RADARBEKASI.ID, BEKASI – Gibran Ijrihal (3), seorang anak yang tinggal di Kampung Bulak Sukadana, Desa Jayasakti, Kecamatan Muaragembong, ini memiliki kebiasaan aneh. Ya, dia suka memakan kertas, styrofoam, sendal jepit, dan kardus, sejak umur satu tahun.
LAPORAN
KARSIM PRATAMA
MUARAGEMBONG
Ngamuk, marah hingga memukul ibunya. Itulah yang dilakukan Gibran, anak kedua pasangan Pipit Setiawati (34) dan Muhammad Ihwan (45) saat kebiasaannya memakan sandal jepit dilarang. Jika sudah begitu, orang tuanya tak bisa melarang lagi.
“Kalau kita paksakan diambil, dia menangis sampai mukanya biru-biru. Jadi karena saya terbiasa dia yang seperti itu, buat ngalahin dia biar nggak makan itu, sedikit demi sedikit, jangan terlalu banyak,” ucap ibu Gibran, Pipit Setiawati saat ditemui Radar Bekasi di RSUD Cabang Bungin, kemarin.
Kebiasaan tak lazim ini dilakukan Gibran saat berusia satu tahun. Akibatnya, sandal jepit di rumahnya kerap habis.”Awalnya dari umur satu tahun melihatnya tidak seperti anak yang lain, selain makan nasi, ikan, dan lainnya, ditambah juga makan sendal, kertas, styrofoam, dan kardus,” ujar Pipit Setiawati (34), kepada Radar Bekasi saat ditemui di RSUD Cabang Bungin, Minggu (27/3/2022).
Sepintas, Gibran Ijrihal (3) tidak ada bedanya seperti anak pada umumnya. Dia (Gibran) terlihat saat aktif dan mukanya sangat ceria saat ditemui di RSUD Cabang Bungin. Bahkan, Gibran pun meminta jajan seperti Es krim dan lainnya, termasuk senang bermain handphone, sekilas tidak ada bedanya dengan anak-anak seusia dirinya.
Dalam satu bulan Gibran bisa menghabiskan lima pasang sandal jepit. Sementara untuk kertas, dirinya bisa menghabiskan satu buku dengan kurun waktu tiga sampai empat hari. Kemudian untuk styrofoam dan kardus tergantung dari Gibran mengambilnya. Namun demikian, Gibran tidak mau makan itu apabila disuruh.
“Biasanya dia memakan itu di pagi hari, entah dia habis sarapan, jajan, atau pun bangun tidur. Kalau kita bilang enggak ada, dia nggak ngerti,” katanya.
Untuk sekarang kebiasan buruk tersebut sudah perlahan dikurangi, tentunya atas bimbingan kedua orang tuanya. Kata Pipit, saat ini anaknya tidak lagi makan kardus dan sandal, paling hanya kertas dan styrofoam. Dirinya memastikan, anaknya tidak pernah merasakan sakit yang parah, paling hanya sebatas batuk pilek saja.
“Alhamdulillah dia nggak pernah sakit, paling batuk pilek saja. Saya ngurangin yang namanya sendal itu sudah satu tahun lebih, sekarang sudah enggak sama sekali, paling sedikit doang. Yang masih dia seneng bangat itu stropong sama kertas,” ucapnya.
Dirinya membeberkan, saat mengandung anak keduanya ini dia tidak mengetahui. Pipit baru mengetahui sedang hamil pada usia kandungan berjalan delapan bulan, usai melakukan Ultrasonografi medis (Usg). Pasalnya selama delapan bulan dirinya tidak mengalami tanda-tanda kehamilan. Hanya saja dirinya merasakan perutnya kenceng.
“Saya nggak tahu kalau hamil. Harusnya kalau usia kandungan delapan bulan itu sudah ada pergerakan di dalam perut. Ini mah enggak. Karena mungkin saat itu badan saya itu sampai 90 Kilogram, cuma perut saya aga kenceng doang,” tuturnya.
Sementara itu, Dokter Umum RSUD Cabang Bungin, Ari Afandi menuturkan, berdasarkan anamnesis dari orang tuanya, bahwa anak ini dari usia satu tahun mulai makan-makanan yang tidak wajar, yang tidak boleh dimakan pada umumnya. Biasanya gangguan makan seperti ini disebut gangguan makan pica.
Dalam artian, gangguan makan pica biasanya anak-anak memakan benda-benda yang tidak wajar, seperti batu, kerikil, kertas, pasir, puntung rokok, dan segala macem.
“Gibran ini usianya tiga tahun, berdasarkan anamnesis dari orang tuanya itu untuk saat ini lebih makan kertas dan styrofoam, kemudian kondisinya aktif, sehat, tidak ada keluhan seperti demam, batuk pilek, pencernaan, sakit perut, maupun lainnya,” jelasnya.
Dirinya sudah melakukan pemeriksaan penunjang, salah satunya cek darah, urin, dan PSS. Dari hasil pemeriksaan tersebut, untuk cek darah ditemukan adanya anemia defisiensi besi, artinya sel darah merahnya rendah. Kemudian untuk pemeriksaan yang lain seperti enzim hati, ginjal, urine, semua masih batas normal.
Untuk pemeriksaan selanjutnya atau tatalaksana, untuk gangguan pica ini sebenarnya tidak ada obat. Dia terapinya lebih ke perilaku, untuk sampai ke langkah itu harus ditentukan dulu, jadi penyebab gangguan makan pica ini apa saja.
Biasanya terjadi ke anak-anak autisme, osidi, disabilitas intelektual, sehingga anak itu tidak bisa membedakan mana makanan yang boleh, mana makanan yang tidak boleh. Ini perlu dicari, biasanya akan rujuk ke siater anak, psikolog anak, untuk melakukan tatalaksana yang lebih lanjut.
“Untuk sekarang kita berikan obat sementara, sambil persiapan merujuk ke siater anak, psikolog anak,” ucapnya.
Dalam hal ini yang terpenting adalah edukasi ke orang tua. Dirinya melihat anak ini senang ke yang putih-putih, seperti kertas dan styrofoam. Harusnya, orang tua dan keluarga di sekelilingnya penting untuk menghilangkan benda-benda yang bisa menarik dia untuk dimakan. Maksudnya, makanan yang tidak wajar. Jangan malahan diberikan, bahkan distok.
“Nah, mulai kedepannya itu harus dihilangkan, di stop, karena nggak akan selesai-selesai, karena ini terkait terapi perilaku anaknya itu. Jadi orang tuanya pun harus diedukasi,” ungkapnya. (*).











