Berbagai inovasi mutakhir di era digital dalam beberapa tahun terakhir ini turut berdampak pada berubahnya pola komunikasi masyarakat.
Gerd Leohard menyatakan, pencapaian perubahan teknologi selama 300 tahun terakhir, dapat dilampaui oleh apa yang dicapai dalam rentang waktu 20 tahun belakangan ini.
Percepatan perubahan teknologi komunikasi dan informasi yang sangat pesat ini banyak disebabkan oleh sumbangan dari berkembangnya teknologi komputer, desktop PC, maupun teknologi mobile yang berbasis pada koneksi internet maupun yang menggunakan teknologi digital.
Sebagian besar dari kita barangkali masih lahir di zaman di mana mesin tik, telepon kabel, tv, dan radio yang sekarang dikenal sebagai “media lama”, tentu kita akan dapat merasakan perbedaan yang begitu nyata terjadi di hadapan kita seiring bertumbuhnya kita hingga saat ini.
Tak hanya berbagai hal yang terkait teknologi, dinamika masyarakat pun turut mengalami perubahan corak secara menyeluruh. Ternyata semakin teknologi itu berkembang, corak kehidupan yang sederhana pun kian bergeser menjadi kehidupan yang lebih kompleks seiring semakin canggihnya teknologi (Mauludi, 2019).
Holmes (2012) mengatakan bahwa kita yang hidup di era information society tidak hanya berinteraksi langsung dan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, tapi juga telah dibingkai dan dipengaruhi oleh teknologi tersebut.
Dengan demikian, terjadilah perubahan budaya komunikasi yang mengikuti dinamika perubahan (Fauzi, 2018).
Di era digital saat ini, kaum milenial dapat mencerminkan wajah suatu bangsa. Bonus demografi Indonesia saat ini dimana ada 63 juta milenial atau penduduk berusia produktif antara 20-35 tahun (Media, 2019), membawa asa yang sangat menyejukkan di saat dunia melaju ke arah krisis global sebagai dampak dari pandemi Covid-19 yang secara mendadak mengubah roda perekonomuan dunia dalam sekejap.
Sejak awal tahun 2020 kita mendapati berita-berita seputar wabah penyakit baru yang menjangkiti China, tepatnya di Wuhan. Seiring waktu, wabah tersebut semakin menyebar. Perlahan namun pasti, akhirnya tibalah juga wabah tersebut sampai ke negeri ini.
Pekan-pekan pertama, memang belum tampak berbagai perubahan berarti dalam aktivitas kita sehari-hari. Namun selepas dua pekan setelah itu, semua mendadak berubah.
Berbagai kampus dan sekolah-sekolah menutup segala kegiatan di wilayahnya. Mahasiswa, dosen, guru, siswa, semua diliburkan dan diharusnya menjalani pembelajaran jarak jauh dari rumah.
Kemudian hal ini merambah ke area bisnis. Kantor-kantor mulai tutup dan juga memberlakukan work from home (WFH). Ada juga yang melakukan rolling bergantian demi mengurangi berkumpulnya orang di satu tempat. Pemerintah turut mengampanyekan social distancing yang kemudian berubah menjadi physical distancing.
Rumah merupakan salah satu lokasi utama kebudayaan berbasis teknologi elektronik. Dari sini kita dapat menjadi pelancong tanpa harus meninggalkan kursi malas kita di dalam rumah.
Kebudayaan yang berkembang secara elektronik ini melintasi batas ruang dan waktu, mendatangi kita melalui layar, video, radio, dan lain-lain. Rumah semakin lengkap dengan dunia gambar, suara, berita, dan berbagai pertukaran informasi terjadi di dalamnya (Barker, 1999).
Orang Indonesia yang senang bersosialisasi dan berkoordinasi kini banyak memindahkan kordinasinya melalui jalur WhatsApp (WA). WhatsApp Group (WAG), saat pertama kali muncul aplikasi ini memiliki vitur dan kapasitas daya tampung yang sangat-sangat terbatas. Lambat laun, aplikasi ini menjadi semakin populer. Bahkan, saat ini WA sudah menjadi semacam aplikasi yang wajib ada di setiap ponsel pintar penduduk Indonesia. Kapasitas dan daya tampungnya pun terus bertambah. Saat ini, satu WAG dapat menampung hingga sebanyak 250 orang. Kaum milenial memanfaatkan grup whatsapp sebagai tempat untuk memasarkan produk jualannya sambil bersosialisasi.
Dalam hiruk-pikuk pandemi ini, kaum milenial berfungsi juga sebagai penyangga ekonomi. Di tengah perubahan aktivitas sehari-hari, ada pola yang berubah. Ada yang semakin gencar menjajakan jualannya melalui WAG warga komplek perumahannya, ada pula milenial lain yang siap sedia dengan senang hati membelinya. Hal ini semacam simbiosis mutualisme yang saling menyenangkan bagi kedua belah pihak yang sama-sama membutuhkan, khususnya kebutuhan makanan sehari-hari.
Pola pemasaran di masa pandemi Covid-19 ini memang banyak dipengaruhi berbagai kewaspadaan orang terhadap virus yang sedang mewabah. Dengan anjuran untuk berdiam diri di rumah, tentunya segala kebutuhan yang memang harus di beli di luar rumah, harus ada solusinya. Apa-apa yang dijual dengan menyediakan jasa gratis pengiriman merupakan seperti solusi praktis terhadap kebutuhan orang-orang dalam situasi seperti ini.
Terdapat kekhawatiran jika semua orang berdiam diri di rumah lantas bagaimana jika kita ingin belanja keperluan sehari-hari, ibu-ibu komplek perumahan pun memiliki isu hangatnya sendiri, yaitu apakah tukang sayur masih berjualan?
Tak disangka, isu ini disambut baik oleh tukang sayur komplek yang memang masih anak millennial, dengan membagikan nomor whatsappnya dan senantiasa update status. Status yang paling sukses bikin heboh adalah ketika tukang sayur ini mengatakan bahwa ia menerima pesanan pada saat malam sebelumnya, dan juga menerima segala bentuk pembayaran non tunai seperti OVO, Paytren, transfer, Gopay, dan sebagainya. Tentunya para konsumen seperti mendapat kegembiraan bahwa tukang sayur pun peka situasi.
Tak hanya tukang sayur, hampir semua warga komplek perumahan yang menjajakan jualannya di WAG khusus warga, sudah otomatis berlaku delivery barang hingga ke rumah. Perbedaannya dengan saat sebelum masa pandemi dengan saat pandemi ini terjadi adalah pola physical distancing yang sangat dijaga. Barang yang diantar, ditaruh di depan rumah, tanpa menemui si pemilik rumah. Kemudian untuk pembayaran, sebisa mungkin melalui transfer antar bank.
Dalam situasi ini, para milenial ini sudah cukup melek rasionalitasnya sehingga tidak ada yang merasa sakit hati dengan pola pengantaran barang seperti demikian. Jika hal seperti itu dilakukan pada saat sebelum terjadinya wabah sudah pasti dianggap orang yang sombong dan anti sosial tidak mau bergaul dengan tetangga.
Dilihat dari marketnya yang banyak dicari antara lain berbagai jenis makanan sehari-hari, cemilan, hingga sesuatu yang sedang viral di sosial media, misalnya saat di sosial media sedang viral banyak orang memposting tentang Dalgona Coffee, maka ada saja yang tiba-tiba menjual kopi, dengan embel-embel untuk bikin kopi dalgona.
Bahkan kreatifitas kaum milenial dalam meraciknya pun merupakan keunikan tersendiri. Ada yang menggunakan saringan, ada yang rela mengaduk lama demi gengsi bahwa ia berhasil mengaduk tanpa menggunakan mixer, ada juga yang berfikir yang penting jadi dan cepat, ya menggunakan mixer.
Tentu saja dari kopi kekinian yang sedang viral ini saja yang meningkat bukan saja penjualan kopinya, namun juga berbagai macam variasi alat yang dapat digunakan untuk mengaduk kopi.
Dari sisi para konsumen yang turut menikmati berbagai kemudahan belanja di saat pandemi ini, kehati-hatian dan menjalankan protokol kesehatan yang ketat pada saat berbelanja langsung di dalam lingkungan tempat tinggal, maupun terhadap barang belanjaan yang dikirimkan dan diletakkan di depan rumah.
Meski tampaknya sepele dan beberapa menganggap berlebihan, memang kenyataannya sangat perlu untuk terlebih dahulu membersihkan diri, dan membersihkan barang-barang belanjaan, sejak tiba di rumah dan lebih baik hal ini dilakukan sebelum masuk rumah.
Begitu masuk pun disarankan untuk segera mandi dan mencuci pakaian yang dipakai dari luar. Selain itu juga barang-barang hasil belanja sebaiknya dibersihkan menggunakan desinfektan, dipindah ke wadah lain yang aman, sehingga diharapkan dapat menghambat laju penyebaran virus Covid-19.
Dilihat dari karakternya, milenial Indonesia merupakan tipe golongan yang sangat terbuka terhadap hal-hal baru dan mau belajar serta menyesuaikan diri dengan kebutuhan situasi dan kondisi yang terjadi. Karena itulah selalu saja ada peluang-peluang yang dilakoni oleh generasi ini, kendatipun dalam krisis wabah Covid-19 seperti sekarang ini.
Para milenial menyadari hanya punya dua pilihan di saat krisis, yaitu berinovasi, atau mati. Siapa-siapa yang tak mampu menyesuaikan diri dan berinovasi pastilah terlindas oleh zaman.
Dengan kreativitasnya yang tanpa batas, kaum millennial dapat senantiasa memainkan perannya dalam menjalankan roda perekonomian berbasis ekonomi kerakyatan, seperti oase di tengah krisis akibat wabah Covid-19. (*)