RADARBEKASI.ID, JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) saat ini sedang melakukan sosialisasi terkait Rancangan Undang Undang (RUU) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam draft RUU KUHP itu yang ditelisik JawaPos.com (Grup Radar Bekasi) pada Senin (7/6), penghinaan terhadap martabat presiden dan wakil presiden dapat diancam 3,5 tahun penjara. Apabila menggunaan media sosial, diancam 4,5 tahun penjara.
Hal ini sebagaimana tertuang dalam Bab II Tindak Pidana Terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Hal ini diatur dalam Pasal 218 ayat 1 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
“Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun 6 bulan,” sebagaimana tertuang dalam Pasal 218 ayat 1.
“Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri,” tulis bunyi ayat 2.
Sementara itu, aturan hukum penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden juga diatur dalam Draf RUU KUHP Pasal 219. “Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan,” tulis bunyi Pasal 219.
Dalam Pasal 220 diatur, penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden ini dapat diproses jika adanya aduan ke aparat penegak hukum. Bahkan presiden maupun wakil presiden bisa mengadukan secara tertulis hal dimaksud.
“Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan,” bunyi Pasal 220 ayat (1).
“Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden,” bunyi ayat (2) menandaskan.
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiriaej mengatakan pasal menghina martabat presiden dan wakil presiden berbeda dengan dengan putusan yang telah ditetapkan Mahkamah Konstitusi.
Adapun pada 2006 silam, MK telah menghapus pasal penghinaan terhadap kepala negara tersebut. Sehingga menurut Eddy ini adalah pasal yang berbeda.
“Pasal penghinaan itu adalah pasal penghinaan terhadap kepala negara. Itu berbeda dengan yang sudah dicabut oleh MK,” ujar Eddy di Gedung DPR, Senin (7/6).
Eddy menuturkan salah satu perbedaan pasal tersebut adalah adanya delik. Di pasal yang telah dihapus oleh MK adalah delik biasa. Sementara yang ada di draf RUU KUHP adalah delik aduan.
“Pasal penghinaan yang dicabut MK itu merupakan delik biasa, sementara dalam RUU KUHP merupakan delik aduan,” katanya.
Dengan pasal delik aduan tersebut, maka aparat penegak hukum tidak akan bisa bertindak tanpa adanya aduan dari kepala negara tersebut.
“Kalau delik aduan itu yang harus melapor sendiri adalah Presiden atau Wakil Presiden,” ungkapnya. (oke/jpc)