaten Purwakarta. Sementara Kota Bekasi diminta untuk menunggu
“Kurang satset dia (Tri Adhianto,red),” ujar Peneliti Kebijakan Publik IDP-LP, Riko Noviantoro, kepada Radar Bekasi, Kamis (11/12).
Berdasarkan informasi, alasan DPP PDI Perjuangan belum mengeluarkan keputusan untuk Kota Bekasi, lantaran masih ada yang harus dibicarakan. Dalam konteks dialog yang disampaikan DPP, Riko menilai penundaan ini dapat ditafsirkan sebagai adanya narasi ketidakpercayaan terhadap Ketua DPC PDI Perjuangan Kota Bekasi.
Selain itu, Riko berpandangan situasi tersebut terjadi karena dialog politik Ketua DPC PDIP Kota Bekasi dengan DPP dinilai kurang berjalan baik, sehingga tidak memberikan kesan positif di mata pimpinan pusat.
“Mungkin ini sebuah sinyal agar Pak Tri itu bisa melakukan perbaikan terhadap dialog politiknya dengan DPP,” ucapnya.
Meski demikian, Riko menyebut peluang Tri Adhianto masih terbuka jika merujuk pada AD/ART partai. Apabila tidak ada aturan yang menyatakan daerah yang belum ditetapkan saat Konfercab otomatis gugur, maka proses tersebut masih bisa dilanjutkan. Sebaliknya, jika penundaan dianggap sebagai gugurnya penetapan, hal itu bisa menjadi preseden buruk bagi DPC PDIP Kota Bekasi.
“Saya pikir kalau dialog Pak Tri cukup baik dengan DPP, tidak akan seperti ini situasinya. Bisa dicontoh dari daerah-daerah lain. Buktinya daerah lain bisa berjalan baik, artinya dialog politiknya cukup baik dari DPC ke DPP,” ungkapnya.
Riko juga menyoroti latar belakang birokrat yang melekat pada sosok Wali Kota Bekasi tersebut sebagai salah satu faktor yang memengaruhi kondisi ini.
“Artinya, beliau bukan seorang politisi sejati sehingga kurang piawai dalam membangun relasi, serta dialog-dialog politik dengan ekosistem partai politiknya,” ujarnya.
Ia menilai hal ini bisa menjadi catatan penting bagi Tri Adhianto untuk lebih banyak belajar dari para senior partai, khususnya di internal PDI Perjuangan, guna meningkatkan kinerja dan keterampilan politiknya.
Lebih lanjut, Riko tidak menutup kemungkinan posisi Tri Adhianto sebagai Ketua DPC PDIP Kota Bekasi berpotensi tergusur. Sebab, dalam struktur partai, jabatan Ketua DPC tidak harus dipegang oleh kepala daerah, melainkan juga bisa oleh kader yang duduk di legislatif.
“Dalam konteks politik yang lebih ideal, saya pikir tidak harus wali kota adalah Ketua DPC, bisa yang di DPRD menjadi Ketua DPC, agar ada yang mengamankan di legislatif. Bisa jadi dia (Tri Adhianto,red) kehilangan jabatan sebagai Ketua DPC,” ucapnya.
Namun demikian, ia menegaskan peluang Tri Adhianto untuk mempertahankan posisinya masih terbuka. Syaratnya, yang bersangkutan harus memperkuat kemampuan komunikasi dan dialog politik, baik secara vertikal ke DPP maupun horizontal di internal partai.
“Pak Tri harus berani ikut belajar kembali, agar kemampuan dialognya, skil-skil politiknya juga semakin baik. Jangan merasa karena sudah lolos sebagai wali kota, kemudian keterampilan politiknya belajar dengan politisi senior di PDIP kesannya suatu yang memalukan,” tukasnya. (pra)











