RADARBEKASI.ID, BEKASI – Di tengah tingginya kasus Covid-19 di Kota Bekasi, kini kota dengan 12 kecamatan tersebut dihantui penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD). Ya, kasus penyakit yang disebabkan nyamuk Aedes Aegypti tersebut kini melonjak tinggi. Saat ini, tempat tidur Rumah Sakit (RS) harus dibagi, antara untuk pasien aktif Covid-19 yang membutuhkan perawatan, pasien DBD, dan penyakit lain, fokus angka kesakitan awal tahun ini ada pada pasien akibat serangan virus tersebut.
Kota Bekasi telah mengalami situasi ini tahun sebelumnya, juga terjadi di akhir dan awal tahun. Namun, beban RS nyata menjadi perhatian pada gelombang kedua Covid-19 pada pertengahan tahun lalu, disaat yang sama juga, ada ratusan kasus DBD.
Bulan Januari tahun ini, perlahan tapi pasti angka kasus Covid-19 melonjak naik, mulai dari puluhan, ratusan, hingga ribuan di bulan Februari. Sementara untuk kasus DBD, ada 176 kasus pada bulan Januari, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya di bulan yang sama sebanyak 31 kasus, sampai saat ini pun RS masih membagi tempat tidur untuk pasien DBD dan Covid-19.
Angka kesakitan yang timbul akibat gigitan nyamuk Aedes Aegypti ini setiap tahun pasti ada, beruntung tidak sampai ditetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) di dua tahun ini.”Memang masa pandemi di dua tahun ini ada kasus DBD meskipun tidak KLB, kasus DBD ada terus,” kata Kepala Dinkes Kota Bekasi, Tanti Rohilawati, Kamis (10/2).
Sementara untuk angka kasus Covid-19 per tanggal 9 Februari terus mengalami lonjakan hingga di angka 14.944 kasus, di tanggal temuan kasus kembali menunjukkan angka fantastis, yakni 3.019 kasus. Hasil penelitian sampel di laboratorium akhirnya menjawab lonjakan kasus dalam jumlah besar ini, dari 145 sampel yang dikirim ke Balitbangkes dan laboratorium LIPI, hasil dua sampel yang diterima dipastikan terpapar virus varian Omicron.
Gejala dari serangan virus ini berulang kali disampaikan oleh pemerintah ringan, angka fatalitas rendah, nyaris yang membutuhkan perawatan RA hanya kelompok rentan, mereka adalah Lansia, masyarakat yang memiliki komorbid, serta masyarakat yang belum di vaksin.
Di Kota Bekasi, perlahan tapi pasti tingkat keterisian Tempat Tidur atau Bed Occupancy Rate (BOR) isolasi di RS meningkat, kondisi saat ini hanya selisih satu persen menuju batas aman yang ditetapkan WHO sebesar 60 persen. Hal yang sama juga terjadi pada BOR ICU RS, tingkat keterisian saat ini di angka 31,39 persen dari total 137 tempat tidur yang disiapkan.
“Akan tetapi terpenuhi ini bukan hanya orang Bekasi, tapi juga orang luar Kota Bekasi (dirawat) di rumah sakit di Bekasi tetap diterima. Jadi persentase ini bukan bukan semua penduduk Kota Bekasi saja,” tambahnya.
Catatan angka kematian dua bulan di tahun 2022 ini sebanyak 8 kasus, diantaranya adalah Lansia berusia diatas 60 tahun dan satu orang balita berusia enam bulan. Persentase terbesar pasien yang meninggal belum divaksin, kedua memiliki komorbid, sedangkan untuk balita diketahui mengalami dehidrasi.
Kunci pencegahan DBD dan Covid-19 hampir sama, yakni dengan menerapkan pola Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Pada aspek pencegahan Covid-19, masyarakat diminta secara sadar untuk disiplin mengenakan masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak.
Sementara pada aspek pencegahan DBD juga dilakukan dengan menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggal, terutama mencegah kebersihan lokasi yang besar kemungkinan menjadi tempat air menggenang, di samping upaya pemerintah kota melalui gerakan serentak Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pemberian Larvasida untuk membunuh jentik nyamuk, gerakan membuat Ovitrap atau perangkap untuk memutus siklus hidup nyamuk, hingga gerakan satu rumah satu Juru Pemantau Jentik (Jumantik).
Diakui, bahwa gerakan satu rumah satu Jumantik saat ini tidak bisa maksimal dilakukan lantaran terbatas dengan situasi pandemi. Kunci utama untuk terhindar dari DBD atau membebaskan lingkungan tempat tinggal dari tempat berkembang biak nyamuk Aedes Aegypti adalah memastikan kebersihan lingkungan dan rumah terjaga.
Maka saat ini, masyarakat mendapat tantangan untuk memaksimalkan kemandirian dalam menerapkan Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) selama pandemi hampir dua tahun terakhir
“Untuk itu saya menyampaikan kepada teman-teman, didalam melakukan penyuluhan itu diharapkan justru masyarakat juga dapat mandiri dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana membuang sampah tidak boleh sembarangan, kemudian di dalam perilaku sehari-hari juga di rumah harus bersih,” ungkapnya.
Permasalahan selanjutnya, tidak jarang pasien DBD juga terkonfirmasi Covid-19. Tanti menjelaskan gejala antara penderita DBD dan Covid-19 tidak berbeda jauh, penderitanya sama-sama merasakan demam dan nyeri. Kemudian pada saat pasien aktif Covid-19 menjalani isolasi mandiri tentu harus terpisah dari keluarga serumah yang lain, kelalaian menjaga kebersihan rumah bisa terjadi sehingga memungkinkan nyamuk berkembang biak di genangan-genangan air di dalam atau di sekitar rumah.
Rumah sakit akhir-akhir ini mulai sibuk dengan pasien Covid-19, disamping juga masih merawat pasien DBD. Di RS yang selama pandemi Covid-19 ini menjadi tumpuan, kemarin tercatat 178 pasien, tidak dipungkiri RS juga tengah menangani pasien lain termasuk DBD.
“Kita pengembangan (menambah jumlah tempat tidur khusus pasien Covid-19) berdasarkan kasus yang ada. Kan kita juga masih ada kasus non Covid, seperti DBD,” kata Direktur RSUD dr Chasbullah Abdulmajid, Kusnanto Saidi.
Saat ini pihaknya tengah fokus menangani pasien Covid-19 di gedung E dan F rumah sakit, dengan jumlah sebanyak 340 tempat tidur. Jumlah ini akan dimaksimalkan jika pasien yang datang terus bertambah.
Ia juga menguraikan ada sejumlah lantai yang digunakan untuk merawat pasien Covid-19 dan DBD, tidak jarang dijumpai pasien terserang DBD dan Covid-19 bersamaan. Tidak semua pasien Covid-19 yang datang menjalani perawatan di RS, setelah dipastikan bergejala ringan bahkan tidak bergejala, maka disarankan untuk menjalani isolasi mandiri.
“Kalah hasil PCR positif, gejala ringan, dia ada komorbid seperti jantung atau DBD, kita obati dua-duanya sama dengan tahun lalu tidak ada yang berubah,” tukasnya.
Untuk mencegah beban RS semakin berat jika jumlah kasus aktif Covid-19 terus meningkat, pemilahan pasien adalah hal penting yang harus benar-benar dipastikan. Mereka yang berada di RS adalah pasien Covid-19 dengan gejala sedang dan berat, termasuk analisa berdasarkan potensi resiko seperti kelompok rawan.
Hal ini mesti dilakukan agar tidak merebut jatah pasien yang benar-benar memerlukan perawatan medis. Diperingatkan situasi munculnya pasien yang membutuhkan perawatan hingga menipisnya ketersediaan obat perlahan tapi pasti akan terjadi.
“Kalau itu (pasien di RS) ternyata berderajat ringan, atau jangan-jangan (pasien Isoman) ada yang bergejala, ini yang mesti ditertibkan, dengan menyediakan isolasi karantina terpadu, misalkan di (tingkat) kabupaten kota atau kecamatan dengan melibatkan banyak pihak seperti swasta,” terang Epidemiolog Griffith University, Dicky Budiman.
Karantina terpusat juga penting sebagai fungsi triase, menjaring pasien yang memiliki potensi resiko dan bergejala sedang hingga berat untuk mendapat perawatan RS. Diperlukan literasi memadai bagi masyarakat untuk tahu kondisi seperti apa mereka harus mendapat perawatan RS, termasuk mengaktifkan telemedicine. (Sur)











