RADARBEKASI.ID, JAKARTA – Guru Besar Ilmu Hukum Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ahmad Tholabi Kharlie, menilai SEMA Nomor 2 Tahun 2023 yang melarang seluruh pernikahan beda agama tidak cukup untuk menyelesaikan problematika tersebut. Namun, edaran ini masih patut disyukuri untuk membawa ke arah yang lebih baik.
“SEMA No 2 Tahun 2023 ini cukup positif dalam rangka supremasi UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, khususnya di lingkungan lembaga peradilan,” ujar Tholabi di Jakarta, Kamis (20/7/2023).
Menurut dia, ruang perkawinan beda agama masih tetap tersedia dengan keberadaan Pasal 35 huruf (a) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang dilandasi spirit pemenuhan hak administrasi warga tanpa praktik diskriminatif.
BACA JUGA: Nikah Langsung di KUA Minim Peminat
“Realitas ini harus diselesaikan melalui harmonisasi antar-norma di sejumlah peraturan perundang-undangan. Jadi, SEMA saja tidak cukup,” tegas Tholabi.
Lebih lanjut, Tholabi menyebutkan, pertentangan antarnorma di UU Perkawinan dan UU Adminduk ini harus diselesaikan dengan melakukan harmonisasi antar undang-undang. Langkah ini diyakini akan mengakhiri sengkarut praktik pernikahan beda agama.
Dia menyebutkan dalam kenyataannya terdapat ambiguitas norma antara hukum perkawinan dan hukum administrasi, termasuk putusan hakim terdahulu. “Ambiguitas ini harus dituntaskan dengan tetap berpegang pada konstitusi yang mengatur soal agama dan HAM yang khas Indonesia,” tandas Tholabi.
MA sebelumnya menerbitkan Surat Edaran Nomor 2 tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim Dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antarumat yang Berbeda Agama dan Keyakinan. SEMA tersebut melarang semua pengadilan untuk mengabulkan pencatatan perkawinan beda agama dan keyakinan.
BACA JUGA: Kantor Kemenag Catat 197 Pernikahan di KUA
Aturan itu ditandatangani oleh Ketua MA Muhammad Syarifuddin pada Senin, 17 Juli 2023. SEMA Nomor 2/2023 ini memuat dua poin.
“Untuk memberikan kepastian dan kesatuan penerapan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan,” sebagaimana bunyi SEMA 2/2023, dikutip Rabu (19/7/2023).
Dalam poin pertama, SEMA itu menyinggung ihwal perkawinan yang sah yang ditentukan dalam hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Sementara itu pada poin kedua disebutkan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan pengadilan untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan. (jpc)











