Berita Bekasi Nomor Satu

Mengembangkan Soft Skill: Sembilan Metode Pembelajaran Terbaru di Sekolah    

ILUSTRASI: Sejumlah siswa SMA Tulus Bhakti Kota Bekasi saat mengikuti class meeting. ISTIMEWA

 

RADARBEKASI.ID, BEKASI – Metode pembelajaran siswa saat ini dinilai dari berbagai metode kualitatif yang berfokus pada kemampuan, pengembangan pembelajaran, dan soft skill, dibandingkan keterampilan menghafal dan skor kuantitatif mereka.

Terdapat sembilan metode pembelajaran yang bisa diterapkan di sekolah, baik untuk siswa tingkat dasar maupun menengah atas.

“Saat ini, metode pembelajaran itu bervariatif, guru maupun sekolah dapat memilih yang sesuai, tepat, dan cocok diterapkan oleh siswa,” ujar Ketua Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kabupaten Bekasi, Prawiro Sudirjo kepada Radar Bekasi.

Ia menyampaikan bahwa metode pertama adalah discovery learning, yaitu belajar melalui penelusuran, penelitian, penemuan, dan pembuktian. Contohnya, guru menugaskan peserta didik untuk menelusuri faktor penyebab terjadinya banjir di daerah setempat.

“Dalam metode ini, peserta didik disarankan bekerja secara berkelompok menelusuri informasi dengan mewawancarai penduduk serta mencari data melalui internet. Catatan bimbingan disesuaikan dengan tingkatan usia, dan kemudian peserta didik diminta untuk membuat kesimpulan yang dilanjutkan dengan presentasi,” kata Prawiro.

Kemudian ada pembelajaran berbasis proyek, yang memiliki target tertentu dalam bentuk produk. Peserta didik merencanakan cara untuk mencapai target dengan dipandu oleh pertanyaan menantang.

“Contohnya pada peserta didik SMK Kewirausahaan, diberikan pertanyaan tentang produk kreatif berbahan lokal yang memiliki nilai tambah secara ekonomis. Peserta didik bisa mengikuti tahapan pembelajaran seperti eksplorasi ide, mengembangkan gagasan, merealisasikan gagasan menjadi prototipe produk, melakukan uji coba produk, dan memasarkan produk,” bebernya.

BACA JUGA: Ratusan Siswa Putus Sekolah di Kota Bekasi, Dipicu Banyak Faktor

Dalam proses ini, peserta didik bisa memanfaatkan teknologi untuk mencari informasi sebagai upaya pengembangan gagasan, membuat sketsa produk menggunakan software tertentu, menguji produk melalui respon pasar dengan Google Survey, dan sebagainya.

Selanjutnya adalah pembelajaran berbasis proyek, yaitu belajar berdasarkan masalah dengan solusi open-ended melalui penelusuran dan penyelidikan, sehingga dapat ditemukan banyak solusi masalah.

“Salah satu contohnya adalah mengatasi pencemaran udara akibat asap kendaraan bermotor. Peserta didik bisa mengeksplorasi lingkungan memanfaatkan sumber-sumber fisik yang diperkaya sumber-sumber digital, menggali pengalaman orang lain, atau contoh nyata penyelesaian masalah dari berbagai sudut pandang.

Peserta didik terlatih untuk menghasilkan gagasan baru, kreatif, berpikir tingkat tinggi, kritis, berlatih komunikasi, berbagi, dan lebih terbuka bersosialisasi dalam konteks pemecahan masalah,” imbuh Prawiro.

Belajar berdasarkan pengalaman sendiri atau Self-Directed Learning (SDL) merupakan proses dimana inisiatif belajar dengan atau tanpa bantuan pihak lain dilakukan oleh peserta didik sendiri. Ini meliputi mendiagnosis kebutuhan belajar, merumuskan tujuan, mengidentifikasi sumber, memilih dan menjalankan strategi belajar, serta mengevaluasi belajarnya sendiri.

BACA JUGA: Operator Sekolah Diminta Bantu Pendaftar PPDB

“Guru bisa membantu peserta didik mengidentifikasi kebutuhan belajar mereka, atau mulai dari kemampuan apa yang ingin dikuasai. Untuk membantu mencapai tujuannya, peserta didik belajar mandiri mengeksplorasi tutorialnya melalui YouTube, menerapkan, dan mengevaluasi kemampuannya,” ucapnya.

Pembelajaran kontekstual adalah metode dimana guru mengaitkan materi yang dipelajari dengan situasi dunia nyata, sehingga memungkinkan peserta didik menangkap makna dari yang dipelajari.

“Pembelajaran ini merupakan bentuk-bentuk tulang daun, di mana guru menugaskan kepada peserta didik secara berkelompok untuk mengeksplorasi melalui internet. Guru menginginkan peserta didik memperoleh pengalaman bermakna yang mendalam dan dapat mengaitkan apa yang dipelajari dengan kehidupan nyata. Ini biasanya dapat diterapkan di tingkat PAUD dan sekolah dasar kelas rendah,” terangnya.

Prawiro menjelaskan bahwa dalam bermain peran dan simulasi, peserta didik bisa diajak untuk bermain peran dan menirukan adegan seperti gerak, model, pola, atau prosedur tertentu.

“Misalnya, seorang guru menggunakan tayangan video dari YouTube. Peserta didik diminta mencermati alur cerita dan peran dari tokoh-tokoh yang ada, kemudian berlatih sesuai dengan peran yang diperankan tokoh tersebut. Pada tataran lebih kompleks, peserta didik bisa membuat cerita sendiri dan kemudian memperagakannya dengan bermain peran,” ungkapnya.

BACA JUGA: Guru Penggerak Dituntut Ciptakan Metode Pembelajaran Variatif dan Menyenangkan  

Kemudian, pembelajaran kooperatif merupakan bentuk pembelajaran berdasarkan paham konstruktivistik. Peserta didik berkelompok kecil dengan tugas yang sama, saling bekerja sama, dan membantu untuk mencapai tujuan bersama.

“Ada beberapa teknik cooperative learning yang akan dijelaskan di sini. Empat teknik pertama di antaranya dikembangkan oleh Robert Slavin pada tahun 1991, yaitu STAD, TGT, TAI, dan CIRC,” tandas Prawiro.

Selanjutnya, metode pembelajaran ke-8 yaitu pembelajaran kolaboratif atau belajar dalam tim dengan tugas yang berbeda untuk mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kolaboratif lebih cocok untuk peserta didik yang sudah menjelang dewasa.

“Kolaborasi bisa dilakukan dengan bantuan teknologi, misalnya melalui dialog elektronik. Teknologi digunakan untuk menengahi dan memonitor interaksi, dimana masing-masing pihak memegang kendali dirinya dalam berkomunikasi untuk mencapai tujuan bersama. Fasilitasi ini bisa diberikan oleh guru, ketua kelompok, pelatih online, maupun mentor,” tuturnya.

Yang terakhir adalah diskusi kelompok kecil yang diorientasikan untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman, serta untuk melatih komunikasi kelompok kecil. Tujuannya agar peserta didik memiliki keterampilan memecahkan masalah terkait materi pokok dan persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

“Diskusi kelompok kecil ini bertujuan untuk meningkatkan partisipasi siswa karena lebih banyak yang dilibatkan. Jumlah kelompok diskusi antara empat sampai lima orang. Metode diskusi digunakan untuk melatih kecakapan berpikir, berkomunikasi, kemampuan kepemimpinan, debat, dan kompromi,” pungkasnya. (dew)


Solverwp- WordPress Theme and Plugin