Berita Bekasi Nomor Satu

Banjir dan Pendidikan Kita

Radarbekasi.id – Indonesia telah memasuki musim penghujan setelah melewati musim kemarau cukup panjang. Sayangnya, hujan yang merupakan rahmat dari Tuhan acapkali menjadi ancaman bahaya (hazard) bagi tatanan kehidupan. Banjir telah menjadi hidangan musiman setiap kali turun hujan. Maka tak aneh jika sering terlontar ujaran “musim kemarau kekeringan, musim hujan kebanjiran”.

Banjir yang menimpa sejumlah titik di Indonesia pada awal tahun ini menjadi salah satu topik paling viral di jagat media sosial (medsos). Persis pada malam pergantian tahun, air menunjukkan keganasannya. Di balik euforia menyambut tahun baru ada tangis sembilu yang menimpa Jakarta, Bekasi, Bogor, Banten, Tangerang, Bandung, dan Sikka NTT.

Bencana alam banjir yang terjadi di negeri ini bukan tanpa sebab. Keseimbangan alam menuntut haknya, air di musim penghujan membutuhkan tempat sesuai porsinya.

Namun, ketika alam terusik dan tak lagi ada ruang baginya, alam berontak liar yang berakibat fatal bagi kehidupan manusia. Keserakahan manusia dibayar tunai oleh hak asasi alam tanpa perhitungan.

Kerakusan tangan manusia akan mendatangkan karma yang tidak bisa diterka. Manusia selalu berbuat semena-mena terhadap alam demi keuntungan sesaat. Lihat saja di sekeliling kita, membuang sampah sembarangan, penebangan hutan secara liar, padatnya pemukiman di daerah aliran sungai khususnya di perkotaan, hingga pemerataan lahan untuk pembangunan menjadi dalil konkret bahwa kita belum bersahabat dengan alam.

Kodoatie dan Syarief (2006) menjelaskan lebih detail faktor penyebab banjir adalah perubahan guna lahan, pembuangan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh di sepanjang sungai, sistem pengendalian banjir yang tidak tepat, curah hujan tinggi, fisiografi sungai, kapasitas sungai yang tidak memadai, pengaruh air pasang, penurunan tanah, bangunan air, kerusakan bangunan pengendali banjir.

Banjir kerapkali menyisakan luka dan duka. Tidak sedikit kerugian akibat bencana banjir, mulai dari segi ekonomi, sosial, hingga pendidikan. Dampak banjir di Jakarta awal tahun 2020 ini menelan korban kurang lebih 60 orang dan kerugian transaksi perputaran uang mencapai Rp 135,054 miliar perhari. Sebuah angka yang fantastis.

Bencana alam banjir, baik yang berupa genangan maupun air bandang bersifat merusak, aliran arus air yang tidak terlalu dalam tetapi cepat dan berolak (turbulent) dapat menghanyutkan manusia, hewan, dan tumbuhan.
Aliran air yang membawa material tanah yang halus menyeret material batuan yang lebih berat, sehingga daya rusaknya semakin tinggi (Sunit Agus Tri Cahyono dan Abdul Hayat : 2011).

Lantas bagaimana dampak banjir bagi pendidikan?. Terdapat 211 sekolah dampak banjir dari 2.800 sekolah yang ada di Jakarta dengan siswa terdampak banjir sekitar 22.500 siswa.

Di kabupaten Lebak, Banten sedikitnya 19 bangun yang mengalami kerusakan akibat banjir yang tersebar di 6 kecamatan. Tentu, masih banyak infrastruktur yang mengalami kerusakan akibat banjir yang menimpa sejumlah titik di negeri ini.

Jika demikian, otomatis akan menimbulkan kelumpuhan dalam kegiatan pendidikan. sekolah diliburkan lantaran sarana dan prasana basah dan tergenang. Sudah pasti anak didik tertinggal pelajaran. Lebih parah lagi ada sekolah yang ambruk akibat terjangan banjir. Akhirnya, pembelajaran tidak akan aktif dengan waktu yang cukup panjang. Siswa terhambat dalam proses asupan keilmuan.

Dalam konteks guru pun dampak banjir menjadi masalah yang cukup rumit. Guru berupaya sekuat tenaga membersihkan dan memperbaiki sekolah pascabanjir. Selain itu, guru harus merevisi kembali segala bentuk administrasi yang termaktub dalam progsem (program semester). Ketidaknormalan kegiatan belajar-mengajar (KBM) menuntut guru untuk merombak kembali administrasi pembelajaran yang telah dirancang.

Pendidikan Jangka Panjang
Melihat fenomena alam yang sering kali terjadi memberikan sinyalemen bahwa manusia kita tidak baik-baik saja. Fenomena banjir memberikan pendidikan nyata kepada anak didik bahwa aktor utama penyebab banjir adalah kita.

Sikap abai dalam membuang sampah pada tempatnya, penebangan pohon sembarangan, dan pembangunan yang menjamur mengakibatkan hilangnya lahan perairan.

Maka dari itu, untuk memutus warisan banjir yang berkelindan dibutuhkan kesadaran dan proses panjang. Normalisasi dan naturalisasi sudah menjadi ranah pemerintah dan masyarakat untuk mengatasi banjir, akan tetapi tidak cukup di situ, salah satu faktor krusial yang perlu dibenarkan adalah pengelolaan manusia. Lembaga pendidikan menjadi domain paling efektif untuk mengelola manusia agar lebih mencintai alam dan lingkungan.
Anak didik tidak hanya dibekali dengan pendidikan siaga banjir, akan tetapi mereka harus diberi pemahaman dan kesadaran yang benar dalam menjaga alam dan lingkunganya. Mereka yang akan melanjutkan estafet kehidupan di masa mendatang. Memutus mata rantai banjir kepada anak didik memang merupakan langkah kecil, tapi memberikan manfaaat yang cukup besar.

Langkah sederhana pendidikan banjir jangka panjang kepada anak didik ialah dengan membiasakan mereka untuk selalu membuang sampah pada tempatnya. Menanamkan kepedulian kepada mereka bahwa penebangan pohon merupakan tindakan amoral yang menggangu stabilitas alam.
Dan memberi pijakan kepada generasi muda bahwa hidup tidak hanya soal materi dengan membangun infrastruktur megah tetapi menimbulkan musibah. Anak didik harus sadar bahwa alam adalah milik kita, dan kita yang harus menjaga. (*)

Guru SMPIT Annur Cikarang Timur, Bekasi. Anggota KGPBR.