PINTAR bisa kalah oleh hoki. Sekarang ini. Ambisi juga kalah oleh takdir. Tapi, ini bukan hanya nasib Sumatera. Ini nasib kita semua –sedunia.
Misalkan tidak ada takdir Covid-19. Sumatera itu hebat sekali. Jalan tol dibangun begitu masifnya. Transmisi listrik juga dibangun besar-besaran. Di seluruh Sumatera.
Di sisi barat sudah selesai dibangun transmisi 275 kv. Dari Lampung sampai Pangkalan Susu. Lewat Palembang, Padang, Medan, sampai pangkalan di dada itu. Dari Pangkalan Susu sudah tersambung dengan transmisi 150 kv sampai Banda Aceh.
Pun masih dibangun lagi transmisi 500 kv di jalur timur. Beriringan dengan jalur jalan tol trans-Sumatera.
Idenya begitu pintar. Jangan angkut batu bara. Mahal, kotor, dan merusak jalan. Angkutlah listriknya. Maka, pembangkit listrik skala besar cukup dibangun di Sumatera Selatan. Di situlah gudang batu bara dunia. Listriknyalah yang dikirim ke seluruh Sumatera.
Anggap saja jalan tol dan transmisi tersebut selesai tuntas dalam 4 tahun ke depan. Berarti sekaranglah saatnya direncanakan: akan diapakan infrastruktur dasar yang begitu mahal itu. Agar pertumbuhan ekonomi bisa meroket sebanding dengan mahalnya infrastruktur tersebut. Ekonomi Sumatera harus tumbuh tinggi –untuk Indonesia.
Jarak Palembang–Lampung yang kini tinggal 4,5 jam –lewat tol baru– begitu menjanjikan. Lampung punya pelabuhan alam yang terbaik di seluruh Sumatera. Lautnya sangat dalam. Ombaknya cukup tenang.
Kalau saja tol Sumatera itu dibangun 10 tahun lalu, rasanya tidak perlu lagi memaksakan pembangunan Pelabuhan Tanjung Api-Api di pantai timur Sumsel.
Sementara ini tol tersebut memang masih sepi. Memang mulai banyak orang Palembang yang kini jalan-jalan ke Lampung. Tapi, masih sebatas wisata.
Orang Palembang itu memang kasihan: tidak pernah melihat laut. Maka, kini mereka bisa wisata tol ke Lampung. Untuk ke Pantai Klara dan Pantai Sari Ringgang. Atau ke Pulau Wisata Tegal Mas dan Pulau Pahawang. Banyak di antara mereka yang berangkat pukul 5 pagi dari Palembang, pukul 10 malam sudah tiba kembali di Palembang.
Dengan tol itu, Jambi yang potensinya juga begitu besar bisa menjadi provinsi terbuka. Bisa ke Dumai atau Lampung dengan sama lancarnya.
Orang Jambi juga tidak perlu lagi risau dengan pepatah ini: Jambi punya duku, Palembang punya nama. Orang Jambi suka sewot: duku yang dijual di Jakarta itu sebenarnya banyak dari Jambi. Tidak seperti namanya.
Di tengah pembangunan tol trans-Sumatera itu, kelihatannya banyak godaan. Ketika proyek tersebut benar-benar dimulai, muncullah tuntutan baru.
Daftarnya panjang:
Perlu juga dibangun tol dari Palembang ke arah Lubuk Linggau. Lewat Prabumulih dan Lahat.
Ada juga keinginan tol baru dari Pekanbaru ke Padang. Lalu, dari Tebing Tinggi ke Sibolga. Lewat Parapat dan Danau Toba.
Semua tuntutan baru itu disetujui. Mulai juga dibangun. Padahal, ekonomi lagi sulit. Fokus trans-Sumatera jadi terbelah.
Kalau saya disuruh memutuskan, rasanya juga bingung. Mendahulukan tambahan-tambahan tadi atau meneruskan dulu jalur utama Lampung sampai Aceh.
Harus saya akui tambahan-tambahan tadi, secara ekonomi, memang lebih baik. Padang–Pekanbaru, misalnya, pasti lebih gemuk daripada Jambi–Pekanbaru. Demikian juga Palembang–Lubuk Linggau akan lebih ramai daripada Pekanbaru ke Rengat.
Pun Tebing Tinggi–Parapat akan lebih hidup. Lewat Siantar dan Toba. Sekarang ini untuk ke Danau Toba seperti penderita Covid yang saturasinya tinggal 75. Megap-megap kena jepitan konvoi truk.
Jalur Padang–Pekanbaru itu sekaligus akan menambah keekonomian jalan tol yang sudah jadi. Yang masih sepi itu: Pekanbaru–Dumai.
Demikian juga Lubuk Linggau–Palembang. Akan menambah traffic jalur yang masih sepi di Palembang–Lampung.
Secara ekonomi jalur-jalur godaan itu bisa menambah keekonomian tol yang masih sunyi.
Saya sudah menjelajah semua jalur yang saya sebut di atas. Waktu itu. Dengan penuh dendam: kapan potensi Sumatera itu bisa benar-benar jadi sumber baru pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Begitu besar proyek tersebut. Begitu tinggi ambisi itu. Untuk menyelesaikan semua itu, kelihatannya memang tidak cukup dua periode kepresidenan. Dengan atau tanpa Covid-19.
Meski begitu, Presiden Jokowi akan tetap dikenang sebagai Bapak Tol Sumatera –satu wilayah yang menangnya di pemilu hanya tipis di situ.
Tentu nama Hutama Karya (HK) juga akan abadi di situ. HK-lah yang ditunjuk untuk membangun semua itu.
Kenapa HK?
Tinggal HK-lah BUMN infrastruktur yang masih 100 persen dimiliki negara. Selebihnya sudah berstatus perusahaan publik. Itu mirip dengan mengapa Inalum yang ditunjuk untuk menjadi leader pengambilalihan Freeport.
Dulu BUMN infrastruktur yang paling duafa adalah Waskita Karya. Nyaris bangkrut. Lalu, berhasil diselamatkan tanpa uang negara.
Setelah itu, menjadi BUMN raksasa –dan kini Si Raksasa lagi sempoyongan. Asetnya sih sangat besar. Tapi, utangnya tidak kalah besar.
Di masa Waskita berjaya itu, HK masih tergolong duafa –meski tidak dalam posisi bahaya. Kini HK menjadi raksasa baru dengan proyek begitu masifnya.
Besar belum tentu enak. Dirut Hutama Karya –Ir Budi Harto– harus berpikir keras: fokus menyelesaikan jalur utama Lampung–Aceh atau menyelesaikan godaan-godaan itu lebih dulu.
Rasanya tidak mungkin dua-duanya. Saturasi Budi Harto kini tinggal 85. Kalau harus menyelesaikan dua-duanya, orang Sragen yang alumnus teknik sipil UNS Solo itu perlu tambahan tabung oksigen di sebelahnya. (Dahlan Iskan)