SUASANANYA sudah mirip kabel listrik yang mengelupas di sana-sini. Kapan saja bisa korsleting. Pun seandainya tidak ada orang yang sengaja mengorsletingkannya.
Itulah Taiwan hari-hari ini.
Banyak pesawat tempur berada di udara Taiwan. Tanggal 10 Oktober barusan. Yang 25 milik Tiongkok. Selebihnya milik Taiwan sendiri.
Pilot di salah satu pesawat Taiwan mencoba mengontak pilot pesawat tempur Tiongkok. Untuk diperingatkan. Yang dikontak cuek-bebek. Memang tidak terjadi dialog. Tapi juga tidak sampai terjadi adu mulut. Aman.
“Ini provokasi paling serius selama 40 tahun terakhir,” ujar para pengamat militer di Barat–sebagaimana banyak disiarkan media.
Hari itu memang hari bersejarah bagi Tiongkok. Tanggal 10 Oktober. Itu adalah hari revolusi kemerdekaan. Tanggal itulah kali pertama perjuangan bersenjata dimulai. Untuk melawan sistem kekaisaran yang sudah berumur hampir 3.000 tahun.
Itu terjadi di distrik Wuchang –sekarang menjadi salah satu kecamatan di kota Wuhan, Tiongkok bagian tengah. Posisinya di seberang bengawan Chang Jiang di Wuhan. Kalau di Kaltim: ibarat Samarinda Seberang. Kalau di Palembang: ibarat Pasar 10 Ulu. Kalau di Pontianak: ibarat Paris 2.
Benih-benih pemberontakan sebenarnya sudah lebih lama dari 10 Oktober 1911 itu. Sudah banyak organisasi bawah tanah yang anti-kekaisaran.
Sun Yat-sen membentuknya di Jepang. Ada juga yang membentuk kelompok pemberontak di Hong Kong. Pun di Singapura. Lebih banyak lagi di berbagai kota di Tiongkok daratan sendiri.
Sun Yat-sen berhasil menyatukan kelompok-kelompok itu. Yakni saat ia menjadi tokoh mahasiswa kedokteran di Hong Kong.
Gerakan itu berhasil. Hanya dalam waktu 4 bulan lebih. Kaisar tumbang. Gelar pemberontak berubah menjadi pejuang.
Kaisar terakhir –Anda sudah tahu nama itu– digambarkan dalam film memang sangat lemah. Tiongkok pun menjadi republik. Sun Yat-sen menjadi presiden pertama.
Di Tiongkok, di semua kota, pasti ada nama jalan Zh?ngsh?n (???). Selalu di pusat kota. Itulah nama Mandarin Sun Yat-sen yang aslinya Kanton (Guangdong).
Hari kemerdekaan Tiongkok sendiri terjadi tanggal 1 Oktober. Berarti hampir setahun setelah revolusi Wuchang itu.
Mengapa 25 pesawat tempur Tiongkok itu masuk Taiwan tanggal 10 Oktober? Bukan 1 Oktober?
Tentu ada sinyal yang ingin dikirimkan: revolusi belum selesai. Revolusi Wuchang masih menyisakan satu pekerjaan rumah: Taiwan. Atau dua pekerjaan rumah: + Laut China Selatan.
Di Tiongkok ada tiga revolusi besar yang Anda sudah tahu: revolusi kemerdekaan (1911), revolusi komunis (1949), dan revolusi kebudayaan (1965). Sebenarnya ada lagi perubahan besar. Di tahun 1975. Ketika Deng Xiaoping mengubah jalan komunisme. Rupanya itu tidak digolongkan sebagai revolusi. Mungkin –becanda– sulit mencari nama: atau takut ada yang memberi nama ”revolusi kucing hitam dan kucing putih”.
Padahal kejadian 1975 itulah yang berhasil membawa kemakmuran Tiongkok sekarang ini.
Revolusi yang paling gagal: Revolusi Kebudayaan. Ketika semua intelektual dibungkam. Orang kaya dimiskinkan. Yang punya pendapat berbeda diberangus.
Tiongkok pun dilanda kelaparan sangat dahsyat.
Tapi itulah juga keberhasilan Revolusi Kebudayaan. Rakyat berada di titik nol. Tiongkok berada di tipping point.
Mengubah keadaan kadang memang sulit –biar pun sudah diketahui keadaan sedang memburuk. Sering sekali perbaikan baru bisa dimulai sampai buruk sekali: harus menunggu memburuknya sampai di tipping point.
Tiongkok menemukan tiga kali tipping point.
Pertama di akhir era kekaisaran. Berubahnya lewat revolusi kemerdekaan.
Setelah merdeka, pemerintahan Tiongkok dipegang partai nasionalis: Kuomintang. Tujuan kemerdekaan tidak kunjung tercapai. Pun sampai 35 tahun kemudian, cita-cita kemerdekaan tidak terwujud. Tiongkok tetap saja miskin. Kaisar-kaisar kecil masih terus berkuasa: di banyak sektor dan di banyak daerah.
Sampai mencapai tipping point lagi.
Mao Zedong pun –yang seumur hidupnya tidak pernah melakukan sikat gigi– memimpin pemberontakan. Dengan bendera komunis. Berbulan-bulan. Berdarah-darah. Ayah Xi Jinping bergabung ke pemberontakan itu.
Pemerintahan Kuomintang lari dari Beijing. Ke Shanghai. Kalah di Shanghai. Lari ke Chongqing –di hulu sungai Chang Jiang. Kalah lagi. Lari ke lebih pedalaman lagi: Chengdu di Sichuan. Kalah lagi. Lari ke Taiwan: di situlah pemerintahan nasionalis diteruskan.
Mao tidak mampu lagi mengejarnya. Terpisah laut yang luas. Atau tidak mau mengejarnya –berdasar perhitungan untung rugi.
Tapi pengejaran pura-pura terus dilakukan. Setidaknya secara simbolis –kalau istilah sekarang: secara virtual.
Hampir tiap hari, Tiongkok-komunis terus saja menembakkan meriam ke Taiwan. Dari sebuah pulau kecil di dekat Xiamen, Fujian.
Mereka tahu pelurunya tidak akan sampai tapi arah penembakannya harus ke pulau Taiwan. Lucu sekali. Mereka tahu peluru itu selalu jatuh di laut –tidak jauh dari lokasi penembakan. Terlalu jauh dari sasaran. Tetap saja harus ditembakkan. Setiap hari.
Dengan begitu Tiongkok bisa klaim: revolusi belum selesai. Serbuan masih terus dilakukan –yang terlihat seperti ludruk itu. Taiwan, kata si penembak, tetap harus direbut.
Di tangan Mao Zedong negara tidak kian baik. Kian buruk lagi setelah Revolusi Kebudayaan. Itulah tipping point ketiga.
Deng Xiaoping mungkin juga sulit membangun Tiongkok kalau tipping point belum terjadi.
Sejak 1975 itu Tiongkok bergerak maju.
Tentu kali ini, di zaman Xi Jinping ini, meneruskan revolusi tidak berhenti. Sebelum Taiwan direbut. Kali ini tidak lagi pakai tembakan kaleng-kaleng. Persenjataan Tiongkok sudah sangat modern. Serbuan militer tinggal tunggu waktu.
Kabelnya sudah banyak yang terkelupas.
Kapan?
Nunggu korsleting sendiri.
Atau menunggu ada yang secara sembunyi-sembunyi mengkorsletkannya.
Xi Jinping berkata: yang terbaik adalah secara damai, tapi kalau perlu dengan kekerasan.
Pernah ditempuh cara ini: menunggu saja sampai ada partai pro-penyatuan memenangkan pemilu di Taiwan.
Tidak berhasil. Justru yang menang kian anti-penyatuan. Seperti yang berkuasa sekarang.
Bagi Tiongkok momentum ”emas”-nya tentu sekarang ini. Ketika Amerika baru saja kalah ganda: oleh Covid dan oleh Taliban.
Amerika lagi sangat menyesali diri. Mengapa harus terlibat perang di Afghanistan. Yang terlama dalam sejarahnya. Yang dirasakan sia-sia saja.
Amerika juga seperti lagi ogah-ogahan perang. Anda sudah tahu: pun di kala hubungan Amerika-Tiongkok sudah seperti bisul yang mau meletus, panglima tertinggi militer Amerika menelepon panglima militer Tiongkok. Ia jamin Amerika tidak akan memulai perang. (Disway 19 September 2021: PHP Milley).
Tentu motif telepon itu bukan karena militer Amerika takut perang. Bisa jadi, telepon itu sekadar mengantisipasi gejolak emosi Presiden Donald Trump yang mirip irama jantung orang kaget.
Saya tidak tahu seperti apa irama jantung Xi Jinping. Yang jelas kian banyak jantung tokoh politik di Taiwan yang perlu lebih sering disentuh stetoskop. (Dahlan Iskan)