Berita Bekasi Nomor Satu

Refleksi Santri Internasional; Mengenang 40 Hari Wafat DR. KH. Noer Muhammad Iskandar, SQ

Hj. Ani Premini, Lc
Hj. Ani Premini, Lc

… لولا مربي ماعرفت ربي

“Jika bukan tanpa murobby sulit aku untuk mengenal Robby’’

Setelah 21 tahun. “Ahla Dzikroyat” itu terulang kembali. Kenangan terindah dalam hidup ini adalah masa-masa emas saat menuntut ilmu. Yang akhirnya Allah sampaikan penulis ke Negeri Syam, negeri yang dido’akan Rasulullah Saw. sampai dengan tiga kali.

… اللهم بارك لنا في شامنا و في يمننا

“ Ya Allah. Berkahilah Negeri Syam dan Negeri Yaman”

Pesantren Asshiddiqiyah lah yang menghantarkan penulis ke negeri para Nabi dan Auwliya tersebut.

Banyak sekali kenangan saat di Asshiddiqiyah, Kedoya, Jakarta Barat. Yang paling penulis ingat, saat masih Tsanawiyah kelas dua.

Saat itu, penulis izin ke Abah untuk menunaikan ibadah haji. Kami pun ke ndalem. Subhanallah sebelum mengucapkan sepatah katapun Abah langsung berbicara. “KAMU yang setiap malam tahajud di bawah tiang dari jam 03 WIB malam sampai waktu ngaji kitab tafsir jalalain.”

Maasya Allah. Bathin penulis tersentak. Ya Allah, Abah, dari ratusan bahkan ribuan santri. Abah masih bisa membedakan dan mengingat santrinya.

Dengan berjalannya waktu. Penulis abdikan diri di UKS, PMR, lembaga bahasa, Jamiatus Syi’riyah, Cerdas Cermat, Bathsul Masail, Konsulat, OSPA, dan kegiatan lainnya yang membangkitkan kreatifitas dan membangun pribadi yang mandiri.

Alhamdulillah, detik-detik kelulusan pun tiba waktunya. Sorak sorai kegembiraan terluapkan. Kami semua bahagia. Bisa lulus dari jenjang pendidikan MA. Menuju ke cita-cita yang kami impikan untuk terus menuntut ilmu sepanjang hayat.

Tapi, seketika hari kelulusan itu, salah satu sahabat penulis dari Manokwari Irian Jaya (Papua) datang ke kamar penulis. “Hajjah dipanggil Abah dan Bu Nyai.”

Oh…betapa gemetarnya hati ini. Ada apakah gerangan? Sambil tergopoh-gopoh, jalan ‘ndalem’ dengan lutut, membungkukkan diri, sungkem dan menundukkan pandanganku.

Di dalam Abah sudah duduk di meja makan. Ciri khas Abah tanpa basa basi bertanya: “KAMU mau lanjut kuliah dimana? Spontan aku menjawab. Insya Allah ke IIQ. Itupun mau test dahulu. Dan saya sudah survei asramanya.

Dengan nada tinggi dan tegas ciri khasnya, Abah bilang. ’’Kamu nggak boleh kuliah di Jakarta. Mondok lagi ke Banyuwangi sama Mbah Nyai. Ada Mba Eka, Mas Ayus, Mbak Ima juga sekolah di Berasan,’’ ucap Abah ketika itu.

Ya Robb. Aku hanya terdiam. Lalu, “njih” jawabku singkat saat itu. Izin kembali ke kamar pondok, ibu,’’ sahutku.

Sampainya di kamar, air mataku tak tertahan. “Mbrebes mili”. Ada bisikan kiri, aku ingin bebas. Aku ingin kuliah. Aku ingin main selayaknya anak kuliahan. Tapi bisikan kanan bilang, jangan! Patuhi perintah Abah dan ibu. “Sam’an wa tho’atan.”

Pada akhirnya aku memilih bisikan kanan. Berangkat ke Sumberberas, Muncar, Banyuwangi. Menimba ilmu dan memperdalam Alquran di Pondok Pesantren Tahfidz, Manbaul Ulum. Pesantren yang didirikan KH Askandar, orangtua Abah KH Noer Iskandar SQ.

Alhamdulillah dan rasa syukur, kutemukan suasana pondok yang alami, sejuk, asri, indah dan damai. Santri benar-benar mandiri. Untuk kebutuhan makan, santri harus masak sendiri.

Usia para santri di sini sangat beragam. Santri dewasa sampai yang masih berusia dini. Usia 3-4 atau usia TK pun sudah dipondokkan. Orang tuanya betul-betul niat agar anak-anaknya menjadi penghafal Al-Qur’an. Hafidz dan hafidzoh.

Yaa Robb. Tetapi nasib dan takdir menghantarkanku untuk melanjutkan pendidikan ke negeri Syam. Damaskus, Syria.

Alhamdulillah, semua urusan dipermudah hingga tes uji coba masuk universitas di negeri para “Anbiya dan Auwliya” ini.

Alhamdulillah. Dari sekian PPI, pelajar mahasiswi Indonesia, akhirnya aku berhasil masuk “DARUL QUR’AN. Kampus dengan mahasiswa berasal dari seluruh dunia. Menimba ilmu agama langsung dari para ulama terkemuka dunia, seperti Syekh Wahbah Al Zuhaily (alm), Syekh Said Ramadhan Albouti (alm) dan Syekh Nuruddin Itr (alm). Subhanallah.

Aku temukan teman-teman dari Jepang, Rusia, Al-jazair, Malaysia, China, Birmingham (Inggris), Bosnia, Prancis, Amerika, Kanada, Maroko, Sudan, Afrika Selatan, dan negara muslim lainnya yang betul-betul “kaffah” ingin memperdalam ilmu agama.

Seiring berjalannya waktu, Allah SWT memanggil untuk menunaikan ibadah haji. Ibadah yang biasa dilaksanakan umumnya pelajar atau mahasiswa di Timur Tengah saat musim haji dengan menjadi Tenaga Musiman (Temus) melayani jemaah haji di tanah suci. Ibadah sekaligus mencari nafkah untuk membeli kitab.

Saat itu kami bersama kakak-kakak angkatan mahasiswa Kairo untuk menjadi Temus Haji. Maasya Allah. Takdir menentukan. Saat setelah thawaf iffadhoh. Kami bertemu Abah, Bu Nyai dan Mba Eka yang waktu itu menunaikan haji.

Entah angin apa yang mempertemukan kami semua di tanah suci. Atas kehendak Allah pula. Kakak angkatanku Ustadz Yasin izin bermaksud “khitbah”/tunangan denganku. Tapi Abah tegas. ’’Tunangan- tunangan. Langsung Nikah!’’

Ya Allah. Lagi-lagi Abah yang menuntun jalan hidupku menuju keberkahan. Walaupun di awal keberangkatanku ke Negeri Syam. Sudah ada yang berniat bertunangan denganku. Dan berucap, ”jangan diapa-apain itu sudah ‘pegangan’ saya.”

Meski begitu, aku tidak pernah menjanjikan kepada mereka. Sebaliknya, diri ini “ber’azzam” aku akan terus puasa Sunah Daud sampai sebelum menikah. Semoga yang betul-betul jadi suamiku adalah suami yang sholeh dan imam yang baik.

Hingga sampai lah hari H pernikahan tahun 2000. Persis di depan Multazam Ka’bah. Bersama rombongan haji dan rombongan Abah, disaksikan Bapak Arifin Junaidi dan para kiyai yang diberangkatkan Presiden Gus Dur (alm).

Dilanjutkan tasyakuran di rumah paman di Distrik Syaraya Makkah yang sudah berstatus warga negara Saudi karena tinggal di Mekkah sejak tahun 60-an. Dialah paman dari suamiku, Ustadz Yasin.

Berjalannya waktu, putri pertama kami lahir dengan akte kelahiran Damaskus Syria. Namanya Alfi’ah Rou’ah Al Multazam (kenangan terindah depan Multazam di tahun 2000).

Kami habiskan waktu tenggelam dalam lautan ilmu. Menikmati ziarah ke tempat-tempat bersejarah para nabi- nabi Allah SWT dan istri Rasul yang dikebumikan di Negeri Syam.

Syam, sungguh negeri yang aman, damai dan sejuk. Dari negeri-negeri Arab yang berada Jazirah Arab dan negara-negara Teluk, semisal Uni Emirate Arab (UEA), hanya negeri Syam yang turun salju. Buah- buahnya tumbuh subur. Di sekeliling rumah dipenuhi pohonan yang tumbuh di musim dingin, Jeruk, Chery, Plam, Zaitun, Tin dan sebagainya. Di musim panas, tumbuh Anggur yang hijau-hijau manisnya luar biasa, bagai buah buah di syurga. Yang sangat murah. Begitu pula sayuran dan lainnya.

Para penduduknya ahli shodaqoh dan mencintai para penuntut ilmu. Belum lagi sering kali setiap pagi kami dikejutkan dengan tumpukan-tumpukan beras, sembako depan pintu rumah.

Dan ternyata, itu dirasakan dan dialami pula oleh teman-teman lain para penuntut ilmu. Haus dan tenggelam dalam luasnya lautan ilmu. Ilmu yang begitu tiada tepinya dan ujungnya. Semakin ke dalam semakin nikmat. Kitab-kitab “turost”/kuning dengan perawi hadist-hadist shoheh.

Seluruh ilmu syariah, ekonomi syariah dan menghafal Al-Qur’an yang sanadnya sampai ke Rosulullah. Nikmat suasana Qiyamullail di hari-hari terakhir Romadhon. Ramainya seperti hari raya.

Suasana menghidupkan malam-malam Lailatul Qadar sungguh jadi bukti negeri para pecinta surga dan perindu kehidupan abadi di akhirat kelak.

Negeri Syam merupakan surga dunia bagi para penuntut ilmu. Negeri jejak para nabi. Sejarahnya subhanallah. Masih terjaga peninggalan yang alami ratusan abad yang lalu.

Selama dua dasawarsa sang murid itu terbuai asmara cinta lautan ilmu yang tak berujung terpesona, dengan gemerlap mewahnya Kota Dubai, shopping Korea, Hongkong dan sempat lost in Beijing. Bahkan menikmati beautiful Uzbekistan sebagai undangan tamu kehormatan Kementerian Pariwisatanya satu-satunya delegasi dari RI bersanding dengan delegasi 33 negara lainnya, seperti Inggris, Rusia, Polandia, Israel, Oman, Turki dan lain-lain. Juga menikmati lezatnya kuliner Thailand, Malaysia, Singapura dan Australia.

Berkat karunia Allah SWT, melalui wasilah tangan dingin sang santri itu, sudah memberangkatkan lebih dari 6500 jamaah umroh dalam satu tahun ke Baitullah. Tanpa bersentuhan dengan almamaternya. Tapi santri tetaplah santri.

Sejauh kakinya melangkah walau sampai ujung dunia, ia akan teringat orangtua dan gurunya. Sang pembuka jalan barokah hidup. Singkat cerita. Mulailah aktif di medsos, kutemukan Harlah AIC. Mulai kontak sahabatku yang menemukan postinganku saat di Dubai.

Berlanjut pulang dan kali pertama ikut reuni setelah dua dekade angkatanku. Ya Allah. Santri yang hilang jejaknya lebih dari 21 tahun itu, kini mulai kembali merajut silaturahmi ke Abah. Sampai saat silaturahmi ketiga, sowan langsung ke Abah.

’’Apakah kamu sudah mukim di Indonesia?’’ Tanya Abah waktu itu. ’’Insya Allah Abah. Masih bolak-balik,’’ jawabku saat itu dengan bahasa ’masih bolak-balik’ karena memang kami dititipkan amanah dari rekan-rekan kuliah, sahabat, kerabat hingga ada 6 .500 jamaah dapat bersujud di tanah suci melalui wasilah kami.

Hingga tiba lah bulan suci Ramadhan. Kami berjumpa kembali di restoran Putri Duyung Ancol, Jakarta. Abah lagi-lagi terkejut saat masuk ruangan dan mengetahui aku berada di sana. ’’Kok kamu di sini. Sudah pulang? Sudah pulang?’’ Aku hanya terdiam senyum dan merunduk ditanya begitu.

Alhamdulillah. Nikmat rasanya berbuka puasa bersama Abah saat itu. Aku kupaskan kurma, kukeluarkan bijinya. Kusajikan puding yang sudah dipotong-potong. Kuhidangkan nasi dengan lauk pauknya. Tak lupa, kutuangkan air teh ke gelasnya. Abah dan suamiku berada di sampingku. Suatu kebahagiaan untuk kami.

Setelah sambutan bersama seluruh pemuka agama di Indonesia. Abah lanjut pamit. Saat di mobil, Abah usap usap kepalaku dan berkata, ’’Main, main ke ibu ke Kedoya. Abah lalu masuk Alphard hitam dengan jas Banser yang dikenakannya.

Selang beberapa waktu berlalu, entah dari siapa kami ditelpon. Dari ujung telpon, seseorang memanggil-manggil suamiku dan namaku. ’’Muhammad Yasin! Muhammad Yasin dan hj Any dipanggil Abah ke Pluit. Kajian subuh di Masjid Al Muchlisin, Pluit, Jakarta Utara,’’ begitu perintahnya.

Mendapat ‘perintah’ itu, aku dan suami langsung mengubah semua jadwal hari itu. Sebagian kegiatan ditunda.

Pukul 03.00 kami meluncur ke Pluit. Sampai tertidur di lantai dua masjid Al Muchlisin. Saat Subuh tiba, subhanallah, Abah meminta suamiku ustadz Yasin yang memberikan tausyiah. Abah yang membaca kitab.

Sungguh sebuah “subuh yang berkah.” Abah berpesan ingin sekali berangkat haji lagi. Ya Allah. Suamiku pun mulai bergerak memikirkan keberangkatan Abah dengan kondisi cuci darah beliau yang harus betul-betul kami siapkan selama di tanah suci. Tapi apa daya, masa Pandemi Covid 19 datang secepat kilat hingga saat ini dan belum juga berakhir.

Hingga akhirnya, kabar duka tentang Abah pun pun sampai kepada kami. Tak disangka, selepas Zuhur, kami mendapat kabar Abah sudah kembali keharibaan Allah SWT. Allahu Kariiim.

Atas izin Allah. Alhamdulillah dari pemakaian kain kafan. Membacakan surat Yasin, dzikir, dan doa, suamiku turut serta menggotong jenazah Abah sampai ke liang lahat. Syukur kami padamu Yaa Robb. Diberikan kesempatan dan waktu. Aku pun menshalatkan jenazah Abah bersama Bu Nyai di ndalem.

Berulang kali Bu Nyai berucap. ’’Ya Allah Mba Any datang. Maafkan Abah Mba. Maafkan Abah….’’

Selesai Abah dikebumikan, kami langsung pamit. Hari ketiga pembacaan doa dan dzikir, Alhamdulillah kami dipermudah oleh Allah SWT untuk menghantarkan salah satu sahabat Abah berjuluk ’’Singa Podium’’ waktu itu, KH Manarul Hidayat. Julukan ini disematkan masyarakat zaman itu kepada empat tokoh, KH Zainuddin MZ (alm), KH Noer Iskandar SQ (alm), KH Manarul Hidayah dan H. Rhoma Irama.

Saya dan suami biasa memanggi KH Manarul Hidayah dengan sebutan Abi Manarul Hidayah. Hari ketiga itu, setelah pengajian kami pun bersantap bersama Bu Nyai. Tepat di depan kamar Abah.

Ya Allah kuteringat. Di kursi ini selalu ada Abah. Bersyukur dan senang Bu Nyai banyak bercerita bersama adik beliau Mba Yeti yang menemaninya semenjak ditinggal Abah. Perasaaan haru kembali muncul ketika Mas Ayus memanggilku.

Saat hari ketujuh ada Abah Gozali dari Berasan Banyuwangi. Ya Allah ingatanku akan Pondok Sumber Beras, Banyuwangi terlintas lagi. Seketika bayangan para guru-guru mengajiku saat di Banyuwangi, termasuk Bu Nyai Sa`adah, ibu Gus Hasan sekaligus berkelebat di pelupuk mata. Tapi sayang, beliau-beliau belum bisa hadir ke Jakarta.

Saat pertemuan berikutnya bersama alumni dengan Ibu. Kami menyampaikan hasil donasi alumni angkatan 98 sebesar Rp55 juta pada Ahad 9 Januari 2021 lalu. Kami merasakan ikatan batin orangtua dan anak kian kuat.

Sebelum menemui Ibu, kami seangkatan yang hadir saat itu, menyempatkan berziarah ke makam Abah. Bathin kami bergejolak. Kami khawatir kedatangan kami mengganggu jadwal istirahat Ibu. Sedangkan kami sangat ingin bertemu langsung dengan Ibu.

Kuremas-remas tanah pusara Abah. Kuusap-usap kayu nisan Abah. Juga semerbak wangi dari bunga yang bertaburan di atas nisan Abah. Kusentuh dengan lembutnya. ’’Abah, kami datang. Semoga ibu dan keluarga menerima dan mendoakan kami langsung,’’ begitu doaku seusai membaca Yasin dan Tahlil dalam ziarah tersebut.

Selepas ziarah hatiku mulai tenang. Meski masih ada rasa gelisah. Rekan-rekan angkatan 98 yang ingin bersilaturahmi ke Ibu bertambah banyak. Bagaimana kalau mereka tidak dapat bertemu Ibu.

Subhanallah tabarokallah. Di sinilah kurasakan kenyataan keajaiban ikatan batin Abah, ibu dan anak anaknya. Abah Waliyullah.

Di depan pintu rumah, Kami disambut hangat Gus Machrus. Ibu pun keluar kamar dan menyambut serta mendoakan kami. Mbrebes air mata tanpa disadari membasahi pipi. Seketika wajah menjadi sembab. Sekaligus penuh harap. Karen Ibu memanjatkan doa khusus bagi kami. Sekaligus memberikan kami berbagai amalan agar hidup barokah. Gus Ayus pun turut berdoa dan beramah tamah.

Saat para sahabat asyik bercengkrama dan berfoto di bawah lukisan Abah.  Aku di pojokan terdiam bersama ibu. Beliau lalu berbisik. ’’Mbak Any, Mbak Any. Muhsin (Gus Muhsin) Mbak. Kasurnya gak boleh digeser. Marah dia kalau digeser. Setiap malam Muhsin hanya mau tidur di bawah lukisan Abah. Muchsin tidurnya hanya mau deket Abah,’’ ungkap Ibu.

Ya Allah, Bu Nyai. Semakin terisi hati ini. Teringat semua kebaikan Abah. Sungguh ikatan batin itu nyata adanya. Berdoa lah bersungguh-sungguh dengan khusuk. Berthawashul wasilah Abah, Insya Allah terbuka tabir hajat niat dan maksud kita semua. Atas ridho dan izin Allah SWT. Ikhlaskan dan pasrahkan. Insya Allah kehidupan kita semua mulia “Fi Daroini,” dunia dan akhirat.

Salam takzim dan mohon doanya. (*)