Berita Bekasi Nomor Satu

Inflasi Kota Bekasi Tertinggi di Jabar

ILUSTRASI: Pedagang menata telor di kios dagangannya di Pasar Baru Bekasi, beberapa waktu lalu. Inflasi tertinggi di Jawa Barat masih Kota Bekasi sebesar 2,5 persen, karena kenaikan harga sejumlah bahan pokok. FOTO: RAIZA SEPTIANTO
ILUSTRASI: Pedagang menata telor di kios dagangannya di Pasar Baru Bekasi, beberapa waktu lalu. Inflasi tertinggi di Jawa Barat masih Kota Bekasi sebesar 2,5 persen, karena kenaikan harga sejumlah bahan pokok. FOTO: RAIZA SEPTIANTO

RADARBEKASI.ID, BEKASI  – Tingkat inflasi bulan April diantara tujuh kota pantauan Indeks Harga Konsumen (IHK) di Provinsi Jawa Barat, tertinggi masih di Kota Bekasi, yakni sebesar 0,25 persen. Sementara terendah di Kota Cirebon dan Kota Depok sebesar 0,02 persen.

Inflasi terjadi lantaran kenaikan harga sejumlah kelompok pengeluaran. Dari sebelas kelompok pengeluaran, delapan kelompok diantaranya mengalami inflasi, dua kelompok mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi pada kelompok kesehatan sebesar 1,08 persen, perawatan pribadi dan jasa lainnya 0,95 persen, kelompok perumahan, air, listrik, dan bahan bakar 0,72 persen, makanan dan minuman 0,51 persen, pakaian dan alas kaki 0,25 persen, kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya 0,03 persen.

Sementara itu, deflasi terjadi pada kelompok perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga sebesar 0,56 persen, kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan 0,04 persen. Kelompok pendidikan tidak mengalami perubahan.

Namun, berdasarkan kelompok andil inflasi menurut kelompok komoditas, bawang merah memiliki andil inflasi tertinggi sebesar 0,1455 persen, terendah pada gula pasir sebesar 0,0164 persen. Sebelumnya, BPS pusat mengungkap terjadinya penurunan tingkat konsumsi rumah tangga sebesar 2,84 persen pada kuartal I tahun 2020, turun drastis dibandingkan kuartal I tahun 2019 sebesar 5,02 persen. Berdasarkan kelompok pengeluaran, sekitar 56 persen dikontribusikan oleh kelompok konsumsi rumah tangga.

Data dan fakta ini, menurut pengamat ekonomi STIE Mulia Pratama, Mediati Sa’adah akibat dari penurunan aktivitas ekonomi masyarakat. Sebagian besar masyarakat kehilangan pendapatan dari sektor transportasi, pariwisata, hotel dan restauran, pekerja salon, rental komputer dalam situasi ini.

“Karena tidak memperoleh pendapatan, maka konsumsinya pasti menurun, yang mengakibatkan produsi barang dan jasa tersebut juga menurun,” ungkapnya.

Meskipun demikian, melihat tingkat inflasi yang terjadi, disebut masih relatif terjaga diangka 0,08 persen, lantaran diimbangi deflasi yang terjadi pada sektor transportasi. Untuk menaikkan tingkat konsumsi masyarakat, pemerintah perlu menaikan belanja pemerintah.

Hal ini dapat dilakukan melalui pemberian subsidi, baik dalam bentuk bantuan kepada masyarakat, hingga insentif pajak. Melalui penghapusan pajak ini, maka penghasilan yang siap dibelanjakan otomatis akan naik dan meningkatkan konsumsi.

“Harga barang kebutuhan yang mengalami kenaikan tinggi adalah bawang merah dan gula, beras juga mengalami kenaikan tetapi tidak terlalu besar. pemerintah harus menjaga harga kebutuhan pokok tersebut, yang kalau tidak bisa dipenuhi dari dalam negeri harus diimpor,” terangnya.

Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disdagperin) Kota Bekasi, Kariman menyebut harga gula masih belum mampu menyentuh angka Harga Eceran Tertinggi (HET). Situasi saat ini harga salah satu komoditas pokok ini masih berada diats HET sejak beberapa waktu lalu.

“Hanya barang ada,cuma harga belum sampai kepada HET, Koordinasi jalan terus dengan Provinsi Jabar maupun Kemendag, juga Bulog,” katanya.

Dipastikan persediaan bahan pokok masih terjaga sampai Lebaran, dengan catatan distribusi tidak tersendat. Untuk menjaga ketersediaan bahan pokok, pihaknya berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi, Kementerian Perdagangan, dan Bulog. (Sur)