(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram. (Q.S. Ar-Ra’du : 28)
RADARBEKASI.ID, BEKASI – Dalam Al-Qur’an jiwa yang tenang disebut dengan al-nafs al-muthmainnah. Jiwa yang tenang adalah jiwa yang beriman dan tidak digelitik rasa takut dan duka hati. Sedangkan Imam Mujahidin mengartikannya sebagai jiwa yang ridha dengan ketentuan Allah, mengetahui bahwa sesuatu yang menjadi bagiannya pasti akan datang kepadanya.
Jiwa yang tenang akan senantiasa memelihara hubungannya dengan sang pencipta dan manusia. Dalam hubungan dengan Sang Pencipta ia tidak pernah absen menegakkan shalat fardhu. Ia bahkan selalu berusaha menegakkan shalat sunat. Dalam bulan Ramadhan ia selalu berpuasa dan tidak melakukan hal-hal yang mengurangi pahala puasa seperti berdusta, memfitnah dan lainnya. Ketika Tuhan memberinya rezeki yang jumlahnya mencapai nishab ia mengeluarkan zakat. Selain zakat ia mengeluarkan pula hartanya untuk keperluan sosial. Mengenai ibadah haji, ketika ia memenuhi berbagai persyaratan sehingga ia dinilai mampu, ia berangkat ke Tanah Suci. Lengkaplah sudah keempat ibadah pokok dipenuhinya. Semuanya didasari niat yang ikhlas agar ibadahnya diterima Allah SWT. Adapun mengenai ibadah sosial, ia tidak ketinggalan melakukannya sepanjang Tuhan masih memberinya tenaga, kesempatan dan rezeki membantu dan peduli terhadap sesama.
Jiwa yang tenang tumbuh karena kemampuan menempatkan sesuatu pada tempat yang sewajarnya dan senantiasa meletakkanya atas dasar iman. Dengan dasar iman, maka manusia akan menerima segala sesuatu yang dihadapinya baik senang maupun susah, menang maupun kalah dengan perasaan ridha karena Allah. Sekiranya seorang manusia itu mendapat nikmat, berhasil, dan mencapai kejayaan, dia tidak melonjak-lonjak kegirangan. Sebaliknya, jika mengalami bencana, muflis, kalah dalam perjuangan dia tidak berdukacita, apalagi berputus asa. Dalam situasi lain, manusia yang bersifat ‘ Muthmainnah’ dapat menguasai diri dalam keadaan apapun, berfikiran rasional, mampu menciptakan keseimbangan dalam dirinya dan hatinya tetap tenang dan tenteram. Jiwa yang tenang itu senantiasa merasa ridha menghadapi apa pun keadaan, juga senantiasa mendapat keridaan Ilahi, seperti yang dinyatakan di dalam al-Qur’an : “Wahai jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya. Maka masuklah dan berkumpul bersama hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Q.S. Al-Fajr : 27-30).
Jelaslah, bahwa manusia hendaknya menenangkan dan menyucikan jiwanya guna menuju hidup abadi yang diridhai Allah SWT.
Wallahu A’lam Bish Showab. (*)