Berita Bekasi Nomor Satu

Trauma di Ruang Pemilu

Choirunnisa Marzoeki (Ketua Bawaslu Kota Bekasi)
Choirunnisa Marzoeki (Ketua Bawaslu Kota Bekasi)

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Sejarah hidup manusia senantiasa berkesinambungan. Terdapat beberapa hal yang bisa diturunkan antar generasi semisal genetik dan ciri fisiknya. Studi terbaru, trauma juga dapat diwariskan. Trauma antar generasi didefinisikan sebagai trauma yang diturunkan dari mereka yang secara langsung mengalami suatu kejadian ke generasi berikutnya (Franco, 2021).

Trauma antar generasi dapat berupa peristiwa traumatis yang menimpa seseorang, anggota keluarga atau trauma kolektif yang mempengaruhi komunitas yang lebih besar seperti budaya, ras, suku, atau kelompok lain yang dikenal trauma historis.

Penelitian tentang trauma antar generasi awalnya terkonsentrasi pada keturunan para korban Holocaust dimana terjadi pembantaian terhadap kurang lebih enam juta orang Yahudi yang dilakukan rezim Nazi secara sistematis. Atas peristiwa tersebut segala jenis stres yang ekstrem dan berkepanjangan dapat berdampak buruk merugikan pada keturunan mereka.

Peristiwa yang terjadi puluhan tahun lalu itu mengakibatkan trauma tersendiri bagi generasi-generasi selanjutnya. Memori generasi berikutnya didominasi oleh narasi nenek moyangnya yang mengalami kejadian buruk. Meski terjadi pada masa lalu, tetapi efeknya terus berlanjut hingga kini.

Indonesia pun memiliki pengalaman yang serupa. Generasi baru yang tidak mengalami peristiwanya langsung, tapi menjadi korban peristiwa masa lalu. Tragedi tersebut antara lain pembunuhan massal terhadap anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terjadi pada tahun 1965-1966. Mereka yang tak jelas identitasnya dituduh bagian dari PKI menjadi alat pembenaran bagi kelompok tertentu untuk membunuh, memusnahkan, dan mengucilkan sesama anak bangsa.

Selain itu, peristiwa Mei 1998. Terjadi pada 13 – 15 Mei 1998 di Jakarta dan sejumlah kota lain. Kerusuhan yang bernuansa suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) dengan perusakan, penjarahan dan sentimen terhadap etnis Cina. Bahkan terjadi kejahatan seksual terhadap perempuan. Hingga kini kasus tersebut masih menjadi enigma.

Potensi Trauma
Trauma antar generasi melalui ujaran kebencian berpotensi mewarnai komunikasi politik pada Pemilu dan Pilkada secara serentak 2024.

Berangkat dari pengalaman kontestasi elektoral sebelumnya, banyak kandidat yang menggunakan cara yang tidak sehat dan jauh dari prinsip-prinsip demokratis dengan menggunakan ujaran kebencian dan berita hoaks.
Bawaslu menilai tantangan Pemilu 2024 yang dilaksanakan secara serentak antara lain terjadinya pelanggaran pemilu seperti kampanye hitam, hoaks, dan evaluasi yang tidak mendalam terhadap permasalahan pemilu dan pilkada sebelumnya dapat menjadi permasalahan di Pemilu mendatang.

Berkaca dari Pemilu 2019, kekuatan massa kerap dibentuk dengan jargon-jargon atas nama agama, mendukung pribumi, anti Cina, anti komunis dan lainnya yang menunjukkan peristiwa masa lalu dimunculkan kembali untuk mendapatkan dukungan masyarakat. Akibatnya, kandidat tidak fokus mengkomunikasikan visi, misi, dan program kerja mereka, tetapi melakukan politik identitas seperti etnis atau agama.

Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan pada Pemilu 2019 hoaks dan ujaran kebencian beredar secara liar di berbagai platform media sosial. Topik politik identitas dan agama selalu trending topic dan menjadi “top of mind”. Tiga platform media sosial yang banyak digunakan yaitu Twitter, Facebook, dan Instagram.

Cara ini berpotensi akan digunakan kembali oleh para politisi pada Pemilu 2024 karena telah terbukti mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan. Konflik cebong versus kampret semakin menajam sebagai akibat akumulasi kebencian dari strategi kampanye yang dilakukan oleh dua kubu. Munculnya kampanye hitam, ujaran kebencian dan hoaks dapat menjadi ancaman bagi pemilih pemula.

Trauma antar generasi ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Karena akan membuat demokrasi terganggu dengan terulangnya peristiwa politik yang berdampak kejiwaan bagi masyarakat. Akibatnya, kohesi sosial menjadi terganggu.

Terdapat dua cara yang bisa ditempuh untuk memotong dampak dari trauma antar-generasi. Pertama, membangun memori kolektif tentang “pemuda Indonesia”. Narasi tentang pemuda Indonesia di awal 1900-an memiliki perspektif visioner dan memiliki wawasan yang melampaui pelajar Belanda.

Anak-anak muda pada waktu itu miliki pandangan tentang Indonesia yang jauh kedepan, tanpa mengubah dirinya sebagai pribadi yang khas Indonesia. Identitas tentang pemuda Indonesia dalam perjuangan kemerdekaan merupakan strategi sukses untuk melengkapi identitas kelompok.

Dengan cara ini, dapat menghindari kecenderungan untuk merendahkan kelompok lain atau menganggap kelompok lain lebih rendah. Memori kolektif ini bisa disajikan melalui berbagai sumber informasi yang biasa diakses oleh generasi baru, yaitu media sosial dan media online.

Kedua, melalui dialog antar pihak. Keturunan korban dan keturunan pelaku, atau para pihak lainnya adalah antara anak dengan orang tua yang pernah mengalami trauma.

Pengalaman peserta yang bersedia membuka dialog ini pernah dilakukan para korban keturunan Holocoust di Jerman.

Dengan melakukan hal itu, mereka mengalami perasaan pemulihan trauma antar-generasi, pengurangan prasangka dan peningkatan motivasi untuk perilaku yang lebih pro-sosial. Hal ini pun diamini oleh tokoh spiritual dan perdamaian Thich Nhat Hanh yang mengatakan, “Dalam dialog yang benar, kedua belah pihak bersedia untuk berubah”. Untuk Pemilu 2024, perubahan itu adalah berdemokrasi yang benar. (*)