Berita Bekasi Nomor Satu
Bekasi  

Kebebasan Pers dan Demokrasi Terancam

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai polemic. Kritik dan masukan datang dari masyarakat, pengamat hukum pidana, hingga insan pers. RKUHP yang tidak jadi disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada masa sidang V dinilai berpotensi mengancam demokrasi dan kebebasan pers.

Draf final RKUHP yang diserahkan oleh pemerintah ke komisi III DPR RI 6 Juli kemarin berisi 14 isu krusial (lihat grafis). Usai menerima draft final, Komisi III DPR RI bersama dengan pemerintah menyelesaikan RUU KUHP khusus terkait dengan 14 isu krusial tersebut sebelum diserahkan ke pembicaraan tingkat selanjutnya.

Dewan Pers mengkritisi sembilan cluster dalam draft final RKUHP lantaran dinilai mengancam kebebasan pers (lihat grafis). Dewan Pers menginginkan pasal-pasal karet tersebut dihapus.Dalam audiensi antara Dewan Pers dan Kementerian Hukum dan Ham (Kemenkumham) kemarin, Dewan Pers mengaku terkejut lantaran draft RKUHP saat ini sudah ada di meja DPR, dianggap tidak melibatkan publik dan insan pers.

Rektor Universitas Islam 45 (Unisma) Bekasi, Hermanto menyebut, dalam RKUHP ada potensi pelemahan pers sebagai kontrol sosial.”Kalau pers nya itu terancam, dan pers itu ketakutan untuk menyuarakan suatu kebenaran, bagaimana nasibnya, itu tidak bisa diharapkan lagi,” ungkapnya.

Selanjutnya adalah pasal 188 tentang tindak pidana yang berhubungan dengan penyebaran ajaran komunis. Diperlukan batasan yang detail mengenai penyebaran ajaran komunis ini, dunia akademis mengkaji semua ideologi dunia termasuk komunisme sebagai satu kekayaan pengetahuan.

“Jadi tidak dikonfrontasikan, justru dengan perbandingan ini kita menguatkan bahwa ideologi Pancasila ini adalah ideologi yang terbaik, dan mampu memberikan pemahaman kepada kita semua bagaimana cara bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,” tambahnya.

Aspek keterbukaan dalam pembahasan RKUHP diperlukan, karena setelah disahkan UU tersebut akan mengikat seluruh masyarakat Indonesia. Tertutupnya pintu informasi untuk mengetahui draft dan pembahasan RKUHP ini dinilai berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat yang memiliki rasa ingin tahu yang tinggi terhadap aturan yang tengah dipersiapkan untuk dijalankan oleh masyarakat juga.

Partisipasi masyarakat akan menghasilkan aspirasi dalam proses penyusunan RKUHP. Berguna untuk menyesuaikan budaya, produk hukum yang dihasilkan, dan keinginan, sehingga diharapkan aturan yang sudah dibuat bisa ditaati dengan kesadaran penuh dari masyarakat.

“Maka, proses partisipasi masyarakat, partisipasi semua stakeholder termasuk didalamnya adalah perguruan tinggi untuk mengkaji RKUHP ini adalah suatu hal yang penting,” tukasnya.

Pandangan potensi RKUHP akan mengancam eksistensi demokrasi juga dirasakan oleh elemen mahasiswa. Tanpa pasal-pasal di dalam RKUHP saja, demokrasi dinilai sudah rusak oleh undang-undang pemilu yang memungkinkan kekuasaan dipegang oleh segelintir orang, mereka menyebutnya dengan oligarki.

“Jadi memang bukan RKUHP ini (saja) nantinya akan merusak demokrasi, tanpa RKUHP pun sudah,” kata Staf Departemen Pengembangan Organisasi Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (LMID), Riki Sandi, Rabu (20/7).

Kriminalisasi tidak lepas dari dampak nyata yang akan dirasakan. Dengan UU KUHP yang sekarang ada saja, ia sudah menyaksikan delapan rekannya dijatuhi hukuman Tindak Pidana Ringan (Tipiring) saat melakukan aksi demonstrasi di depan Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bekasi beberapa waktu lalu.

Kejadian selanjutnya, 17 orang rekannya ditahan selama 24 jam saat melakukan aksi demonstrasi untuk mengadvokasi buruh di kawasan Harapan Indah (HI), dianggap mengganggu ketertiban umum.

Pemerhati hukum pidana menyebut draft final RKUHP ini menarik dan unik sehingga menjadi perhatian publik. Pembaharuan KUHP ini diakui penting dilakukan, di sampingnya KUHP yang saat ini adalah peninggalan penjajah, perkembangan masyarakat juga mendorong itu.

Teori hukum berbicara Ubi Societas Ibi Ius, artinya dimana ada manusia disitu ada hukum. Maka pada saat masyarakat di suatu tempat berkembang, hukum juga harus ikut berkembang. Tindakan yang sebelumnya tidak tergolong dalam tindak pidana berubah menjadi tindak pidana seiring dengan perkembangan masyarakat.

“Mau tidak mau harus diatur, karena kan asas legalitas mengatakan tidak boleh kita menghukum seseorang, tanpa ada aturannya terlebih dahulu,” kata pemerhati dan dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara (Ubhara) Jaya, Anggreany Haryani Putri.

Namun, pasal pertama yang menarik perhatian adalah pasal yang mengatur kekuatan gaib. Sebagai pemerhati hukum, ia mengaku belum bisa memahami secara utuh mengenai cara pembuktian hukum pidana ini. Sedangkan, hukum pidana memerlukan pembuktian unsur-unsur pidananya.

Berikutnya adalah pasal penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, hingga lembaga negara. Pemerintah sebagai perumus RKUHP harus memberikan ketentuan suatu perbuatan masuk dalam unsur pidana penghinaan.

Sehingga, penyusun RUU ini harus mengerti betul aturan hukum, mulai dari memecah unsur pidana. Ia mengingatkan bahwa hukum tidak boleh multitafsir, dan harus menjamin kepastian hukum.

“Sehingga pada saat aturan itu dibuat, dia bisa langsung ditegakkan. Karena kan undang-undang bilang begini, kalau ada satu undang-undang sudah disahkan, sudah dicantumkan dalam lembaran negara dan berita negara, dianggap semua orang tahu dan berlaku untuk umum,” ungkapnya.

Pernyataan itu mendasari pentingnya asas keterbukaan kepada publik, supaya semua masyarakat tahu. Dikhawatirkan, RKUHP yang sudah disusun sedemikian baik menghasilkan kebingungan dalam pelaksanaannya.

Juga perlu dihindari pasal-pasal karet seperti UU ITE yang sering dianggap sebagai keranjang sampah. Jika dalam penyusunannya tidak bisa memberikan kepastian pada asas legalitas secara detail, RKUHP tidak ubah layaknya keranjang sampah.

Secara umum, disamping sederet pasal-pasal yang berpolemik, ia menilai RKUHP ini sudah mengakomodir perubahan dari sisi sanksi maupun tindakan yang sebelumnya tidak tergolong dalam unsur pidana.

Dalam pembahasan lanjutan, menurut Anggi, asas legalitas harus dijunjung tinggi, kemudian asas Equality Before The Law atau persamaan di hadapan hukum, yang terakhir asas kepastian hukum untuk memberikan keadilan kepada masyarakat.

“Jangan sampai nanti mohon maaf, kita melihat seperti Omnibus Law, sudah ketok palu akhirnya Judicial Review, akhirnya kan kepastian hukumnya tidak tercapai,” tukasnya.(sur)