Masjid Langgar Tinggi terletak di Jalan Pekojan Raya No. 43, Jakarta Barat. Masjid ini memiliki beberapa pengaruh dari budaya lain yaitu Tionghoa, Arab, Portugis dan Jawa.
Dahulu saudagar datang dari Yaman datang ke Indonesia melakukan kegiatan berdagang juga mengajarkan agama Islam.
Sebelum datang ke Indonesia, saudagar tersebut datang ke India, hingga akhirnya sampai ke Indonesia.
Adapun hasil dari kegiatan berdagangnya adalah untuk membuat bangunan-bangunan seperti masjid, surau yang berguna untuk menyampaikan ajaran Islam.
Sesampainya saudagar tersebut di Pelabuhan Sunda Kelapa, mereka singgah dan menetap di daerah Pekojan, Jakarta Barat.
Pada tahun 1829 Masehi, Pekojan merupakan tempat yang begitu strategis karena berdekatan dengan Kali Angke yaitu tempat berlalu lintas perdagangan.
Lama kelamaan mereka membangun surau untuk persinggahan, sebagai tempat tinggal, untuk melaksanakan salat, sekaligus penyebar agama Islam.
Surau tersebut dinamakan Masjid Langgar Tinggi karena berada di atas, tepatnya di lantai dua dengan luas bangunan 8 x 24 m.
Lantai bawah atau dasar Masjid Langgar Tinggi digunakan sebagai penginapan kolega-kolega pedagang mereka.
Kolega-kolega mereka ada yang dari keturunan Arab, India dan juga Tionghoa.
Sedangkan fungsi masjid yang di lantai dua digunakan sebagai tempat untuk salat sekaligus mengajarkan ilmu agama Islam, seperti bahasa Arab dan belajar Al-Quran.
Kolega-kolega pedagang mereka bahu membahu membangun Masjid Langgar Tinggi begitu juga penduduk sekitar masjid. “Hingga terbentuk sebuah masjid yang unik dengan ciri khas yaitu masjid yang dipengaruhi budaya asing,” papar Habib Ahmad Assegaf, penerus masjid (17/02).
Masjid Langgar Tinggi memiliki pengaruh Jawa dan pengaruh dari budaya lain diantaranya budaya Tionghoa, Arab dan Portugis.
1. Pengaruh Budaya Tionghoa
Pada Masjid Langgar Tinggi ada bagian yang dipengaruhi oleh budaya Tionghoa, yaitu terdapat pada pintu dan jendela masjid.
Salah satu ciri arsitektur orang Tionghoa yang ada di Asia Tenggara, yaitu penggunaan warna merah dan kuning keemasan.
Pada pintu masjid yang berada di lantai dua, terdapat list berwarna kuning keemasan.
Merah melambangkan kebahagiaan dan kuning keemasan melambangkan keberuntungan sekaligus warna kekaisaran Tiongkok.
Pada jendela masjid, sama halnya dengan jendela yang dipakai orang Tionghoa pada zaman dahulu, yaitu jendela yang banyak dan berjejer.
2. Pengaruh Budaya Arab
“Pengaruh Arab pada Masjid Langgar Tinggi terdapat pada pintu masuk masjid yang berbentuk lengkungan,” papar Habib Ahmad Assegaf (17/02).
Banyak yang menganggap bangsa Arab itu sebagai bangsa muslim. Memang mayoritas bangsa Arab adalah bangsa muslim, tetapi faktanya perlu diketahui banyak sekali yang bukan muslim atau non muslim.
Gaya arsitektur Islam dalam kebudayaan Arab yang mencolok, baru berkembang setelah arsitektur Khalifah Ummayah (661-750) asal Suriah yang memadukan gaya arsitektur Persia dengan Byzantium (Romawi Kuno) yang mengkombinasikan gaya Barat dan gaya Timur sehingga mengubah bentuk baru arsitektur masjid.
Yunani dan Romawi berperang mengakibatkan kota Korinthos hancur. Setelah perang usai, Yunani kalah sehingga menjadi daerah kekuasaan Julius Caesar, penguasa Romawi Kuno. Kemudian Julius Caesar Penguasa Romawi membangun kembali Korinthos.
Kekaisaran Romawi Kuno sebelum maupun setelah terpecah menjadi Romawi Barat (Italia) dan Romawi Timur (Byzantium atau Konstantinopel atau Istanbul, Turki) melakukan ekspansi atau perluasan ke Timur Tengah, seperti Persia maupun Parthia melalui perang.
Hal tersebut memberi dampak adanya beberapa pengaruh Romawi terbawa ke Timur Tengah termasuk dalam arsitektur masjid.
Salah satunya menyebabkan timbulnya gaya baru dalam penampilan masjid, yaitu pengembangan lengkungan pada pintu-pintu masuk masjid untuk memperoleh kesan ruang yang lebih luas dan tinggi untuk bagian pintu.
Lengkungan adalah struktur melengkung vertikal menjangkau ruang yang ditinggikan.
Selain dibuat pada pintu masuk masjid, lengkungan juga dibuat pada mihrab.
Mihrab adalah sebuah lubang atau ceruk menjorok ke dalam berbentuk lengkungan, sebagai ruang tambahan yang menghadap ke kiblat atau tempat salat untuk imam.
Mihrab menurut sebagian pendapat ulama diartikan sebagai tempat untuk memerangi setan dan hawa nafsu. Mihrab kini menjadi standar dari desain sebuah masjid di seluruh dunia.
3. Pengaruh Budaya Portugis (Eropa)
Pengaruh Portugis atau Eropa yang terdapat pada Masjid Langgar Tinggi adalah berupa pilar-pilar masjid, papar Habib Ahmad Assegaf (17/02).
Salah satu gaya arsitektur kolonial Eropa yang cukup tua, sejak 1750 yang diterapkan di Indonesia dinamakan Indische Empire Style atau arsitektur Indis yang dalam pembuatannya disesuaikan dengan iklim, teknologi dan bahan bangunan setempat.
Pada mulanya, arsitektur Indis muncul di daerah pinggiran kota Batavia atau Jakarta sekitar pertengahan abad ke-17.
Kemudian, berkembang dimana banyak terdapat penduduk Eropa akibat dari suatu kebudayaan yang disebut kebudayaan Indis yang berkembang di Hindia Belanda sampai akhir abad ke-19.
Arsitektur Indis disebut sebagai heerenhuizen dan landhuizen atau rumah besar dan mewah (yang memiliki pilar-pilar).
Arsitektur Indis merupakan rintisan dari Gubernur Jendral William Daendles yang menciptakan Gaya Empire atau angkuh dan berkuasa.
Namun arsitektur Indis memiliki kelemahan seperti penyesuaian bangunan dengan iklim di Indonesia yang berbeda dengan iklim Eropa.
Hal itu, dirasakan saat musim panas, jendela besar membuat sinar matahari masuk kedalam bangunan sehingga terjadi panas.
Pilar pada bangunan Eropa merupakan cermin dari tubuh manusia menurut pemikir Yunani Kuno yang bernama Vetruvias. Tubuh manusia yang ideal adalah jika lebar badan manusia sama dengan 1/6 dari tinggi badannya.
Pada Masjid Langgar Tinggi, jenis pilar yang digunakan adalah pilar Doric. Pilar Doric merupakan pilar dengan bentuk segi empat di atas dan di bawahnya dan berbentuk tabung polos pada bagian tengah tanpa adanya motif.
Semua pilar-pilar yang ada pada Masjid Langgar Tinggi adalah sama, berwarna putih polos dan terdiri dari 8 buah pilar yang berfungsi sebagai penyangga yang memberi keseimbangan pada bangunan dari beban di atasnya seperti atap bangunan.
Oleh sebab itu, pilar merupakan bagian yang terpenting sekaligus estetik dari sebuah bangunan.
4. Pengaruh Budaya Jawa
Pengaruh Jawa pada Masjid Langgar Tinggi terdapat pada atap masjid, yang bisa dilihat menggunakan drone.
Gaya arsitektur di Jawa pada akhir abad ke-18, sudah menjurus ke arah model-model rumah bangsawan Jawa dengan atap Joglo yang lebih terbuka dan nyaman untuk hunian di daerah tropis lembab seperti di Jawa menrut Handinoto.
Arsitektur rumah Jawa Kuno mendapat pengaruh kepercayaan animisme, Hindu dan Buddha.
Hal tersebut, terlihat pada sebutan Joglo yang mengacu pada bentuk atapnya, diambil dari stilasi bentuk gunung.
Sesuatu yang tinggi disakralkan ke dalam berbagai simbol yang berkaitan dengan hal-hal yang berbau mistis karena adanya keyakinan bahwa gunung atau tempat yang tinggi adalah tempat yang dianggap suci dan tempat tinggal para dewa.
Bila melewati sebuah pintu Rumah Joglo dapat menolak maksud-maksud jahat dari luar.
Istilah Joglo berasal dari kerangka bangunan utama rumah adat atas soko guru berupa empat tiang utama dan pengeret tumpang sanga (tumpang sembilan) atau tumpang telu (tumpang tiga) diatasnya.
Melambangkan bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa menjalani hidup seorang diri, melainkan harus membantu satu sama lain.
Atap Masjid Langgar Tinggi berjenis limasan pokok yaitu Joglo Wantah Apitan.
Atap Joglo menggunakan kayu sebagai konstruksinya. Bangunan Joglo membutuhkan lahan yang luas karena beberapa bagian digunakan untuk menerima tamu atau memuat banyak orang.
Joglo Wantah Apitan terlihat langsing dibandingkan dengan Joglo yang lain.
Pengaruh budaya Tionghoa, budaya Arab, budaya Portugis atau Eropa dan budaya Jawa adalah ciri khas dari Masjid Langgar Tinggi yang sudah menjadi bangunan cagar budaya sejak 1992 yang masih berdiri kokoh hingga saat ini.
Oleh karena itu, sebagai masyarakat harus memelihara juga melestarikan Masjid Langgar Tinggi.
Selain Habib Ahmad Assegaf, selaku penerus Masjid Langgar Tinggi (17/02) ini juga diperkuat oleh Bapak Ajis tokoh masyarakat Pekojan (12/08). (*)