RADARBEKASI.ID, BEKASI – Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) di Bekasi, siap-siap mengganti label halal yang terpasang di kemasan produknya. Hal ini setelah Kementerian Agama (Kemenag) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menetapkan label Halal Indonesia yang berlaku secara nasional. Dengan demikian, label halal yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak berlaku lagi.
Penetapan label Halal Indonesia yang tertuang dalam Keputusan Kepala BPJPH Nomor: 40 tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal tersebut, berlaku efektif mulai 1 Maret 2022.
“Pelaku usaha yang memiliki produk yang telah bersertifikat halal sebelum beroperasinya BPJPH serta masih memiliki stok kemasan dengan label halal dan nomor ketetapan halal MUI, diperkenankan untuk menghabiskan stok kemasan terlebih dahulu,” ujar Kepala BPJPH, Muhammad Aqil Irham dikutip dari laman resmi Kemenag, Minggu (13/3).
Di Kota Bekasi, sejumlah pelaku UMK mengaku selama ini kesulitan lolos verifikasi dan mendapatkan sertifikasi halal, kendati demikian ada juga yang mengaku mudah. Pedagang mie dan bakso menjadi salah satu pelaku UMK yang kesulitan mendapat sertifikat halal. Pasalnya, pada saat verifikasi, tempat para pedagang menggiling daging tidak khusus, atau berbarengan dengan banyak pelaku usaha.
“Gagalnya kalau kemarin itu kan tukang bakso gilingnya masih nyampur dengan banyak orang. Kan banyak itu dipasar tukang bakso dari mana-mana, itu nggak akan lulus untuk sertifikat halal,” kata Ketua Paguyuban Pedagang Mie dan Bakso (Papmiso) Indonesia Kota Bekasi, Maryanto, Minggu (13/3).
Dia menyayangkan kegagalan tersebut dengan satu alasan. Padahal, semua pedagang bakso membeli daging di pasar yang sama, di dapat dari Rumah Potong Hewan (RPH) yang telah dijamin operasionalnya sesuai dengan ketentuan.
Jika diminta untuk membangun penggilingan daging secara khusus setiap pedagang, maka ia mengaku sulit, karena besarnya uang yang harus dikeluarkan untuk memiliki alat penggilingan daging. Proses verifikasi penggilingan daging ini diyakini menjadi satu faktor kegagalan mendapat sertifikat halal para pedagang, padahal banyak pelaku UMK mau mengurus sertifikasi halal.
“Kan berat kalau begitu, yang teman-teman masih kecil, masih jualan dengan gerobak dorongan, itu nggak akan mungkin bisa punya sertifikat halal,” tambahnya.
Akhir bulan Mei 2021 lalu, Maryanto memfasilitasi anggota Papmiso untuk mendapat sertifikat halal. Tidak mudah, enam bulan lamanya waktu untuk mendapat label halal. Diawali dari pemberkasan, mengikuti training produk halal, training kesehatan, verifikasi barang yang digunakan untuk produksi, hingga bahan-bahan dapur. Semua dilakukan di Ibu Kota Provinsi, Bandung, cukup jauh jaraknya dari Kota Bekasi. Sehingga beban biaya perjalanan menambah berat uang yang harus dikeluarkan untuk mendapat sertifikasi halal.
Rumit, lama waktu yang diperlukan, hingga jauhnya jarak tempuh disinyalir membuat pelaku UMK menyerah sebelum mengurus sertifikat halal. Hasil evaluasi Mei 2021, Papmiso akhirnya membuat penggilingan daging khusus bagi pada pedagang yang telah mendapat sertifikat halal, tidak melayani pedagang dari luar untuk menjaga sertifikat halal mereka, setidaknya ada 17 pedagang bakso yang telah bersertifikat halal di Kota Bekasi.
“Sebenarnya kita berharap pelaku-pelaku UMKM ini untuk pengurusan sertifikat halal semuanya pada minat dan mau. Akan tetapi karena pengurusannya kemarin agak belibet, kalau memang sekarang ini Kemenag yang mengambil alih, ya mudah-mudahan itu dipermudah,” tukasnya.
Berbeda dengan pedagang mie dan bakso, salah satu pelaku UMKM di Kota Bekasi justru menilai sertifikasi halal MUI lebih mudah. Sejauh yang mereka rasakan setelah difasilitasi oleh Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (DKUKM) Kota Bekasi cukup mudah.
Ketua Cluster UMKM Mamin Kota Bekasi, Afif Ridwan menjelaskan pada saat proses sertifikasi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara proaktif datang memberikan penyuluhan, pengarahan, dan petunjuk kepada para pelaku UMKM. Pemeriksaan dilakukan secara langsung ke lokasi usaha guna melihat proses produksi.
Yang mesti dipastikan adalah penggunaan bahan baku dalam proses produksi musti dipastikan halal, dapat dilihat dari label halal tiap bahan yang digunakan, atau meminta sertifikat halal dari tempat membeli bahan baku.
“Mereka audit saja, misalkan gula, tidak ada sertifikat halal (pada merk gula yang digunakan) kita suruh ganti merk yang lain. Misalkan minyak, ternyata tidak ada sertifikat halal kita ganti merk yang lain, gitu aja sih auditnya,” terang Afif.
Setiap tahun pada pelaku UMKM binaan dialokasikan 50 sampai 100 pelaku UMKM untuk ikut sertifikasi halal. Proses sertifikasi saat ini oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dinilai akan lebih rumit, lebih birokratis dibandingkan sebelumnya.
Sepanjang pengetahuannya, proses saat ini pada pelaku UMKM harus mendaftar terlebih dahulu ke BPJPH, kemudian melengkapi persyaratan. Selanjutnya oleh BPJPH diserahkan kepada lembaga audit, salah satunya LPPOM MUI, kemudian diserahkan kepada MUI untuk difatwakan, baru penerbitan sertifikat halal oleh Kemenag atau BPJPH.”Jadi dulu birokrasi itu simpel, pihak Pemkot menghubungi MUI untuk melakukan sertifikasi halal pada pelaku UMKM, nah MUI langsung terjun,” paparnya.
Untuk menembus pasar yang lebih besar atau pasar modern, pelaku UMKM harus melengkapi produknya dengan sertifikat halal sesuai dengan Undang-undang (UU) nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Maka, semua pelaku UMKM hingga produsen besar harus ikut sertifikasi halal.
Pada saat sertifikasi halal hanya dilakukan secara sukarela kata Afif, hanya 10 sampai 20 persen pelaku UMKM yang ikut sertifikasi halal. Saat menjadi kewajiban, maka kemampuan pemerintah untuk memfasilitasi UMKM mesti ditambah lebih banyak. Sehingga pelaku UMKM tidak tergerus oleh peraturan yang mewajibkan produk milik UMKM bersertifikat halal.
“Itu industri makanan dan minuman dari UKM sampai perusahaan besar harus ikut sertifikasi halal. Pertanyaannya, kemampuannya ada nggak untuk mensertifikasi itu,” tukasnya.
Afif merupakan satu dari ratusan pelaku UMKM yang memanfaatkan fasilitas pemerintah untuk mendapat sertifikasi halal. Jika mandiri, maka uang senilai Rp2,5 juta sampai Rp3 juta harus ia keluarkan untuk mendapat sertifikat halal.
Masa berlaku sertifikat halal belakangan oleh MUI diperpanjang menjadi empat tahun, masa berlaku sertifikat ini menyesuaikan PP nomor 39 tahun 2021.
Tahun 2021 lalu, DKUKM Kota Bekasi memfasilitasi pelaku UMKM untuk mendapat sertifikat halal dan Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) masing-masing 100 pelaku UMKM, ada ratusan produk UMKM di Kota Bekasi yang telah mendapat sertifikat halal. Tahun ini dialokasikan 150 pelaku UMKM ikut sertifikasi halal, DKUKM Kota Bekasi telah berkoordinasi dengan MUI Provinsi Jawa Barat untuk program ini.
“Jumlah (pelaku UMKM) sertifikasi halal sampai dengan sekarang sekitar 400 produk UMKM (di Kota Bekasi,” kata Sekretaris DKUKM Kota Bekasi, Satia Sriwijayanti Anggraini.
Satia menegaskan para pelaku UMKM yang difasilitasi oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bekasi tidak diminta mengeluarkan biaya apapun. Selama ini program sertifikasi halal diberikan untuk para pelaku UMKM Mamin. Pasalnya, hampir 80 persen dari total 6.388 pelaku UMKM di Kota Bekasi ada di sektor Mamin.”(Sertifikasi) halal untuk Mamin, karena yang memerlukan ini kebanyakan Mamin,” ungkapnya.
Selain Mamin, produk yang wajib bersertifikat halal paling lambat 17 Oktober 2024 adalah hasil sembelihan dan jasa penyembelihan. Bagi sebagian pelaku UMKM, jasa penyembelihan akan mempengaruhi kelulusan sertifikasi halal pada saat verifikasi.
Sementara itu, Sekertaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi, Hasnul Pasaribu mengaku dari berita dan media sosial. “Saya kira ini tindak lanjut dari peraturan perundang-undangan yang dibuat, dan sekarang yasudah. Kalau menurut saya ya nggak masalah, kalau memang UU sudah dibikin yaudah nggak papa, tinggal logonya saja sudah ada logo yang baru sekarang kan,” ungkapnya.
Pergantian label ini penting diketahui oleh masyarakat, terutama oleh pelaku UMKM yang produknya telah terdaftar dan memiliki label halal MUI. Selama ini, masyarakat mendaftarkan sertifikasi halal produknya di MUI pusat atau provinsi, MUI di tingkat kota tidak memiliki kewenangan menerbitkan sertifikat halal.
Label bermotif gunungan dan Surjan wayang tersebut ditetapkan dalam Keputusan Kepala BPJPH nomor 40 tahun 2022, wajib dicantumkan pada produk. “Label Halal Indonesia ini selanjutnya wajib dicantumkan pada kemasan produk, bagian tertentu dari produk, dan atau tempat tertentu pada produk,” ungkap Sekretaris BPJPH Muhammad Arfi Hatim.
Sebagai penanda kehalalan produk, pencantuman label harus mudah dilihat dan dibaca oleh konsumen. Pasal 25 UU nomor 33 tahun 2014 mewajibkan pencantuman label oleh pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal. Di samping itu, pelaku usaha juga berkewajiban menjaga kehalalan produk secara konsisten, memastikan terhindarnya seluruh aspek produksi dari produk tidak halal, memperbarui sertifikat halal jika masa berlaku sertifikat halal berakhir, dan melaporkan perubahan komposisi bahan kepada BPJPH.
Terpisah, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas menegaskan, secara bertahap label halal Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak berlaku lagi.”Di waktu-waktu yang akan datang, secara bertahap label halal yang diterbitkan oleh MUI dinyatakan tidak berlaku lagi. Sertifikasi halal, sebagaimana ketentuan Undang-undang, diselenggarakan oleh Pemerintah, bukan lagi Ormas,” lanjutnya.(sur)











