Berita Bekasi Nomor Satu

Gibran Mendobrak Kebuntuan Estafet Kepemimpinan Politik Indonesia  

Oleh: Drs. Mansyur Alfarisyi

Ketua Umum Rajawali 08

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Sosok Gibran Rakabuming Raka, bakal calon wakil presiden yang akan berpasangan dengan Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024 mendatang, seperti sinar terang yang muncul dalam kegelapan. Sinar yang memberikan harapan akan cerahnya politik di Indonesia dimasa yang akan datang.

Selama ini, sosok wakil presiden selalu diisi oleh orang tua yang jauh dari nuansa kaderisasi dan estafet kepemimpinan. Seluruh wakil presiden di Indonesia sejak merdeka, berusia di atas 50 tahun.

Sosok Gibran muncul sebagai cawapres tentu banyak yang terkejut, ada yang senang dan ada yang tidak senang, yang prespektifnya tergantung pada nilai dan kepentingan politik yang dianutnya. Soal senang dan tidak senang itu biasa dalam persoalan politik.

Gibran adalah seorang anak muda yang lahir pada 1 Oktober 1987, umur baru berusia 37 tahun. Meskipun berusia muda, boleh dibilang mempuni di bidang politik. Pertama, dia punya latar pendidikan yang memadai di Singapura dan Australia. Dia menyelesaika SMAnya di Orchid Park Secondary School di 2002.

Kemudian setelah lulus SMA, dia menempuh pendidikan di Management Development Institute of Singapore (MDIS) 2007 dan selanjutnya di University of Technology Insearch, Sydney, Australia hingga lulus di 2010.

BACA JUGA: Partai Gelora Dukung Prabowo-Gibran, Diyakini Dulang Suara Milenial

Selain berpendidikan baik, Gibran juga memiliki pengalaman bisnis dan pemerintahan. Dalam bisnis dia mendirikan usaha Jasa Boga yang diberi nama Chili Pari. Usahanya ini kemudian mengantarnya menduduki jabatan sebagai ketua Assosiasi Perusahaan Jasa Boga Indonesia (APJBI) Kota Solo.

Di pemerintahan dia menjadi wali kota Surakarta sejak 26 Februari 2021.

Kekuatannya dalam berpolitik karena “mengalir darah” Joko Widodo, Presiden RI 2014 – 2019 dan 2019 – 2024. Pamor Jokowi tak terbantahkan mendongkrak pamor Gibran.

Jalan mulus Gibran dalam politik juga karena dikabulkannya gugatan perkara No. 90/PUUXXI/2023, terkait batas usia minimum calon presiden/wakil presiden dalam Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tetang Pemilihan Umum.

Munculnya Gibran dalam kancah politik nasional, menimbulkan setidaknya dua polemik. Pertama. usianya dianggap terlalu muda untuk memimpin bangsa dan negara sebesar Indonesia ini.

Kalangan realis beranggapan usia bukan ukuran seorang untuk menjadi pemimpin negara. Contohnya Kim Jong Un berusia 27 tahun ketika memimpin Korea Utara, Sebastian Kurz berusia 31 tahun ketika menjadi Kanselir atau Perdana Menteri Austria, Sanna Marin berusia 33 tahun ketika menjadi Perdana Menteri Finlandia, Gabriel Boric berusia 36 tahun ketika menjadi Presiden Chili, Jacinda Ardern berusia 37 tahun ketika menjadi Perdana Menteri Selandia Baru dan Emmanuel Macron berusia 39 tahun ketika menjadi Presiden Prancis.

Pendapat sementara kalangan skeptis, menganggap terlalu riskan urusan negara dipertaruhkan ke tangan anak muda yang belum matang. Bahkan cenderung tendensius dianggap “masih ingusan” dalam mengelola negara.

Kedua, karena Gibran merupakan anak presiden Joko Widodo secara biologis dan politik. Jadi, dianggap membangun politik dinasti. Sebetulnya fenomena Gibran sama saja dengan posisi AHY dan SBY, di partai Demokrat, Puan Maharani dan Megawati di PDIP dan Yenny Wahid dan Gus Dur dalam peta politik Nahdiyin.

Politik dinasti di Indonesia adalah sebuah keniscayaan yang tak mungkin dihapuskan Persoalannya kemudian, apakah usia muda dan fenomena politik dinasti dianggap menghambat proses demokrasi atau tidak dalam proses politik di Indonesia?

BACA JUGA: Almas Gibran

Dalam sistem demokrasi politik di Indonesia, Fenomena Giran sebetulnya lebih banyak bersifat wacana politik yang memanas menjelang pemilihan presiden 2024.

Sebetulnya secara substansial proses politik demokrasi tidak terhambat oleh dua persoalan diatas, baik usia muda maupun politik dinasti.

Karena demokratisasi adalah soal membangun struktur politik demokrasi dan membangun kultur politik yang demokratis. Jadi, demokrasi bukanlah soal figur, soal figur Gibran misalnya.

Struktur demokrasi minimum yang dibangun dalam sebuah negara demokrasi, minimal memenuhi prinsip Trias Politica, adanya eksekutif, legislatif dan yudikatif. Untuk memastikan adanya unsur Check and Balance dalam proses politik. Bahkan sesuai perkembangan demokrasi, media menjadi pilar ke empat dalam proses demokrasi melengkapi prinsip Trias Politica diatas.

Selanjutnya membangun kultur demokrasi, artinya membangun pola fikir, narasi dan prilaku politik yang demokratis yang dalam perjuangannya mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat.

Dalam pelaksanaannya, demokrasi haruslah saling menghargai perbedaan berpendapat, tidak patut perbedaan pendapat menjadi dasar permusuhan politik yang berkepanjangan. Prinsip lainnya adalah mentaati hukum. Artinya suka atau tidak suka, enak atau tidak enak keputusan hukum harus ditaati. Aturan hukum itu menjadi batas kita berdemokrasi. Tanpa dua prinsip diatas, demokrasi akan menjadi liar dan menjadi politik yang sangat berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat.

Sosok Gibran dengan kemudaan dan isu politik dinasti yang menerpanya, disikapinya secara lugas. “Pokoknya kita pingin Pilpres semuamya aman dan damai itu yang paling penting. Semuanya harus rukun, ngga boleh ada yang berantem, apalagi berantem di medsos. Pokonya dibawa santai saja”. Ungkapan Gibran di atas menandakan dia sudah menjadi politisi yang matang meski dianggap berusia sangat muda dan masih “ingusan”.

Kalimat lugas itu diucapkannya dalam acara Indonesia Memanggil Gibran di Tugu Proklamasi yang digagas masyarakat pendukungnya di Jakarta pada 21 Oktober 2023. Jadi pantaslah kita berharap Gibran akan menjadi Pendobrak Kebuntuan Estafet Kepemimpinan dalam proses politik Indonesia kedepan. (*)