Berita Bekasi Nomor Satu

Gus Sholah, Kami Kehilangan Engkau…

Hanya dua hari setelah Nahdlatul Ulama berusia 94 tahun, berita duka itu hadir. Dr. Ir. KH. Salahuddin Wahid wafat ketika umurnya menjejaki 77 tahun.

Kepergiannya membuat kita kehilangan sosok paripurna. Cucu KH. Hasyim Asy’ari itu bukan cuma ulama. Tapi juga budayawan, penulis, aktivis kemanusiaan dan politisi yang berjiwa negarawan.

Karya tulisnya bertebaran. Selain menulis di media massa, almarhum juga melahirkan banyak buku. Di antaranya:

Negeri di Balik Kabut Sejarah (November 2001), Mendengar Suara Rakyat (September 2001), Menggagas Peran Politik NU (2002), Basmi Korupsi, Jihad Akbar Bangsa Indonesia (November 2003), Ikut Membangun Demokrasi, Pengalaman 55 Hari Menjadi Calon Wakil Presiden (November 2004).

Gus Sholah juga sosok ulama berintegritas.  Mengatakan yang Haq itu Haq. Dan yang bathil adalah bathil. Tidak hitam putih.

Saat melihat Aksi 212 pada 2016 silam, Gus Sholah mengatakan bahwa umat Islam bukan lagi buih. Tapi sudah menunjukkan ketertiban, disiplin dan menjaga kebersihan.

Sebagai aktivis kemanusiaan, nuraninya tak tersekat batas-batas negara. Gus Sholah pernah mengirimkan bantuan untuk etnis Rohingya pada 2017. Kala itu, seperti dilansir Republika, beliau mempercayakan kepada PKS untuk menyalurkan bantuannya.

Kematian ulama mengingatkan kita pada

Kitab Ash-Shahih. Dari Abdullah bin Amr, Rasulullah SAW bersabda, “Sungguh, Allah tidak mencabut ilmu dari (hati) menusia dengan mengangkatnya ke langit, tapi Ia mencabut ilmu melalui kematian ulama. Hingga ketika tidak lagi ada seorang alim pun, orang-orang mengangkat orang-orang jahil sebagai pemimpin. Mereka kemudian ditanya lalu mereka memberi fatwa tanpa ilmu. Mereka pun tersesat dan menyesatkan,” (HR. Bukhari (I/100), Muslim (IV/kitab; ilmu hadis nomor 13), At Tirmidzi (V/2652), Ibnu Majah (I/52), Ahmad (II/hal: 162).

Gus Sholah, bukan hanya NU yang kehilangan salah satu putra terbaiknya. Tapi juga umat dan bangsa ini.

Kami kehilangan engkau…

Allahummaghfirlahu Warhamhu Wa’afihi Wa’fu’anhu. (*)