LAMA-lama saya hanyut juga: ikut rombongan —!!!— Durian Travellers, DT. Rutenya: Malang-Senduro di Lumajang.
Di Malang, Anda sudah tahu: wajib ke kebun duriannya Mas Yanto (Baca Disway: Durian Pentil). Yang di dekat Gunung Kawi itu.
Ampun. Rakus semua. Makan durian seperti makan singkong saja. Termasuk ketika makan yang kelas Musangking. Saya pun harus mengajari mereka di bawah pohon yang penuh buah berduri itu: makan durian itu harus seperti makan es krim. Dicucup lembut, halus, sedikit sedikit, dengan bibir dan lidah, sambil mata agak terpejam.
Saya praktikkan di depan mereka bagaimana menikmati durian. Saya ambil yang Musangking. Saya peragakan cara itu dengan makan durian beneran.
Sangat pelan dan lembut. Lalu satu lagi. Juga pelan. Masih satu lagi. Dan lagi. Dan lagi.
Tidak boleh disosor secara kasar.
Gila semua.
Setelah pelajaran pendek tersebut, mulailah dibelah durian ke dua: habis dalam sekejap. Pun yang ketiga dan seterusnya. Anak-anak muda memang tidak bisa diajak main halus.
Yang kumpul hari itu, Senin lalu, termasuk yang datang dari Samarinda, Makassar, Palembang, Banyumas, Tegal dan Bandung. Masing-masing bercerita tentang kelebihan durian di kampung mereka.
Saya pun bertanya: adakah di tempat kalian orang seperti Mas Yanto. Yang berani membuang pentil-pentil durian yang begitu banyak. Kok tidak dibiarkan saja pentil itu jadi buah durian yang besar.
“Tidak ada,” jawab mereka bergantian. Umumnya, pemilik pohon durian merasa sayang pentil yang begitu banyak dirontokkan.
“Ada!” ujar Pak Akhiong yang juga punya kebun durian.
Pak Akhiong bukan anggota DT. Ia tidak ikut hadir di Malang.
Pak Akhiong kirim WA ke sana -setengah mengoreksi Disway tentang keberanian Mas Yanto.
Terima kasih Pak Akhiong. Kian lengkaplah informasi tentang pentil durian.
“Teman saya di Medan juga sudah mulai melakukan itu,” tambahnya.
“Di sana cara itu disebut apa?” tanya saya.
“Kami tidak tahu apa itu pentil. Atau apa itu buang pentil. Proses itu kami sebut pruning,” ujar Pak Akhiong. Buah durian, ketika baru sebesar bola tenis atau bola takraw harus dipruning.
Akhiong pun mengirimkan foto-foto hasil pruning itu. Saya lihat, durian yang dipruning memang sudah bukan pentil lagi. Sudah lebih besar dari pentil.
Mungkin yang dilakukan Pak Yanto lebih baik: dipruning ketika masih pentil. Ketika baru sebesar bolanya Alay. Kan sayang, nutrisi pohon sudah telanjur banyak terserap di buah itu baru dibuang.
Mungkin juga mereka yang di Bangka dan Medan itu yang benar: kalau masih terlalu pentil bagaimana bisa tahu mana yang perkembangannya kurang baik?
Cara Bangka itu bisa lebih yakin memilih mana pentil yang memang harus dibuang.
Dari Malang saya berangkat duluan menuju Lumajang. Saya memilih jalur yang lebih panjang: memutar ke arah selatan gunung Semeru. Ingin tahu saja.
Saya belum pernah melewati jalur itu.
Itulah jalur yang disebut lewat Piket Nol.
Setelah tiga jam perjalanan, tibalah di Piket Nol. Langit bermendung hitam. Matahari kian menyenja. Saya belum menulis artikel Disway. Pun belum memilih komentar pilihan.
Itu cukup alasan untuk berhenti. Biarlah istri jalan-jalan di Piket Nol. Saya duduk di atas batu besar. Di tebing batu yang tinggi. Di situlah saya menulis naskah. Di HP tercinta ini. Juga membaca semua komentar sampai jam itu.
Ternyata istri tahu sendiri ke mana dan di mana pemandangan terbaik. Saya menyusul: ternyata ke jembatan lama yang sudah tidak dipergunakan lagi.
Tapi pencurian itu bukan urusan bupati. Jembatan itu milik provinsi. Hanya saja sayang kalau sampai runtuh. Jembatan lama itu bisa jadi panggung wisata. Bisa diberi pengaman yang memadai.
Dan lagi jembatan itu bisa untuk arena uji nyali. Sesekali jembatannya bergetar. Itu pertanda gunung Semeru lagi batuk-batuk kecil. Kalau sampai roboh memang berbahaya: sungai di bawahnya dalam sekali.
Dulu memang ada pos di pinggir jalan: itulah pos untuk piket di lokasi yang tertinggi di jalur Malang-Lumajang.
Di pos itu dulunya wisatawan istirahat. Kini sudah rusak. Warung-warung kecilnya juga sudah kumuh. Lingkungan Piket Nol harus diselamatkan. Mungkin sulit: siapa yang merasa memilikinya.
Saya sudah terlalu malam tiba di Lumajang. Sudah lapar. Pak Bupati Toriqul Haq minta saya makan di pendopo. Saya milih bertanya: di mana ada sate gule yang enak.
“Sate Pak Toha,” jawab pak Bupati. Saya pun ke sana. Ternyata ada menu yang lebih enak lagi: sop kikil kambingnya. Sikat semua: sate, gule, kikil. Apalagi mendung sudah berubah jadi hujan.
Maka saya gagal ikut acara DT di Senduro. Padahal di Senduro yang itu kami punya acara khusus: silaturahmi ke pohon durian tua di sana. Konon sudah berumur 300 tahun, tapi masih produktif.