
Radarbekasi.id – “The revolution has always been in the hands of the young. The young always inherit the revolution (Huey P. newton (1942-1989). Revolusi selalu ada di tangan pemuda, pemuda selalu mewarisi revolusi. Dari adagium di atas ada pesan tersirat bahwa pemuda adalah fondasi bangsa. Mereka adalah penerus estafeta yang akan mengemban amanah demi tegaknya negara yang bermartabat di mata dunia.
Yang menjadi permasalahan kolektif adalah generasi muda kita mengalami dekadensi intelektual dan moral. Dalam konteks intelektual, kualitas pemuda kita cenderung stagnan, tidak ada perkembangan. Jika kita merujuk pada hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang telah terbit pada 3 Desember 2019 lalu kualitas pendidikan Indonesia mengalami kemerosotan.
Hasil PISA 2018 yang dirilis oleh OECD (Organization for Economic Co-Operation and Developement) menunjukkan kualiatas murid Indonesia yang meliputi kemampuan membaca, matematika, dan sains memperoleh nilai di bawah rata-rata nilai OECD.
Dalam kemampuan membaca, Indonesia berada di urutan 74 dari 79 negara dengan skor 371 dari skor rata-rata OECD 487. Matematika berada di posisi 73 dengan skor 379 dari skor rata-rata OECD 489. Sementara sains menempati posisi 70 dengan skor 396 dari skor rata-rata OECD 489. (kumparan, 5/12/2019)
Lain intelektual, lain pula moral. Karakter generasi muda kita saat ini semakin memprihatinkan. Fenomena kenalan remaja (juvenile delinquency) kian hari semakin marak.
Terlibat tawuran, pemakaian obat terlarang dan minuman keras, seks bebas, bolos sekolah, perundungan (bullying), hingga melawan guru. Meningkatnya kenakalan tersebut dapat kita saksikan dengan mudah melalui surat kabar, media online, dan televisi.
Berdasarkan data KPAI pada tahun 2019 lalu selang 4 bulan dari bulan Januari hingga April telah tercatat ada 8 kasus anak korban kebijakan, 3 kasus korban pengeroyokan, 8 kasus kekerasan fisik, 3 kasus kekerasan seksual, 12 kasus kekerasan psikis dan perundungan, dan 4 kasus anak mem-bully guru. (KPAI, 4/5/2019)
Salah Kaprah UN dan Apatisme Moral
Mengapa kita tidak dapat bersaing dengan negara-negara lain di dunia dalam hal intelektual? karena sistem kita masih menghamba pada nilai kognitif semata. Pembelajaran di ruang-ruang kelas masih menggunakan metode konvesional yang lebih mengedepankan ceramah.
Bahkan, tolok ukur keberhasilan pendidikan kita selama ini adalah ujian nasional (UN) yang hanya menitikberatkan kelulusan pada beberapa mata pelajaran. Dan UN yang dinilai hanya lebih mengedepankan hafalan dinilai bertolak belakang dengan prinsip pendidikan.
Begitupun dalam ranah moral. Selama ini pendidikan moral hanya bergaung dalam ruang lingkup internal, pelajaran agama dan PPKN. Dalam skala yang lebih luas penanaman pendidikan karakter hanya lantang dalam dunia verbal, tidak ada program khusus yang menjadikan karakter sebagai salah satu acuan kelulusan. Maksudnya, intervensi pemerintah dalam menyemai pendidikan karakter generasi muda masih belum terlalu tampak ke permukaan.
Tertinggal
Jika pendidikan kita masih terlena dengan metode lama, maka generasi muda kita tidak akan mampu menghadapi tantangan kehidupan yang semakin kompleks. Mereka tidak dapat memecahkan permasalahan secara mandiri. Mereka tetap akan menjadi manusia yang tidak kreatif dan solutif, serta minim ide.
Dan itu merupakan produk dari pendidikan yang masih berkiblat pada hafalan. Padahal tantangan kehidupan ke depan semakin rumit. Akhirnya, kita tidak dapat mengejar ketinggalan-ketinggalan dari negara-negara lain. Semakin jauh di belakang.
Ketika tolok ukur kelulusan hanya pada ranah kognitif, otomatis pendidikan karakter terabaikan. Pemuda kita akan mudah terjerumus pada tindak laku amoral. Coba kita lihat, tak jarang kita saksikan seorang pelajar meninggal karena tawuran.
Anak remaja terlibat kasus seks bebas dan pornografi. Psikologis siswa terampas karena maraknya perundungan. Sikap melawan dan menentang guru sering kita lihat di media sosial. Miris, karakter pemuda semaki hari semakin beringas dan tak terkendali.
AKM dan SK
Pertanyaannya, bagaimana cara untuk merekonstruksi dekadensi intelektual dan moral ini?. Oleh karena itu, diperlukan terobosan baru dalam membenahi sistem pendidikan kita agar bisa mencetak generasi-generasi unggul yang siap membawa bangsa ini menuju peradaban yang lebih baik. Kebijakan “Merdeka Belajar” yang didengungkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, bisa menjadi langkah solutif di tengah tantangan dunia pendidikan yang makin massif.
Salah satu komponen Merdeka Belajar yang diharapkan dapat mencetak generasi-generasi handal adalah Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter (AKM dan SK). Meskipun kebijakan pengganti ujian nasional (UN) ini memantik pro dan kontra, tetapi ini menjadi angin segar untuk mendongkrak sistem lama yang dirasa kurang relevan dengan tuntutan zaman.
Mengapa AKM dan SK bisa menjadi cambuk sakti untuk melahirkan generasi milenial yang cemerlang?. Jawabannya sederhana, karena metode ini sangat akuntabel dengan laju perkembangan zaman. Sistem penilaian ini menitikberatkan pada numerasi dan literasi.
Numerasi di sini adalah kemampuan bernalar menggunakan matematika (angka dan simbol). Sedangkan literasi adalah kemampuan menalar dengan bahasa. Numerasi dan literasi bukan berdasarkan pelajaran akan tetapi didasarkan pada kompetensi dasar yang dibutuhkan peserta didik.
Lebih jelasnya, contoh soal numerasi AKM sebagai berikut. Terdapat dua toko baju, toko A dan toko B. Masing-masing toko menawarkan promosi, toko A promosinya “semua bayar setengah harga” sedangka toko B promosinya “beli 1 gratis 1”. Anton hanya memiliki uang Rp 100.000,-.
Ia ingin membeli celana di toko A seharga Rp 200,000,-. Ternyata celananya sudah tidak tersedia. Teman Anton memberi tahu bahwa celana yang sama ada di toko B dengan harga yang sama. Apakah Anton dapat membeli celana yang diinginkannya di toko B? jelaskan alasanmu!.
Berdasarkan soal di atas bentuk soal AKM bersifat lebih kontekstual dengan kehidupan sehari-hari. Jadi, siswa dibimbing untuk “menalar” bukan “menghafal”. Dan implementasi dari kebijakan ini bukan di akhir jenjang melainkan di tengah jejang pendidikan. Hal ini bertujuan untuk mengadakan perbaikan bagi peserta didik sampai mereka mencapai target minimum yang ditentukan.
Ternyata kebijakan Merdeka Belajar tidak hanya fokus pada aspek intelektual, akan tetapi juga pendidikan moral, yaitu melalui survei karakter (SK). Survei karakter nantinya akan dipersiapkan sejumlah pertanyaan yang lebih personal dan sulit diakali oleh oknum.
Pertanyaan pun lebih menyangkut pada jiwa nasionalisme dan budi pekerti. Tujuannya untuk mengetahui kondisi keamanan masing-masing lembaga pendidikan dan akhlak peserta didik. Jika demikian lembaga pendidikan akan lebih berkonsentrasi pada karakter para muridnya agar lebih mengutamakan akhlak sehingga dapat meminimalisir tindakan-tindakan negatif yang acapkali dilakukan.
Semoga dengan sistem AKM dan SK ini dapat mengubah nasib pendidikan kita. Mencetak manusia-manusia unggul, baik dalam aspek intelektual maupun moral demi kemajuan bangsa Indonesia yang bahagia.
Namun, Gebrakan baru kerapkali memicu suara-suara kontradiktif. Tapi, perubahan memang harus disertai dengan perjuangan. Meminjam istilah Gus Dur “Kalau ingin melakukan perubahan jangan tunduk terhadap kenyaataan, asalkan kau yakin berada di jalan yang benar maka lanjutkan.” (*)
Guru SMPIT Annur Cikarang Timur, Bekasi. Anggota Komunitas Pendidik










