Berita Bekasi Nomor Satu

Usai Peneliti BRIN APH Ditangkap Polisi, Ketum Muhammadiyah Dorong Kuatkan Persatuan

Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir. Foto: Hendra Eka.

RADARBEKASI.ID, SURABAYA – Kasus dugaan ujaran kebencian yang menjerat peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andi Pangerang Hasanuddin (APH) mesti menjadi atensi bersama. Muhammadiyah menempuh proses hukum kasus itu agar ada efek jera.

“Semua sudah ditangani LBH Muhammadiyah. Kami ikuti proses hukum dengan baik dan objektif,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir saat menghadiri silaturahmi atau halalbihalal di Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Selasa (2/5/2023).

Dalam ajang silaturahmi itu, Haedar terus mengingatkan agar menjadikan spirit halalbihalal untuk memperkuat persatuan bangsa dalam keberagaman. Toleransi dalam perbedaan harus dijunjung tinggi. Jangan sampai perbedaan itu memicu keretakan. “Ukhuwah Islamiyah paling mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan,” ujarnya.

BACA JUGA: Peneliti BRIN yang Halalkan Darah Muhammadiyah Ditangkap Bareskrim Polri

Haedar mengatakan, perbedaan yang terjadi dalam pelaksanaan Idul Adha dan Idul Fitri sejatinya sudah lama terjadi. Dan, sudah menjadi tasamuh (toleransi) terhadap perbedaan atas masalah tersebut. Juga, tanawwu (keragaman) dalam menjalankan ibadah. Bahkan, hal itu terjadi sejak ratusan tahun lalu.

“Jangan sampai ada pemicu yang meretakkan umat. Sebab, kalau sudah retak, memulihkannya tidak gampang,” ucap Haedar.

Dia berharap hal itu terus dijaga oleh masyarakat. Kuncinya, menjaga perkataan. Khususnya di era media sosial saat ini. Semua orang bisa membuat posting-an ujaran kebencian dan langsung direspons serupa. ’’Media sosial tidak memiliki peredam, maka terjadi reproduksi kemarahan. Itu sebabnya, harus menjaga kata-kata,’’ tuturnya.

BACA JUGA: Begini Motif Peneliti BRIN Bilang Halalkan Darah Muhammadiyah

Social order atau tatanan sosial, lanjut dia, tidak bisa terbangun lagi ketika sudah dirusak. Selain itu, persatuan tak bisa dipahami secara ideal. Sebab, selalu ada dunia riil. “Jadi, silaturahmi yang sudah menjadi tradisi di Indonesia ini harus dijadikan energi kolektif bangsa agar kita semakin berilmu dan bijaksana dalam menghadapi perbedaan apa pun,” terangnya.

Begitu juga dalam perbedaan soal pilihan politik. Cara memandang keadaan bangsa memerlukan toleransi dan kerja sama. Saat ini, Indonesia masih punya banyak kekurangan di samping kemajuan. Karena itu, Muhammadiyah mengajak untuk membawa energi silaturahmi demi membangun kesatuan dalam menyelesaikan masalah-masalah bangsa. ’’Mulai bidang kesehatan, ekonomi, demokrasi, hingga masalah keagamaan dan kebudayaan,’’ paparnya. (jpc)