RADARBEKASI.ID, BEKASI – “Anda setuju pembelajaran tatap muka (PTM) dibuka di masa pandemi seperti ini?,” tanya saya kepada salah satu wali murid di SMP Negeri di Kota Bekasi.
“Saya setuju PTM,” jawab orangtua siswa yang anaknya itu sekolah di SMP Negeri yang termasuk favorit di Kota Bekasi.
“Kami sebagai orangtua bisa maksimal mencari nafkah. Dan anak pun fokus belajarnya dengan guru,” alasan dia soal perlunya PTM segera dibuka.
“Anda tidak takut dengan virus Covid-19 merebak di sekolah, jadi cluster sekolah bila PTM dilakukan saat ini,” tanya saya lagi.
“Ya, khawatir juga sih. Saya sih mengusulkan, selain prokes ketat di lingkungan sekolah diterapkan, para siswa harus dipastikan sudah dilakukan vaksinasi. Apapun merek vaksinnya,” beber orangtua siswa yang berdomisili di Bekasi Timur ini.
Dialog di atas, itu “survey” kecil-kecilan yang saya lakukan awal pekan kemarin, jelang diperbolehkannya PTM di Kota Bekasi.
Ya, Kota Bekasi yang sudah berada di level 3, memang sudah diperbolehkan melakukan PTM. Bahkan, sudah terjadwal satuan pendidikan yang dapat menggelar PTM, dengan ketentuan terbatas dan bersyarat.
Per 1 September kemarin, tingkat SMP sudah mulai PTM. Untuk tingkat SD/MI, PTM dibuka pada 6 September mendatang. Sedangkan tingkat TK/PAUD, PTM dimulai 20 September.
Saya sendiri cenderung setuju PTM diizinkan untuk digelar. Namun, tetap harus dengan kewaspadaan ekstra tinggi. Jangan lengah. Supaya tidak terjadi gelombang tiga Covid-19 karena cluster sekolah.
Sekolah wajib memastikan para siswanya sudah dilakukan vaksinasi. Agar tercipta herd immunity (kekebalan kawasan). Prokes ketat dan pemberlakuan shift peserta didik, karena kapasitas ruang kelas hanya digunakan 50 persen dari kapasitas maksimal rombel.
Jauh lebih penting daripada semua aturan ketat selama pandemi, PTM ini akan menghindarkan learning loss (kemunduran akademis) dan lost generation (kehilangan generasi).
Potensi learning loss pada generasi muda di era pandemi saat ini, sangat nyata dan mengkhawatirkan. Proses pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang memanfaatkan teknologi digital tidak sepenuhnya menggantikan peran guru di sekolah.
Transfer pengetahuan atau pendidikan dari guru ke siswa via daring, belum banyak engaging (melibatkan) siswa. Yang ada, justru para orangtua yang “terlibat” dalam mengerjakan tugas-tugas sekolah anak.
Orangtua justru memikul beban baru dalam pembelajaran daring (online). Menyediakan kuota, jaringan internet, fasilitas gadget/laptop dan sebagainya. Sebaliknya, para peserta didik justru asyik berselancar di dunia maya dan game online.
Bila PJJ diterus-teruskan, bukan tidak mungkin, kita akan kehilangan generasi. (*)